Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.
Ali Bin Abi Thalib
Ketika lulus dari SMA, orang tuaku menyuruh melamar pekerjaan. Aku ikuti keinginan beliau. Alhamdulillah diterima sebagai sales otomotif namun, hanya sehari saja aku bertahan. Dengan alasan menunggu hasil ujian masuk perguruan tinggi negeri, aku izin keluar.
Padahal aku tidak suka dengan kebohongan saat menjual produk, cara menjelaskan pun sangat cepat, membuat konsumen tak bisa bertanya atau menawar. Kelihatan seperti memaksa, mungkin memang aku saja yang belum bisa beradaptasi dengan cara kerja sales.
Setelah lulus kuliah, aku melamar kerja lagi. Kali ini juga sebagai sales representative, hanya bertahan selama kurang lebih 1 bulan. Alhamdulillah dapat banyak pengalaman. Berkomunikasi dengan banyak orang, mengenal daerah lain.
Lingkunganku penduduknya banyak yang bekerja di luar negeri, aku jadi tertarik untuk bekerja di sana juga. Saat itu pertama kali aku ditawari di Brunei Darussalam.
Persiapan pertama adalah ceck medical atau cek kesehatan. Aku melakukan cek kesehatan, yang pertama kali dalam hidupku. Melepas baju dan digantikan dengan baju transparan yang bisa ditembus sinar X. Di dalam kamar ganti aku takut keluar. Merasa malu dilihat dokter.
Bingung, sampai dokter memanggil dan menanyakan kesiapanku. Dengan gugup aku keluar, itu pun masih menggunakan baju dalam. Dokter pun kaget dan tersenyum agar dibuka semuanya dan diganti baju dari klinik agar bisa ditembus sinar X.
Akhirnya aku masuk lagi ke kamar ganti dan keluar dengan baju transparan tapi tetap menggunakan jilbab.
" Baru pertama kali ceck medical ya, Mbak?" tanya dokter.
"Iya, Pak!" jawabku malu.
" Kerja kemana?" tanya beliau sekali lagi.
" Brunei, Pak!" jawabku lirih.
" Semoga sukses ya, hati-hati! hasilnya bisa diambil seminggu lagi" seru Dokter itu sambil tersenyum padaku.
" Terima kasih, Pak" jawabku.
" Sama-sama!" balas Pak Dokter.
Saat itu lamaranku bekerja sebagai guru di sebuah sekolah swasta pinggiran desa, mendapatkan balasan. Aku diterima sebagai guru. Akhirnya aku lebih memilih menjadi guru dengan gaji yang sedikit daripada ke Brunei Darussalam.
Bersamaan dengan itu, aku juga mendaftar di sebuah agen kerja luar negeri untuk bekerja di Korea, ternyata fisikku tidak memadai. Lebih tepatnya tinggiku kurang. Setelah itu mencoba ke Jepang, gagal lagi karena fisik. Lalu ku mencoba mendaftar ke Belanda. Kali ini sudah pembuatan pasport. Ternyata tidak jadi berangkat dengan alasan ada masalah di kedutaan. Lalu Malaysia juga dan yang terakhir Hongkong.
Di Korea kerjanya apa?, sepupuku banyak yang kerja di Korea. Rata-rata di industri sebagai operator mesin. Mereka semua banyak yang sukses di sana. Ada juga yang pergi ke Taiwan dan betah bertahun-tahun.
Kalau di Jepang yang saat itu dibutuhkan pemetik buah apel namun, ada cerita yang kurang mengenakkan. Tetanggaku bercerita kalau ada yang bekerja di Jepang sebagai penjual ikan, dengan mendorong gerobak. Pernah juga dapat cerita seorang siswa dari Jepang, sedang berlibur di Bali. Siswa itu datang ke Bali dengan hasil jerih payahnya, bekerja paruh waktu di musim panas.
