Hamparan hutan di sebelah timur istana terlihat jelas dari jendela besar kamarku. Di balik keindahan hutan yang asri itu tersirat kesan mistis di dalamnya. Perlahan bibirku menyesap minuman di dalam cawan yang sedari tadi kupegang. Ini bukanlah teh, kopi ataupun cokelat panas yang biasa aku nikmati ketika malam tiba, melainkan darah. Darah adalah minuman kesukaanku semenjak berada di sini, di dunia Demon. Bukan karena aku berada di dunia yang berbeda membuat minuman favoritku berubah. Tapi lebih tepatnya karena aku bukan lagi manusia.
Setelah cukup lama memandang hamparan hutan yang cukup luas, aku mengalihkan pandangan. Penglihatanku menangkap langit dengan semburat jingganya. Sungguh! Aku sungguh jatuh cinta dengan dunia ini. Ya, tentu saja karena diriku seperti masuk ke dalam novel fantasi yang sering kali kubaca setelah penat bekerja. Tak jarang aku berkhayal tentang Pangeran tampan yang menyelamatkanku dari kejaran penculik. Dan sekarang khayalan itu menjadi kenyataan meskipun sedikit berbeda.
“Kenapa tidak mengajakku?” bisiknya lirih tepat di telingaku. Dia memelukku dari belakang dengan kepala yang diletakkan di salah satu pundak mungilku.
Bibirku mencuat. “Salahmu sendiri terlalu sibuk dengan urusan kerajaan.”
“Salahku?” pria itu membalikkan tubuhku, merebut cawan yang aku genggam dan meletakkannya di meja kamar.
Aku tersentak ketika dia dengan cepat mendekat. Salah satu tangannya memegang pinggangku mesra dan tangan lainnya mengusap pipiku lembut. Jantungku berdesir hebat melihat perlakuan Arion. Meskipun aku dan dia akan menikah dalam waktu dekat, tapi aku merasa gugup dengan perlakuan yang baru pertama kali dia lakukan ini.
Pangeran Arion Abercio, seorang tampan yang tidak sengaja aku temui setelah terdampar sekitar 200 tahun di dunia Demon. Dia diharuskan menikah dengan matenya. Arion tentunya sangat keberatan jika harus menikahi orang yang tidak dia cintai. Hal itu membuatnya mendesak ayahnya agar memberinya waktu untuk mendapatkan wanita pilihannya sendiri. Dan pada akhirnya dia bertemu denganku di hutan sebelah timur istana. Tanpa pikir panjang, dia membawaku menghadap Yang Mulia Raja bermaksud untuk meminangku. Terlalu cepat memang, namun aku sudah merasa jatuh cinta kepada pria menyeramkan itu sejak pertama kali bertemu, membuatku sulit untuk menolaknya.
Satu minggu sudah aku berada di dalam kerajaan Schoenbrunn yang begitu luas dan megah. Aku berencana akan memetik bunga di taman istana dengan ditemani tiga orang pengawal yang telah diutus Arion untuk menjagaku. Meskipun aku sudah menjadi demon sepenuhnya, tapi tetap saja aku belum terbiasa, kekuatan demonku juga belum muncul seluruhnya.
“Tolong tinggalkan aku sendiri. Aku ingin menikmati harumnya bunga-bunga di taman ini,” kataku sambil tersenyum sopan.
“Tapi, Putri Elena, yang mulia sudah mengutusku untuk terus menjaga Anda,” jawabnya masih berdiri tegak di depanku. Ketiganya berbaris rapi sambil memegang pedang yang di arahkan ke tanah.
“Bukankah kalian harus menuruti seluruh perintah calon istri Pangeran juga?” tanyaku yang membuat ketiga pengawal itu bertatapan satu sama lain dan pada akhirnya mengiyakan perintah dariku.
“Ah, harumnya,” gumamku seraya memejamkan mata menghirup aroma bunga.
“Wah, selamat pagi Putri Elena Ratnaduhita Jacinda,” sapa seseorang di belakangku yang membuatku menoleh ke belakang. Bulu kudukku meremang setelah melihat senyuman lebar yang disertai seringaiannya.
“Selamat pagi pangeran Agathias,” sahutku kemudian menunduk hormat karena pangeran Agathias adalah adik dari Arion.
“Sebenarnya aku ingin mengajakmu keluar untuk menghadiri pesta,” ucapnya tanpa basa-basi.
“Pesta? Tapi pangeran Arion tidak pernah memberi tahu apa-apa padaku. Memangnya kau akan mengajakku ke pesta apa?”
“Dia kan sibuk mengurus perluasan wilayah kerajaan ini. Jadi mana sempat dia memberi tahumu. Tadi sebelum Kak Arion pergi, dia menyuruhku untuk mengajakmu karena dia sedang sangat sibuk,” jelasnya berusaha meyakinkanku. Tapi aku sungguh tidak mempercayainya. Waktu pertama mengunjungi istana Schoenbrunn, pangeran Arion mengatakan bahwa adik satu-satunya itu punya tabiat yang kurang baik. Jadi, aku tidak punya alasan untuk mempercayai pangeran Agathias. Tapi, aku juga tidak punya cukup alasan untuk menolak ajakannya.
“Baiklah, aku ikut.”
Pangeran Agathias mengeluarkan sayapnya dan membawaku terbang. Semoga saja ini keputusan yang tepat. Namun, setelah mendarat aku tidak melihat tanda-tanda adanya pesta. Pangeran Agathias malah menggenggam kedua tanganku. Untungnya aku berhasil menepisnya.
“Aku mencintaimu, Elena.”
