Hidupku terasa hampa, begitu gelap gulita di setiap harinya. Tak ada kebahagiaan, tak ada sebuah dekapan untuk menguatkan, yang ada hanya kepahitan dan keraguan.
Entah takdir apa yang Tuhan tuliskan untukku ... Kenapa sesakit ini? Aku punya keluarga, tapi tak utuh. Aku tak memiliki teman selain diriku sendiri dan bintang malam yang selalu mendengarkan celotehanku yang kelam.
Bagiku tak ada pertemanan yang ada hanya sebuah penghianatan. Aku tak butuh sebuah ucapan manis yang akan menenangkan dari sebuah pertemanan, nyatanya mereka hanya ingin tahu, tidak untuk mengerti ataupun peduli.
Bukannya aku tak bersyukur atas apa yang aku miliki sekarang. Namun, aku benar-benar cape dengan situasi seperti ini. Orang-orang yang kusayang perlahan menghilang, meninggalkanku sendiri dengan depresi ini.
Aku merasa kesepian.
Aku merasa tak berguna.
Aku merasa tak berharga.
Aku hanya ingin mati dan terbebas dari depresi ini.
Aku hanya bisa menangis dan menangis, meratapi nasibku yang malang. Kapan ini akan berakhir? Sungguh, aku sudah tak kuat lagi.
Malam ini, di balik jendela yang tertutup, aku terdiam menatap butiran hujan yang turun ke bumi seakan-akan berlomba-lomba menghancurkan diri dan menyisakan sebuah genangan sebagai kenang-kenangan.
Aku menyukai hujan, dengan hujan aku bisa menangis sekencang-kencangnya, menumpahkan segala keluh kesah lewat tangisan.
“Ara!” panggil seseorang sembari mengetuk pintu, aku tahu itu ibuku.
Aku segera menghapus air mataku yang sempat turun bersamaan dengan hujan, kakiku berjalan membuka pintu. Setelah pintu terbuka, menampakan figur wanita paruh baya, Sari namanya, dia ibuku.
“Kenapa Ade kamu belum pulang jam segini hah?!” Bentakan ibuku, mampu membuatku tercengang, rasanya telingaku sakit meski sudah terbiasa dibentak, bahkan lebih dari itu.
“Aku gak tahu, Bu ....” jawabku sembari menunduk takut, aku tak berani menatap ibuku yang sedang marah.
“Apa kamu bilang? Gak tahu?! Seharian kamu diam di rumah, dan gak tahu Ade kamu pergi ke mana?!” Suara ibuku semakin meninggi, aku tahu, ibuku pasti khawatir pada anaknya yang belum pulang saat larut malam seperti ini.
Aku memberanikan diri untuk menatapnya. “A—ku benar-benar gak tahu, Bu.” Aku berkata sejujurnya, memang aku tak mengetahui adikku, Arlin, pergi ke mana.
“Dasar! Kakak tak berguna!” decit ibuku, lalu ia pergi begitu saja setelah melontarkan kata-kata yang begitu menyakitkan.
Aku menutup pintu kamarku kembali dan menguncinya, punggungku bersandar di balik pintu sembari menangis tanpa suara. Tubuhku merosot, aku memeluk kedua lututku. Batinku benar-benar sakit.
“Kenapa? Kenapa selalu aku yang disalahkan?!” Butiran bening terus turun membasahi pipiku tanpa henti. Rasanya dadaku sesak dan hatiku sakit.
“Aku memang tak berguna!” Kedua tanganku menarik kuat rambutku, aku segera bangkit dan mengambil sesuatu yang berada di dalam laci nakas lalu aku duduk di kasur.
“Kenapa batinku saja yang sakit? Itu tidak adil, fisikku juga harus merasakannya!” ucapku sembari menangis tersedu-sedu.
Aku menggoreskan sebuah cutter itu ke pergelangan tanganku, rasanya otakku sudah terkontaminasi dengan emosi. Beberapa sayatan mampu membuatku tenang, meski darah segar itu keluar begitu banyak.
Senyum kecut tercetak di bibirku.
Aku membanting cutter yang sudah terlumuri darah itu dengan asal, kemudian aku membaringkan tubuhku, tatapanku kosong, menatap langit-langit kamar yang begitu datar dan mulus, tidak seperti hidupku yang rumit dan berliku-liku.
