Birunya langit dan hijaunya
hamparan rumput berhiaskan bunga warna-warni menggambarkan betapa indahnya
dunia ini. Angin sejuk yang berhembus menyapu wajah seorang gadis yang kini
tengah terduduk disebuah bangku taman itu. kelopak mata sewarna susu itu memejam, menikmati
harumnya bunga yang tertata rapi disana.
Aku berlari menghampiri gadis itu. gadis yang tak pernah
kehilangan senyumnya selama yang aku tau. “Mentari!” panggilku pada sang
gadis, gadis itu tampak membuka matanya dan menoleh kesumber suara. “maaf aku
terlambat, apa kamu sudah lama menunggu?” gadis itu hanya tersenyum, senyum yang
selalu membuatku merasa semua akan baik-baik saja.
“Tidak aku baru saja datang” jawabnya. Aku tersenyum tulus, tapi
sayangnya gadis di depanku tak pernah melihatnya. Dia gadis lugu yang selalu
terlihat bahagia, meski ku tau hidupnya tak bisa dibilang baik, namun dia lebih
beruntung dariku. Aku hanya gadis nakal yang kurang beruntung dengan semua
kelebihan materi yang ku punya. Pertengkaran orang tua membuatku membenci semua
orang yang bahagia, aku membenci kehidupanku, dan aku membenci dunia ini. Hingga
aku bertemu dengannya, dia yang selalu ku jadikan pelampiasan
kekesalanku, ternyata adalah orang yang paling mengerti diriku. Dia yang selalu
mendengarkan semua ocehanku, dia juga yang memberiku saran dan motivasi, hingga
aku kembali percaya akan adanya kebahagiaan didunia ini.
“Hei, lihatlah kupu-kupu itu sangat indah” pekikku sambil menunjuk
seekor kupu-kupu berwarna kuning, aku yang semula tersenyum mengendurkan
senyumku dan melirik sahabatku. “maaf” gumamku,”Kupu-kupu itu pasti sangat
indah, aku pernah melihatnya beberapa kali saat masih kecil” ujarnya bersemangat
tanpa ada rasa sedih sedikitpun. Aku sungguh salut dengannya, dia tak bisa
melihat, tapi dia selalu dapat merasakan semua keindahan disekitarnya. Matanya
selalu memancarkan ketenangan, dan itu membuatku merasa iri dengannya, dia
terlalu beruntung.
Lama kami berdiam diri menikmati suasana tenang di taman,sambil
sesekali berbincang. Hingga tak terasa hari sudah menjelang sore. “sepertinya
ini sudah terlalu petang,aku harus segera kembali ke panti” aku menoleh pada
sahabatku yang tengah meraba tongkat yang biasa dia gunakan untuk menunjuk
jalan,aku membantunya dan memberikannya pada Mentari. “iya,sebaiknya aku
mengantarmu pulang” kataku sambil membantunya berdiri. Kami berjalan beriringan
menyusuri pinggiran kota menuju panti tempat tinggal Mentari. Yaa.. dia adalah
gadis yatim piatu,tapi aku tak pernah menangkap itu darinya, karena aku selalu
melihatnya tampak bahagia meski dia memiliki banyak kekurangan. Berbeda
denganku yang selalu mengeluh dengan semua yang kupunya.
.
“Apa kamu yakin tidak mau mampir?” tanya Mentari yang kutanggapi
dengan gelengan, meski dia tak tau, tapi dia dapat merasakannya, karena dia
sahabatku. “baiklah, terima kasih Cahaya” ucapnya tulus, aku hanya dapat tersenyum
dan memeluknya sebelum berpamitan pulang.
Aku Cahaya Mauralinsya, gadis yang hidup serba berkecukupan yang
terlahir dalam keluarga cukup terpandang. Ayahku salah satu pejabat negara dan
ibuku adalah seorang disainer terkenal, mereka benar-benar sukses. Mereka
selalu memberikan apapun yang aku inginkan, mainan, pakaian, liburan dan semua
yang orang lain inginkan. Namun sejujurnya hanya satu yang ku inginkan dari
mereka, yaitu waktu.
