Semua orang menginginkan hidup yang sempurna, namun perlu kalian tahu bahwa di dunia ini tidak ada yang namanya kesempurnaan.
Rintik-rintik hujan terdengar jelas di pekarangan, bau tanah tercium pekat. Aku terduduk di meja belajar dekat jendela kamar. Ck! Bukan aku anak rajin, tapi tempat itu memang favoritku untuk menulis sesuatu di Notebook. Lebih jelasnya menulis keluh kesahku, terkesan alay. Namun itu lah aku.
Aku adalah seorang yang banyak kekurangan, menjadi beban bunda adalah hidupku. Hmm, entah sampai kapan aku akan menjadi seperti itu. Ingin rasanya aku membanggakan beliau, mengajaknya keliling dunia. Walau pada nyatanya bunda selalu bilang, 'tak perlu keliling manapun, karena kamu adalah dunia bunda' Ck! Bahkan itu membuatku bersedih.
"Zara," aku remang-remang mendengar suara, mengerjapkan mata sebentar. Menghilangkan sedikit kantuk.
"Zara," panggilnya lagi, wah itu suara bunda. Aku melihat sekeliling, ternyata ketiduran di meja belajar.
"Zara Tevart Faradilla!" tunggu, itu bukan suara pangilan. Melainkan teriakan! Habislah riwayatmu Zara.
"Eh, iya bunda," jawabku sedikit tenang, memundurkan bangku dan berjalan ke arah pintu.
CKLEK
Pintu terbuka, aku memicing mata ke arah bunda yang sedang menyapu lantai.
"Kamu gak bakalan sekolah?" tanya bunda saat dirinya melihatku yang baru saja muncul dari pintu.
"Maulah bun," ujarku masih dalam posisi santai. "Hoam," aku menguap lebar.
"Terus kenapa masih santai, belum liat jam?" tanya bunda lagi, sontak aku melihat jam yang ada di dinding. Mataku membulat sempurna, cobaan apalagi ini!
Aku langsung membanting pintu, berlari mengambil handuk dan langsung masuk kamar mandi. Kesiangan adalah salah satu kebiasaan burukku, tolong catat! Selain itu aku juga suka mandi secepat kilat, satu basuh tiga daratan terlampaui.
"Bunda kenapa gak bangunin aku," teriakku sambil memakai seragam sekolah, panik. Sedikit bocoran, sekarang pelajaran bu Rika–guru killer di sekolahku.
"Bunda udah bangunin kamu, kamunya aja yang kebo. Gak bangun-bangun," ujar bunda, aku hanya menghela napas saja. Memakai sepatu, lalu menatap cermin sebentar. Tidak terlalu buruk.
"Bunda," aku mencium tangan bunda. "Aku berangkat sekolah dulu," ujarku lalu pergi dari sana.
"Hati-hati," teriak bunda, aku mendengar. Lalu mengacungkan jempol sebagai balasan. Secepat kilat aku berlari, semoga angkot segera datang. Doaku.
Baca Juga : [Cerpen] Aku Bukan Mereka - Lina Budiarti
***
Bising-bising suara terdengar jelas sebelum aku memasuki gerbang sekolah, membenarkan pakaian yang sedikit lusuh akhirnya aku berjalan masuk. Sepertinya doa-doaku terkabul, saat sedang panik-paniknya angkot tiba-tiba muncul. Uh, makasih Tuhan.
"Selamat pagi," itu adalah suara bu-Rika. Guru sejarah yang terkenal galak. Aku mendongakkan kepala, menegapkan badan.
"PAGI BU," ujar kami serentak.
"Oke, untuk materi kali ini ibu akan memberikan sebuah tugas untuk merangkum. Jangan banyak bantah! Rangkum halaman 14-23 bab dua," ujarnya. Semua murid menghela, tenang, tetap sabar. Tarik napas, jangan buang, tahan lima menit. Bagaimana untuk se-pagi ini otak di suruh kerja rodi. Ck! Bahkan otakku tak sampai hanya untuk sekedar merangkum.
Tak ada pilihan, semua murid mengangguk tanda setuju. Jika tidak, mungkin tugas baru akan menjadi tambahannya.
"Yaudah, ibu tunggu sampe jam pelajaran sejarah selesai. Ibu permisi," ujarnya. Lalu pergi dari sana.
Aku pun mulai menulis, sesekali melirik teman kelasku yang sedang rumpi. Ini adalah sekolah unggulan, tapi mereka seenaknya bolos bahkan tak mengerjakan tugas. Aku merasa aneh kenapa orang seperti itu bisa diterima di sekolah ini.
Tenang, tetap santai. Jelas mereka diterima, karena mereka anak-anak kelas atas. Berbeda denganku yang hanya kalangan bawah, bahkan untuk masuk sekolah ini pun aku harus berjuang dengan bantuan beasiswa.