“Tuhan, kapan ini akan berakhir?” tanyaku dengan lirih sebelum aku benar-benar terlelap dan masuk ke dalam mimpi.
oOo
Pagi yang sangat cerah, langit yang membiru membuat burung-burung terbang sangat riang, terdengar dari kicauannya yang merdu.
Mungkin sebagian orang malas untuk bangun pagi ini, karena udara pagi itu sangat dingin, tapi tidak dengan aku, aku sudah bangun sejak 1 jam yang lalu.
Aku sudah siap dengan seragam sekolahku serta tas yang menempel di punggungku. Suara detak jarum jam terdengar begitu jelas di telingaku, ternyata jam menunjukkan pukul 06.00 pagi.
Aku berjalan ke arah cermin, menatap diriku yang rapuh.
“Aku gadis kuat, aku harus senyum!” kataku menyemangati diri sendiri sembari memaksakan tersenyum tipis.
Aku berjalan keluar dari kamarku lalu menuruni tangga, iris coklat milikku menyapu ke setiap sudut ruangan, tak ada tanda-tanda kehidupan. Di pagi seperti ini, rumahku benar-benar sepi seperti tak berpenghuni, tapi aku sudah terbiasa.
Tidak berlama-lama aku segera berangkat sekolah seorang diri, menaiki bus yang selalu mengantarkan sampai tujuan.
Baca Juga : [Cerpen] Yang Terbaik Untukku - Maya Nurida
oOo
Sesampainya di sekolah, aku berjalan menelusuri koridor, tujuanku adalah kelasku, Xl IPA 1 sekolah tampak ramai, banyak murid-murid yang sudah berdatangan.
Sejujurnya aku tidak suka keramaian, aku menyukai sendiri dan mengasingkan diri. Selang beberapa menit, aku pun sampai di ruang kelas, aku segera duduk di kursi paling belakang tanpa teman sebangku, aku memang terbiasa sendiri, aku nyaman dengan kesendirian.
Kring ... kring ... kring ....
Suara bel masuk terdengar jelas, seketika murid-murid berhamburan masuk ke dalam kelas seperti semut yang masuk ke dalam sarangnya, berdesak-desakan.
Tak lama guru pun masuk, serta pembelajaran pun dimulai, aku terus memperhatikan ketika guru menerangkan di depan.
2 jam kemudian.
Bel istirahat kembali berbunyi, membuat murid-murid bersorak ria.
“Ara sini sebentar!” pinta guru itu kepadaku, Lolis namanya.
“Yang lain boleh istirahat, ya!” katanya, semua murid pun segera keluar.
Aku segera menghampiri, Bu Lolis.
“Ada apa, Bu?” tanyaku.
“Ibu boleh minta tolong?” Aku pun mengangguk kecil.
“Tolong simpan buku paket ini ke perpustakaan, ya? Bisa 'kan?” aku menatap buku paket yang berada di meja guru.
“Bisa, Bu,” jawabku sembari tersenyum.
“Terima kasih. Kalau begitu, Ibu pergi dulu,” katanya dan aku menjawab dengan anggukan.
Baca Juga : [Cerpen] Berawal Dari Sebuah Mimpi - Sri Wahyuni
Aku mengambil buku paket tersebut, Aku sedikit meringis, mengingat sayatan yang berada di tanganku terkena buku, sakit, tapi tak sesakit hatiku.
Tidak ada yang tahu, tentang sayatan di tanganku, karena aku memakai seragam lengan panjang. Aku pun berjalan pelan menuju perpustakaan.
Bruk!
Tak sengaja aku menabrak seseorang, aku benar-benar ceroboh sehingga buku-buku itu terjatuh ke lantai. Aku segera memungutnya, begitu pun seseorang yang kutabrak, dia membantuku.
“Tangan lo berdarah!” katanya, aku langsung mendongak menatap siapa seseorang itu.
Deg!
Iris hitam itu bertabrakan dengan netra milikku, seketika aku menegang. Aku memutuskan kontak mata itu, netraku beralih menatap tanganku yang sudah terlumuri darah, bahkan seragam putihku sudah terganti dengan merah darahku.
Baca Juga : [Cerpen] Sepotong Daging - Nurhalimah
Ketika aku ingin mengambil tumpukan buku yang sudah tersusun rapi, namun laki-laki itu membawanya terlebih dahulu.
“Ini dibawa ke mana?” tanyanya.
“Biar aku aja,” jawabku.