Karena kesibukan mereka, aku merasa sendiri, pagi hari aku sarapan
sendiri dan malam hari aku tidur sendiri. Aku tau umurku sudah beranjak
remaja, tapi aku ingin mereka yang dulu. Mereka sebelum mejadi sesukses
sekarang, mereka yang selalu memperhatikanku, dan mereka yang selalu bersama denganku.
Sudah beberapa bulan ini aku merasa seakan dunia membenciku. Kedua
orang tuaku selalu bertengkar, dan itu sungguh membuatku frustasi. Aku mencari
pelampiasan untuk kekesalanku, aku membully teman-temanku termasuk Mentari yang
sekarang menjadi sahabatku. Ahh.. Akau sangat menyesal jika harus mengingat
kebodohanku dulu. Bukan karena kejailanku yang menumpahkan minuman
dikepalanya, atau menumpahkan saus di bajunya, bukan juga aku yang mendorongnya
hingga jatuh diatas genangan air. Yaa..aku akui itu jahat. Tapi yang paling
kusesali adalah saat peristiwa itu. sebuah kejadian yang membuat Mentari tak
lagi dapat melihat indahnya dunia berhiasakan birunya langit dan hamparan
rumput yang hijau.
Dia yang selalu ku tindas, berani berkorban demi keselamatanku. Dia
mendorongkku ke ujung jalan hingga aku tersungkur dan malah dia yang menjadi
korban, benturan yang sangat keras dikepalanya membuat dia harus kehilangan
penglihatan dan sebagian kenangan indah masa kecilnya. Aku benar-benar
menyesali perbuatanku, saat kulihat darah yang mengalir dan menutupi sebagian
wajahnya, perasaanku kalut. Dan aku sungguh tak dapat memaafkan diriku sendiri
saat mendengar pernyataan dokter yang mengatakan Mentari mengalami
kebutaan dan amnesia ringan. Sampai saat ini aku masih tak bisa memaafkan
diriku sendiri, aku selalu merasakan sakit saat melihat senyuman itu. seharusnya
aku bahagia, tapi untuk apa jika dia sendiri tak dapat melihat senyum mengejekku
yang kini sudah menjadi senyum tulus layaknya seorang sahabat.
Jika saja aku bisa memainkan waktu, aku ingin memperbaiki
semuanya. Tentang Mentari dan semua kebersamaanku dengan kedua orang tuaku.
Pagi yang sangat cerah dan kurasa sangat cocok untuk pergi.
Menghilangkan semua pikiran negatif dan meluppakan semua kejadian yang menjadi
rutinitas harian setelah beberapa bulan ini. Masih sangat jelas terdengar ketelingaku suara benda pecah dan sumpah serapah dari kedua orang tuaku, aku
hanya dapat menutup telingaku dengan bantal dan berusaha tertidur meski terasa
sulit.
Aku harus berkonsultasi dengan motivatorku, Mentari. Hanya dia yang
dapat membuaku percaya bahwa semua akan kembali seperti semula.
Test..
Ahh.. kenapa dia harus menetes disaat yang tidak tepat? Aku segera meraih sapu tangan untuk menyeka darah yang keluar dari hidungku. Aku hanya dapat memejamkan mata kala sengatan dikepalaku semakin terasa, kepalaku bagai dipukul bogem dan membuatku oleng. Hampir saja aku terjatuh jika tak ada tangan yang kini merangkulku,”Ya ampun Cahaya, Ada apa denganmu?” tanya kakakku panik, aku hanya dapat menggeleng dan menjawab sekenanya “Aku pasti hanya kelelahan kak” Kak Surya nampak belum percaya. Dia menatapku intens seolah memperingatiku agar jangan coba-coba berbohong.
Sejujurnya aku tak tau ada apa dengan tubuhku. Aku tau pasti ada yang salah, tapi aku terlalu takut untuk mengetahuinya. aku tak peduli dengan tubuhku, untuk apa aku peduli jika semuanya tak akan berubah. Ayah dan ibuku tak akan kembali seperti semula, begitupun dengan Mentari.
