Sumber : Pinterest.com
Aku selalu melihatnya. Gadis berkerudung ungu yang selalu membawa sebuah Al-qur’an besar. Setiap maghrib seusai shalat, ia selalu duduk berseberangan denganku dan membacanya sebelum kegiatan mengaji itu dimulai. Wajahnya nampak polos dan anggun dalam balutan kerudung , sifat dan tutur katanya lembut kepada setiap orang. Dengan laki-laki, ia selalu menjaga jarak dan pandangan , tak terkecuali denganku.
Setiap kali aku mengajak berbicara dengannya, ia tak langsung menatap mataku, melainkan ke arah hidung. Aku sempat berpikir apakah hanya saling tatap dengan lawan jenis itu perbuatan dosa. Memang gadis itu dikenal alim oleh seluruh warga baik santri maupun ustadz dan ustadzah pondok besar ini.
Saat kegiatan mengaji, santri laki-laki dan perempuan memang tak dipisah tempatnya, jadilah aku bisa sesuka hati mencuri pandang ke arah gadis itu. Teman-temannya saja begitu enggan dengannya saking pendiamnya gadis itu. Itulah mengapa aku begitu suka saat kegiatan mengaji itu tiba dan teman-temanku menganggapku begitu antusias tanpa curiga sedikit pun.
Kemanapun ia pergi, Al-quran besar itu selalu direngkuhnya meski tujuannya diluar mengaji, Al-quran itu selalu setia menemaninya. Suatu ketika aku pernah bertanya kepadanya, apakah ia tak mempunyai Al-quran yang lebih kecil agar ia tak selalu kerepotan dengan Al-quran besar itu dan tentunya lebih praktis. Ia menjawab dengan alasan jika Al-quran ini adalah kitab kesukaanya dari pemberian seseorang.
Setiap hari yang kulakukan di pondok sama seperti yang dilakukan oleh santri-santri lainnya. Mengaji, mengkaji kitab kuning, sholat wajib dan sunnah serta kegiatan keagamaan lainnya. Meski padat, aku selalu menyisipkan sedikit waktu untuk sekadar mengintai gadis itu, kadang mengintip kamarnya di lantai dua ruangan paling kanan asrama putri hanya untuk menunggu dirinya keluar. Atau lebih gila lagi, mengikutinya diam-diam kemana ia pergi. Kalian pasti berpikir bahwa tindakanku ini tidak sopan dan pastinya aku berdosa.
Aku melakukan semua itu tak lain karena tertarik kepadanya. Aku tahu apa konsekuensinya jika berpacaran di dalam pondok. Itu adalah hal yang tabu dilakukan oleh para santri. Maka dari itu aku hanya sekadar menyukainya, tak akan berbuat lebih. Lagi pula aku ragu jika gadis sealim itu akan melakukan hubungan pacaran.
Suatu ketika aku pernah mengikuti dirinya menuju ruangan ustadz dan ustadzah. Ia ada urusan dengan mereka, aku menguping diam-diam dari jendela kantor. Aku tak bisa mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, tapi itu berkaitan dengan lomba hafidz Qur’an antar provinsi. Satu hal yang kuketahui, gadis itu bernama Sarah, atau lebih lengkapnya Sarahswati Kareem. Nama yang indah, seindah wajah dan akhlaknya. Memang sejauh ini selama satu tahun aku belum pernah tahu namanya. hanya sekadar basa-basi.
Sarah. Aku terus menggumamkan nama itu. Sungguh demi tuhan, aku tertarik kepadanya. Ingin sekali aku mengajaknya berbicara, belajar mengaji bersama. Tapi sepertinya hanya ekspetasi saja. Yang bisa kulakukan hanya terus men-stalker-nya. Mengikutinya dan mencuri pandang.
Sampai suatu ketika di hari minggu, saat kegiatan pondok kosong dan aku tengah bermain layang-layang bersama teman-temanku di depan gerbang pondok, ekor mataku tak sengaja menangkap sosok Sarah keluar dari pondok membawa Al-qur’an besarnya melewati kami, keluar menuju arah utara. Menuju ke sebuah pemakaman yang berjarak satu kilometer dari pondok. Aku penasaran, apa yang hendak dilakukan Sarah, untuk apa ia mengunjungi pemakaman dan lebih penting, ia hendak menziarahi siapa di pemakaman itu.
Aku memutuskan menyudahi permainanku. Teman-temanku bertanya kemana aku akan pergi, aku memberi alasan ada urusan penting dengan seseorang di luar pondok. Selanjutnya, mereka meneruskan keasyikan bermain, tak mau tahu menahu dengan jawabanku.
Diam-diam aku mengikutinya dari belakang,. Mengendap dari satu pohon ke pohon lain tanpa menimbulkan suara. Beberapa menit kemudian, gapura pemakaman itu sudah mulai terlihat dan Sarah terus melangkah memasuki pemakaman. Tak lama, ia berhenti di suatu makam kembar dengan tulisan nama di nisannya yang sudah kotor oleh tanah. Aku bersembunyi di balik pohon kamboja tak jauh di belakang Sarah.
