Di sini aku berdiri, di depan pemukiman kumuh para pemulung. Membawa beberapa bingkisan sembako untuk kubagi-bagikan, walau isinya tak seberapa tapi setidaknya cukup untuk mereka makan. Jika kalian mengira aku adalah orang kaya, yang kerjanya jadi pengusaha, maka kalian salah. Aku hanya orang biasa yang memiliki sejuta mimpi, dan bagiku berbagi itu tidak perlu menunggu untuk diriku menjadi kaya.
Namaku Salma, mahasiswi semester 5 dari Universitas Pelopor Bangsa. Seorang pemimpi yang terlahir dari keluarga biasa. Meski keadaanku dulu belum sebaik sekarang, tapi hasratku menjadi orang yang luar biasa tak pernah lengah. Aku masih ingat kala itu, setiap satu persatu kejadian yang terus membuatku berdiri kukuh, meski ada sekian banyaknya cercaan yang hampir membuatku luruh.
Siang itu aku berjalan menyusuri trotoar sepulang sekolah saat aku masih duduk di bangku SMA. Sepanjang perjalanan, netraku fokus memandang piala yang aku menangkan dari olimpiade matematika. Hasratku untuk segara pulang menggebu, rasanya tidak sabar ingin kutunjukan pada orang tuaku.
“Bapak dan Ibu pasti akan bangga putrinya pulang membawa kemenangan.” Gumamku lirih dan memeluk erat piala yang tingginya sekitar empat puluh lima sentimeter.
Kulihat dari ujung sana, nampak lelaki paruh baya yang tengah lari ke arahku dengan raut wajah panik—Pak Burhan, namanya. “Salma—Bapakmu—“ ujar Pak Burhan terengah.
“Bapak saya kenapa Pak?” aku ikut khawatir melihat wajah Pak Burhan yang panik seperti dikejar Polisi.
“Bapakmu kecelakaan, kau cepat pulang sana!”
Aku bergeming, mulutku bungkam. Aku segera melenggang pergi setelah mengucap terima kasih kepada Pak Burhan karena sudah mengabariku.
Aku berlari secepat mungkin, saat aku sampai di dekat pelataran rumah, nampak sudah ramai tetangga yang berdatangan. Kulihat sosok Ibuku, yang mengguncang badan Bapak yang bersimbah darah, Ibu menangis tersengit-sengit. Kuhampiri Ibu dengan derai air mata yang terus mengalir di pelupuk mataku.
“Bapak meninggal..” ujar Ibuku dengan tersedu-sedu.
Dua patah kata yang seketika membuatku luruh. Tangisku pecah sejadi-jadinya, tujuanku pulang membawa berita bahagia, tapi justru telingaku yang harus di sambar berita duka.
Semenjak kepergian Bapak, aku merasa putus asa untuk melanjutkan sekolah. Jika dulu Bapak yang selalu mengusahakan untuk diriku tetap lanjut sekolah, walau kerjanya hanya seorang tukang becak.
Lalu sekarang siapa? Tidak mungkin jika Ibu yang harus membayar uang sekolahku. Bagaimana aku tega, membiarkan Ibu yang usianya sudah rentan untuk terus-terusan menjual gorengan, yang hasilnya tak seberapa, dan hanya cukup untuk makan saja.
“Salma ingin putus sekolah saja Bu..” ujarku kala itu saat menemani Ibu berkeliling menjual gorengan.
Ibu tersenyum lembut memandangku, mengajak diriku duduk di Pos ronda.
“Jangan putus sekolah Sal..” aku tau, Ibu tidak ingin aku menjadi seperti ia sekarang ini.
“Ingat pesan Bapak, sesulit apapun keadaanmu, jangan pernah punya keinginan untuk putus sekolah...” tambahnya.
“Salma tidak tega, melihat Ibu terus-terusan jual gorengan untuk bayar uang sekolah.”
“Lagi pula, sekolah belum tentu menjamin Salma menjadi orang sukses ataupun kaya..” tambahku.
Ibu mengelus puncak kepalaku. “Jangan kecewakan usaha Bapakmu selama ini..” Ibu mengulas senyum tipis, kulihat sorot matanya ada harapan besar.
Aku menghela nafas. “Ta—“ belum sempat kulanjutkan bicara, ada orang menghampiri, untuk membeli beberapa gorengan.
**
Setelah aku memahami nasihat Ibu kemarin, aku mulai berpikir. Ucapan Ibu benar, jika aku putus sekolah, sama saja aku tidak menghargai usaha Bapak selama ini, sama saja aku mengecewakan Bapak.
Aku keluar rumah, kupandangi becak milik Bapak yang sudah remuk tak karuan, karena di tabrak oleh orang yang tak bertanggung jawab. Jika biasanya setiap hari aku di hantar sekolah dengan naik becak, maka kali ini keadaannya sudah berbeda.
Kupakai sepatu lusuhku yang di beli saat ulang tahunku tiga tahun lalu. Kulangkahkan kaki menyusuri jalan menuju sekolahan. Di sana, nampak banyak anak-anak yang mengamen di lampu merah. Sudah berapa kali mereka di tangkap Satpol PP, mereka yang seharusnya mendapat hidup normal layaknya anak-anak lainnya, tapi karena keadaan buruk, mereka harus mencari nafkah.
Sampai di sekolah, pagi-pagi telingaku sudah di sambut ejekan dari mulut Inez—si anak pejabat itu.
“Selamat pagi anak miskin.” Ujarnya tersenyum miring.
Ingin aku lawan ucapannya itu, tapi Emma—teman sekelasku mencegahku.