“Cahaya, kakak tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kamu, sebaiknya kita periksakan kesehetanmu” sarannya, aku hanya dapat menggeleng lemah untuk menolaknya. Sepertinya rencanaku untuk bertemu dengan Mentari harus diundur, aku benar-benar tak dapat merasakan tangan dan kakiku sekarang. “Aku hanya perlu istirahat kak” lirihku. Terdengar helaan nafas panjang kak Surya,namun pada akhirnya dia menurut dan membantuku berbaring dikasur.
“Istirahatlah, jangan pikirkan apapun” bisiknya sebelum pergi dan setelahnya aku benar-benar terlelap.
.
Sudah satu minggu sejak kejadian itu, dan selama itu, disetiap
harinya aku selalu merasakan sakitku yang bertambah. Kepalaku selalu pusing dan
tak jarang aku sampai pingsan, makanan yang ku makan tak pernah habis dan malah
ku keluarkan lagi. Aku sungguh tak tau apa yang salah dengan tubuhku, apa aku memiliki
penyakit?atau semacamnya? Tapi aku sungguh tak ingin tau dengan semua itu, aku
tak ingin peduli sebelum orang tuaku peduli, aku hanya ingin mereka saat ini.
Hari ini, setelah menunggu selama satu minggu, akhirnya kau bisa
menemui sahabatku. Aku berlari menemuinya ditempat biasa kami bertemu, sebuah
taman yang sangat indah dan penuh kenanganku bersamanya.
“Apa semuanya baik-baik saja Cahaya?” tanya Mentari dengan tatapan
hangtnya. “Semuanya berjalan seperti biasanya, tak ada yang berubah sejak lama”
jawabku setelah mendudukan diriku disampingnya. “Percayalah, semuanya akan
kembali seperti semula, aku yakin.. yang harus kamu lakukan hanya tetap percaya
dan bertahan, ini hanya bentuk kasih sayang sang pencipta untukmu. Aku akan
selalu ada disampingmu, kamu tak perlu khawatir jika merasa sendiri” aku
menatapnya sendu. Kenapa dengan kata-katanya aku seakan mendapat kekuatan
baru? Kenapa dia selalu berkata penuh keyakinan, padahal setiap hari keyakinan
akan utuhnya kembali keluargaku terkikis perlahan. Kadang aku merasa Mentari
adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menjadi penyemangat hidupku, dia yang
selalu ceria dan pantang menyerah membuatku mulai percaya akan adanya hikmah
dibalik semua ini.
“Aww..sshh!” pekikku saat merasakan kepalaku yang berdenyut
keras, mataku terepejam erat meratapi sakit yang kini menjalar keseluruh tubuhku.
“Cahaya?Ada apa?” samar-samar kudengar pertanyaan Mentari, namun entah kenapa
kepalaku bagai dipukul beton yang siap memecahkanku. “Cahaya!?” kini suara itu
terdengar mulai panik dan khawatir, lama-kelamaan pandanganku mulai buran dan
seketika semuanya menggelap.
Aku diam seribu bahasa setelah menerima informasi dari dokter didepanku. “Lalu dok, apa yang bisa kita lakukan?” tanya Kak Surya setengah memekik, dia sama kagetnya denganku. “seperti yang saya bilang tadi, kanker otak yang diderita Cahaya sudah memasuki stadium 3 dan kemungkinan untuk sembuh kecil meski ada beberapa prosedur yang bisa kita lakukan,.. salah satunya dengan kemo terapi” jelasnya. “tapi ini akan memakan waktu yang sangat lama, mengingat kondisi adik anda yang semakin hari semakin memburuk” lanjutnya, aku sungguh tak dapat mengatakan apapun. Tatapanku kosong, apa ini nyata?Aku didiagnosa menderita kanker otak stadium 3 dan keadaanku semakin memburuk, apa ini juga bentuk kasih sayang Tuhan untukku?Atau malah dia membenciku?
Next : Cahaya Untuk Mentari PART II