"Woy, Zara," Nindi memanggilku. Ck! Pasti ada maunya.
"Apa?" jawabku santai, lalu tersenyum. Nindi adalah teman kelasku yang paling kaya, udah cantik famous pula. Bisa dibilang most wanted di sekolah ini.
"Rangkumin punya gue dong," ujarnya. Wah ngajak gelud nih, aku aja yang daritadi ngerjain belum selesai-selesai. Dia seenak dengkul nyuruh-nyuruh.
"Maaf ya, bukannya aku gak mau," ujarku. Emang gak mau sih. "Tapi aku juga masih banyak yang belum kelar," lanjutku, lalu tersenyum.
"Punya gue dulu, tar gue bayar deh berapapun yang lo mau," Nindi melempar buku paketnya ke mejaku. Wah, enteng sekali dia berbicara seperti itu. Minta di headshot nih anak.
"Maaf ya, Nin. Aku beneran sibuk banget, masih banyak juga yang belum selesai," ucapku sopan, bahkan untuk berteriak pun rasanya tidak bisa. Ck! Kalo dibandingkan dengan Nindi, aku memang bagaikan remahan rengginang diantara kue nastar. Plis jangan hujat!
"Eh, lo jadi miskin aja belagu," hina Sarah, teman geng Nindi. Mulutnya emang kayak boncabe, pedesnya sampe level 30. Kadang aku suka aneh sendiri, kenapa orang selalu membedakan status. Padahal di KTP status tertera kawin/belum kawin, bukan kaya/miskin. Perlu diganti?
"Woy, lo budek ya?" sekarang giliran Indah, teman sebangku sarah. Yang jelas geng Nindi juga. Namanya Indah, tapi kelakuannya emang lebih indah. Aku memilih diam, kembali mengerjakan tugas yang hampir selesai. Daripada ribut, ntar ujung-ujungnya aku yang disalahin.
Aku terlonjak kaget, mendongakkan kepala perlahan. Terlihat Nindi melemparkan setumpuk buku paket sejarah, tersenyum sinis.
"Karena lo udah lancang sama kita, sekarang kerjain tugas semua murid di kelas ini!" teriaknya. Aku hanya menghela, mengedarkan pandangan menuju teman-teman kelas yang hanya diam.
"Dan buat lo semua," ujar Indah, menatap satu-persatu teman kelasku. "Jangan ada yang bantah atau lapor sama guru!" tegasnya lagi.
Aku tersenyum miris, meratapi nasib. Kenapa aku harus terlahir seperti ini? Ck! Bahkan aku tidak ingin menjadi seperti ini, lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Ingin rasanya berteriak, melepaskan segala unek-unek yang sudah lama kupendam. Tapi siapa yang ingin mendengar ceritaku, bahkan hanya Tuhan yang tau.
Aku sudah tidak tahan, sedikit memundurkan bangku akhirnya aku pergi dari sana. Berlari sekencang-kencangnya. Teriakan demi teriakan masih terdengar di telingaku, teriakan bahwa aku bodoh, tak tahu etika dan masih banyak lagi yang mereka ucapkan itu. Rasanya ingin menangis, tapi untuk apa? Untuk membuktikan bahwa aku lemah?
"Ra," suara berat itu terdengar jelas di telingaku, berbarengan dengan sebuah botol air dingin yang ia sodorkan.
Tolong catat! Ini bukan cerita sinetron yang mendatangkan pria tampan bahkan terkenal untuk seorang wanita bullying. Bahkan untuk berkhayal pun tak bisa, karena terkadang realita memang tak seindah ekspetasi.
Tapi aku tidak munafik, aku juga menginginkan pria tampan. Datangkan saja Jung Jaehyun, Mark Lee, Lucas, Hyunjin, Kim Kai, pasti akan ku terima dengan lapang dada.
"Eh, kamu," Aku tersenyum kikuk. Mengambil air ditangannya, "Makasih."
Baca Juga : [Cerpen] Aku Dan Ilusi - Sri Aprilia
Dia adalah Reynan, pria nerd yang entah kapan aku mengenalnya. Yang jelas, pria itu selalu ada saat aku merasa terpukul dan terasingkan. Aku juga tidak mengenalnya begitu jauh, yang ku tau dia juga sama sepertiku. Suka dibully, tapi dirinya tidak pernah peduli.
Satu hal yang ingin aku bicarakan dengan kalian, 'ketika matahari membakar tubuh, tanpa disadari saat itulah awan selalu menghalangi dan menjagamu' kamu tidak perlu merasa kesepian.
Ketika kita berbeda, jangan pernah merasa terasingkan. Menjadi diri sendiri adalah ikon terpenting yang harus dimiliki, bukan menjadi orang lain yang menjadikan dirinya terasingkan.
Cerpen Lainnya Disini!