Aku ingat kala itu, pernah sekali ku lawan ucapan Inez saat ia mengejekku karena aku ikut program beasiswa, bukannya mendapat pembelaan dari penduduk kelas, mereka malah menertawakanku. Aku tau, aku hanya orang miskin. Tapi bukannya orang miskin juga berhak hidup normal seperti kehidupan orang lain, tanpa harus di ejek setiap harinya.
“Minggir, anak pejabat mau lewat!” kata yang selalu Inez ucap, setiap kali lewat sampingku.
Gadis sombong yang selalu memamerkan harta dan jabatan yang di miliki orang tuanya.
**
Tanpa di rasa, aku sudah melalui ujian nasional untuk mengukur pencapaian kompetensi, dan dua minggu lagi adalah acara wisuda kelulusan.
Bel pulang sudah berbunyi, aku berjalan menyusuri koridor. Dari belakang ada yang memanggilku, Pak Budi—wali kelasku.
Pak Budi menghampiriku lalu menunjukan brosur dari Universitas Pelopor Bangsa. “Sal, kau bisa coba ikut seleksi di Universitas ini...”
“Bapak harap, kau bisa lanjut kuliah. Sangat di sayangkan, jika siswi berprestasi seperti dirimu tidak lanjut kuliah.” Tambahnya.
Pak Budi lalu membuka brosur tadi, dan menunjukan beberapa persyaratan untuk ikut seleksi beasiswa jalur prestasi. “Bapak yakin, kau pasti lolos ikut seleksi ini..”
Aku mengulas senyum mendengar dukungan dari Pak Budi. “Akan saya coba Pak..”
Aku berlalu pulang setelah berpamitan.
Dua hari setelah Pak Budi manawariku untuk ikut seleksi beasiswa, paginya aku berangkat untuk mengikuti seleksi.
Aku melakukan hal semaksimal mungkin agar bisa lolos. Setelah aku selesai seleksi, hasilnya akan diumumkan satu minggu lagi.
Aku lalu pulang, naik angkot. Aku turun di depan warung makan, membeli dua bungkus nasi untuk ku makan nanti bersama Ibu.
Aku lalu pulang dengan berjalan kaki, karena uang yang ku bawa tadi, habis untuk bayar angkot dan membeli dua bungkus nasi.
Saat perjalanan, aku melihat anak kecil usia lima tahun kalau tidak salah. Ia memungut makanan di dekat tempat sampah.
“Jangan di ambil dek.” Ujarku menyegah tangannya mengambil makanan yang sudah di hinggapi lalat dan di kerubungi semut.
Aku menyodorkan satu bungkus untuknya.
“Buat saya Kak?”
Aku mengangguk sebagai jawaban. Anak tadi seketika tersenyum simpul. Ia mengucap terima kasih dan berlari menghampiri lelaki paruh baya yang sedang memulung.
“Bapak, Andi dapat makanan Pak...” ujarnya begitu semangat.
Aku lihat mereka tengah berbahagia seperti habis mendapat lotre. Aku rasa mereka belum makan seharian ini, aku melangkah menuju keberadaanya.
“Ini buat Bapak..” aku menyodorkan sebungkus nasi yang ku bawa tadi.
“Ini sudah cukup Nak, terima kasih sebelumnya..”
Sejak saat itulah aku mengenal Pak Adi, pemulung tadi. Tinggal di pemukiman pemulung yang kumuh dan rumah terbuat dari papan, ya sebelas dua belas seperti rumahku. Ada rasa iba saat Pak Adi bercerita jika ia terkadang tak makan seharian. Aku serasa di tampar keras, aku yang sudah bisa makan setiap hari saja terkadang ingin menyerah menjalani hidup.
Sejak pertemuan itu, semangatku terus terkobar. Aku bersungguh-sunggu mencapai mimpi-mimpiku.
**
Hari ini adalah acara wisuda kelulusan. Aku duduk di baris depan bersama peserta wisuda yang lain. Aku menoleh ke belakang, Ku lihat Ibu yang duduk di tempat para wali murid. Ku pandang netranya yang penuh dengan ketulusan, wajah keriput yang tak pernah hilang aura bijaksananya, wajah yang teduh jika dipandang.
Kali ini adalah saat-saat yang paling menegangkan. Di atas panggung, kepala sekolah—Pak Rudi, namanya. Berdiri untuk mengumumkan siapa saja lulusan terbaik tahun ini.
“Lulusan terbaik dengan nilai rata-rata 91,80 di capai oleh...” Pak Rudi menghentikan ucapannya beberapa detik.
“Salma Afifah, putri dari Almarhum Bapak Sholeh dan Ibu Rumiyati.”
Deg..
Rasanya tidak percaya, ku-seka air mataku yang hampir luruh. Kaki terasa gemetar saat di minta naik ke atas panggung. Aku menyampaikan sepatah dua patah kata setelah menerima piala enam puluh sentimeter.
Setelah acara wisuda selesai, Pak Budi menghampiriku.
“Kau lulus seleksi Sal..” ujar Pak Budi, ya hasil seleksi satu minggu lalu sudah keluar.
Kebahagian terasa datang bertubi-tubi. Satu persatu mimpiku mulai terwujud, tapi perjalananku masih panjang. Masih banyak mimpi yang harus aku perjuangkan. **
Aku harap sepenggal kisah perjalananku, bisa menjadi pembelajaran bagi orang lain. Terus semangat memperjuangkan mimpimu, karena mimpimu adalah tanggung jawab yang harus kau wujudkan untuk menjadi nyata.