“Lo gak liat? Tangan lo berdarah, biar gue aja.” Aku menjawab dengan anggukan kecil sebagai persetujuan.
“Ini di bawa ke perpustakaan 'kan?” ikutin gue!” perintahnya, aku hanya menghembuskan napasku pelan dan mengangguk, mengekori laki-laki itu.
Sesampainya di perpustakaan, laki-laki itu menyimpan buku tersebut, tak lupa aku pun mengucapkan terima kasih padanya. Aku kira dia akan pergi begitu saja, tapi dia malah membawaku ke uks.
Dia mengobati pergelangan tanganku dengan telaten, aku hanya bisa memandangi wajah tampan laki-laki itu. Dia Alfan, laki-laki yang mampu membuatku jatuh hati sejak satu tahun yang lalu dan sampai sekarang perasaan ini masih sama.
Aku memiliki perasaan tanpa alasan, aku hanya mencintai diam-diam tanpa berani mengutarakan isi hatiku. Aku baginya? Mungkin adalah debu, aku tak berarti sedikit pun.
“Tangan lo kenapa?” tanyanya.
“Eh, emm ga—k pa-pa ....” balasku gelagapan.
“Jelas-jelas ini berdarah, lo bilang gak kenapa-napa?! Lo nyayat tangan, ya?!”
Baca Juga : [Cerpen] Tegalsari - Sega Dwi Ayu Pradista
Aku membisu, tak menjawab apa pun, mungkin ini baru pertama kalinya ada seseorang yang mengetahui tentang luka yang tengah aku buat.
“Jawab Ara?!” Aku sedikit tercengang, kemudian aku mengangguk kecil dengan penuh keraguan, tapi kenapa dia mengetahui namaku? Pikirku.
“Ck! Jangan ulangi lagi!”
“Ka—mu kenapa tahu, namaku?” tanyaku dengan penuh penasaran.
“Karena gue suka sama lo, sejak lama. Lo bikin gue tertarik saat pertama bertemu,” tuturnya sembari menatapku.
Apakah ini sebuah mimpi? Jika iya, jangan bangunkan aku, aku merasa bahagia detik ini juga. Ternyata aku tidak bermimpi, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan lagi.
Selang beberapa menit, pergelanganku sudah terbalut dengan kasa. Lagi-lagi aku mengucapkan terima kasih kepadanya. Kemudian aku dan dia keluar dari uks dan tujuanku sekarang adalah kelas, karena sebentar lagi bel akan berbunyi.
“Nanti gue tunggu di parkiran!” Sebelum laki-laki itu pergi, dia mengatakan seperti itu, aku hanya mengangguk tanda menyetujui.
oOo
Selepas pulang sekolah, Alfan mengajakku ke taman, aku pun tak bisa menolak, karena Alfan tampak memaksa.
Kini aku dan Alfan sudah terduduk di kursi taman yang sudah tersedia. Netraku menyapu ke sekitar taman, tampak sepi, tapi aku menyukai situasi seperti ini.
“Lo boleh cerita apa pun yang bikin lo menderita, asal jangan sakiti diri lo lagi, Oke?!” katanya memecahkan keheningan di antara aku dan Alfan.
Aku menunduk, merasa ragu untuk bercerita padanya. Aku rasa cukup diriku saja yang tahu, menelan manis, pahitnya hidup ini.
Alfan menggenggam tangan kananku, seakan meyakinkan bahwa dirinya orang yang tepat. Aku menghembuskan napas pelan, kemudian aku bercerita, semuanya, tentang hidupku yang begitu pahit.
“Sttttt, lo gak boleh nangis, lo gadis kuat.” Alfan mengusap jejak air mata di pipiku dengan lembut.
“Alfan, aku cape. Aku pengen mati aja.” Aku menangis tersedu-sedu tanpa rasa malu.
“Gue ngerti. Gue juga pernah ada di posisi lo. Tapi, lo harus percaya bahwa di balik semua penderitaan lo, bakal ada kebahagiaan. Tanemin ke diri lo, bahwa lo gak sendirian, ada gue.” Ucapan laki-laki itu membuatku sedikit tenang.
Grep!
Seketika aku mendekapnya erat, dia pun membalas dengan usapan tangan di punggungku, dengan ragu aku berucap, “Jadi, aa—ku tidak sen—dirian lagi?”
Alfan mengangguk.