Sarah duduk diantara bebatuan tanah dan memangku Al-qur’an besarnya. Mulutnya kemudian berkomat-kamit dengan kedua tangan terangkat, membaca do’a yang biasa orang lakukan ketika berziarah. Setelah itu, Sarah berdiri menuju nisan makam itu. Aku berpikir kuburan siapa yang kembar itu. Sarah mengelus dan mencium dua nisan itu tanpa jijik. Aku bisa melihat wajahnya yang entah sejak kapan basah karena air mata yang keluar merambat ke pipi. Kemudian ia berbicara pelan, tapi karena begitu sunyi pemakaman itu, aku bisa mendengar jelas apa yang diucap oleh Sarah.
Ayah, ibu, ini Sarah putri kalian. Sarah akan mewujudkan mimpi kalian, menjadi hafidzah muda yang sholihah. Sarah akan mengikuti lomba hafidh Qur’an antar provinsi. Do’akan Sarah lancar dan bisa memberikan hasil yang terbaik buat kalian maupun pondok tempat Sarah. Dan Qur’an ini, hadiah ulang tahun dari kalian telah membantu banyak Sarah. Sarah belajar dari Al-qur’an ini. Terima kasih, ayah, ibu. Sarah janji akan menjadi anak yang sholih dan sholihah, Sarah tidak akan pernah melakukan hal-hal yang dilarang agama. Sarah tidak akan pernah berpacaran maupun perbuatan maksiat lainnya.Sarah akan menjadi alasan kalian bisa masuk surga. Semoga ayah dan ibu diberi tempat di surga yang begitu damai, jauh dari hiruk-pikuk. Sarah akan selalu menyebut nama kalian dalam setiap do’a Sarah kepada Tuhan. Keinginan Sarah hanya satu, berkumpul bersama kalian di surga Tuhan nanti. Ayah, ibu, Sarah adalah putri yang kelak akan memasangkan mahkota di atas kepala kalian. Sarah janji akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan Sarah kepada Tuhan. Sarah merasa bersyukur dan bangga mempunyai kedua orangtua seperti kalian. Adalah sebuah anugerah yang sangat berharga, lebih berharga dari ribuan permata. Doa’akan Sarah menjadi anak sukses dan sholihah, ayah, ibu. SARAH RINDU KALIAN. SARAH SAYANG KALIAN.
Aku terbeku.
Makam kembar itu rupanya milik kedua orang tua Sarah. Ya tuhan, aku tak tahu Sarah yatim-piatu. Aku merasa berdosa sekali pada Sarah. Setelah mendengar jika ia tak akan melakukan hal-hal yang dilarang di luar agama. Tak seharusnya aku memendam perasaan padanya, tak seharusnya aku tertarik pada Sarah. Ya tuhan, ampunilah hambamu ini. Bukan maksud hati berbuat maksiat. Sarah mempunyai cita-cita yang mulia sekali. Tidak ada remaja zaman sekarang meskipun mereka santri sekalipun terbesit mempunyai mimpi seperti Sarah.
Sarah telah membuka mata dan hatiku. Ia menyadarkanku untuk apa sebenarnya kita disekolahkan di sekolah agama, khususnya pondok tempatku belajar. Apa tujuan sebenarnya kita mengaji, belajar kitab kuning, sholat sunnah dan belajar keagamaan lainnya. Aku sekarang menyesal telah menyia-nyiakan waktu-waktu itu. Mengaji misalnya, aku niat karena hanya sekadar ingin melihat Sarah. Aku telah melalaikan tujuan utama mengaji. Dan aku juga sering bermain di saat waktu senggang bersama teman-teman. Sarah berbeda, dimana para santri bersantai, ia justru memanfaatkan waktu itu untuk menghafal ayat-ayat Al-quran dan hadits.
Aku juga tahu alasan Sarah membawa Al-qur’an besarnya, aku juga tahu kenapa ia begitu santun dan lembut. Semua itu tak lain semata-mata agar ia tak terjerumus dosa, seperti yang diharapkan kedua orang tuanya.
Setelah kejadian itu, perlahan aku mengubah diri menjadi pribadi lebih baik. Aku mulai melakukan hal yang semestinya dilakukan oleh santri sejati seperti Sarah. Aku juga sudah tak lagi mengintainya atau mencuri pandang dengannya. Aku tahu itu dosa. Tak seharusnya aku melakukannya. Aku juga mulai bisa mengendalikan perasaanku padanya.
Aku memutuskan agar melupakannya secara perlahan. Biarlah seperti itu, jika kami memang ditakdirkan berjodoh, maka biarlah takdir menjawabnya dan waktu mempertemukan kami di tempat yang tepat.
Cerpen Lainnya Klik Disini!