Aku bergeming di tempat setelah mendengarnya. Bagaimana bisa adik dari calon suamiku juga mencitaiku?
“Maksudmu?” ucapku hati-hati. Pangeran Aghatias menatapku semakin dalam.
“Ketika pertama kali kau datang ke istana, aku sudah menyukaimu. Dan aku ingin kau menjadi pendampingku bukan pendamping Kak Arion,”
Perdebatan pun terjadi. Sampai akhirnya emosi Pangeran Agathias mencapai puncak. Dia mengeluarkan belati tajam dari saku jubah hitamnya.
“Kalau kau tidak bisa menjadi milikku. Maka kau juga tidak akan menjadi milik Kak Arion,” pekiknya kemudian menusukkan belati yang sudah dilapisi sihir jahat ke perutku. Aku tahu, karena sempat melihat ada sulur hitam melilit belati tersebut. Sungguh, ini sangat menyakitkan.
“Arion, tolong aku,” bisikku susah payah sambil memegang perutku yang bersimbah darah. Aku yakin Arion pasti mendengarnya, karena setahuku pendengarannya sangat tajam.
***
“Elena sayang, kenapa kau tak kunjung bangun?”
Suara berat disertai dengan rintihan tangis membuatku terbangun. Perlahan aku membuka kelopak mataku mendapati Arion yang sedang menggenggam tanganku sambil terisak.
“Elena, kau bangun?” tanya Arion lirih sambil tersenyum tulus.
“Memangnya aku tertidur berapa lama?” tanyaku polos setelah Arion berhasil membantuku bersandar di kepala ranjang.
“Kau sudah tidur selama 100 tahun. Aku tahu, kau pasti akan bangun, sayang.” Arion mengusap puncak kepalaku dan mengecup keningku penuh kasih sayang.
“Apa? 100 tahun?” Aku berjingkat kaget ketika mendengar angka itu. Bisa-bisanya aku tertidur selama itu, aku rasa aku tidak bermimpi apa pun. Aneh.
“Baiklah, aku akan meracik ramuan khusus supaya sihir hitam di tubuhmu menghilang,” ujar Arion kemudian melangkah mendekati daun pintu, hendak keluar.
“Tapi, bagaimana dengan Pangeran Agathias?”
Arion menghela napas setelah menghentikan langkah dan membalikkan badan menghadapku. “Dia sudah mati. Dia menerima hukuman dariku setelah menyakiti wanita yang sebentar lagi akan menjadi milikku.”
***
Alunan musik khas kerajaan mengalun merdu di acara pernikahanku. Semuanya terlihat bahagia melihatku bersanding dengan Arion. Namun, aku merasa ada yang kurang. Ya, aku tidak punya keluarga yang menghadiri pesta pernikahanku. Semuanya akan tetap sama memang. Aku memang sudah terbiasa hidup sebatang kara semenjak meninggalnya kedua orang tuaku. Tapi itu di bumi dan di dunia ini pun sama.
Cukup penat ternyata terus mengenakan gaun pernikahan yang besar dan panjang. Tapi untungnya acara meriah itu sudah berakhir, jadi aku memutuskan untuk memakai gaun tidur sederhana berwarna putih tulang dengan punggung yang terbuka, kesukaanku.
“Elena.”
Mulutku terkunci ketika Arion menggendongku tiba-tiba. Iris matanya memerah seakan sudah mendapatkan mangsa incarannya.
“Aku mencintaimu Elena Ratnaduhita Jacinda,” ucapnya ketika sudah meletakkanku di tempat tidur.
Aku pun hanya mampu tersipu dibuatnya. Aku mematung, dia dengan sangat perlahan mendekatkan wajahnya ke arahku. Telunjuknya mengusap pipi dan bibirku secara bergantian. Apa yang akan dia lakukan? Apa ini sudah saatnya?
Kring... Kring....
Suara alarm ponsel terdengar membuatku bangun. Dengan mata yang masih sayu aku mulai melihat sekeliling.
Kejadian bersama Arion terputar di kepalaku. “Apa tadi hanya sebuah mimpi? Apa Arion hanya ada di mimpiku? Apa semua itu hanya sebuah ilusi?”
Seketika butiran bening menetes. Aku begitu hanyut dengan dunia khayalanku sehingga aku menjadi hancur sendiri. Aku tetaplah aku. Aku tetap menjadi aku yang sebatang kara. Aku tetap menjadi aku yang manusia biasa. Aku tetap menjadi aku yang tidak mempunyai siapa pun di sampingku, seorang kekasih sekalipun.
Hanya ada suara detikan jam di dalam kamarku yang tidak terlalu luas ini. Sekarang aku sadar, bersanding bersama Arion memanglah sangat mustahil. Itu hanya terjadi di mimpi saja, tidak akan menjadi kenyataan.
Setelah kesadaranku kembali, aku menghapus jejak air mata di pipiku. Jari-jari jemariku bergerak membuka gorden kamarku. Aku mengernyit dengan mata menyipit ketika melihat sebuah tulisan di kaca jendela.
Tetaplah menjadi kamu. Dan aku akan tetap menjadi aku.
Kata-kata itu sepertinya tidak asing. Aku sontak mengingatnya. Ya, itu adalah kata-kataku untuk Arion ketika aku menolak diubah menjadi demon. Kata-kata itu jelas menegaskan bahwa aku dan pria itu memang sangat berbeda dalam segala hal. Sejak awal, seharusnya aku sadar. Tapi, aku malah terjebak lebih lama dan hanyut di dalam ilusi yang kuciptakan sendiri.