Nah yang di Belanda ini kabarnya sebagai pemetik bunga tulip. Beberapa hari kemudian ada sebuah berita di surat kabar Kompas yang menceritakan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di Belanda terlantar. Mereka tertipu sebuah agen dan akhirnya menjual rempeyek di sebuah restoran. Serta mereka tinggal di lorong yang banyak tikusnya. Entah cerita ini benar atau tidak, tetapi aku merasa bersyukur tidak jadi berangkat.
Kalau yang di Malaysia pekerjaannya sebagai pembantu di warung. Beberapa hari kemudian ada pekerja laki-laki yang baru pulang dari Malaysia, menceritakan wanita yang bekerja di sana kondisinya sangat memprihatinkan. Apalagi kalau belum bersuami, tidak ada perlindungan banyak laki-laki hidung belang. Baru tahu ternyata pelayan rumah makan, adalah salah satu pekerjaan yang rendah di Malaysia versi orang Malaysia sendiri.
Baca Juga : Aku, Gadis Penuh Luka - Zakia
Aku mendapat tawaran kerja di Hongkong, kalau aku bisa mengajar bahasa Inggris gajiku bisa naik. Jadi selain bekerja sebagai asisten rumah tangga juga merangkap sebagai guru lesnya. Sepintas sangat menyenangkan. Saat itu aku sudah mengajar, jadi berpikir ulang untuk bekerja di sana. Belakangan baru tahu kalau kerja di Hongkong, kadang tempat tidurnya tidak memadai atau tidak layak. Belum lagi susah salat.
Alasanku untuk bekerja ke luar negeri selain gaji besar, saat itu aku sudah memiliki paspor. Setidaknya aku gunakan sekali saja, agar tidak mubazir. Tetapi sampai masa berlakunya paspor itu habis, aku tidak pernah pergi ke luar negeri.
Suatu saat ada sebuah training tentang cita-cita. Trainer memberikan sebuah ilustrasi agar setiap peserta mengambil selembar kertas, kegiatan pertama lempar sembarangan setelah itu kertas tersebut diambil lagi. Kegiatan kedua lempar ke sebuah tempat atau benda yang diinginkan. Dari situ bisa dilihat ketika tujuan kita tak terarah semuanya akan berantakan, ada yang terlempar kebelakang, kesamping, atau tersangkut di suatu benda atau tempat. Berbeda dengan yang sudah ditentukan tujuannya. Kita akan fokus pada benda itu, tempat itu.
Seperti itulah cita-cita dan tujuan hidup. Harus ada rencana, tentukan tujuan kita. Kalau kita fokus dengan hal yang sudah direncanakan pasti tujuan kita akan tercapai.
Sepuluh tahun yang lalu, saat itu aku masih SMA, ada sebuah training kepribadian di sekolah. Pentrainer menyuruh masing-masing siswa menulis cita-cita dan keinginannya di selembar kertas selama 5 sampai 10 tahun mendatang. Kutulis cita-citaku seperti yang dicontohkan pentrainer.
Baca Juga : [Cerpen] Gadis Pemilik Sejuta Mimpi - Lya
Aku menyimak training itu dengan seksama. Aku langsung menentukan tujuan dan cita-citaku. Aku ingin mendapatkan beasiswa pendidikan ke luar negeri. Setiap tahun mencoba mendaftar program beasiswa ke luar negeri. Entah di Jepang atau Australia atau di Eropa terutama Swedia dan Polandia.
Mencari teman orang luar negeri untuk belajar bahasa asing, atau sebagai penjamin kalau benar-benar bisa ke sana. Ketika ngobrol dengan teman orang Jepang, mereka menganjurkan aku mengajar bahasa Inggris dan mencari arubaito atau kerja paruh waktu. Begitu juga dengan Australia, ada sebuah keluarga yang mau menjadi penjaminku. Tetapi tetap saja ada banyak hal yang menjadi pertimbangan. Terutama bahasa Inggris yang kurang lancar.
Aku tak pernah putus asa untuk mengejar cita-citaku. Kuikuti training dan seminar pendidikan di dalam negeri dari yang nasional atau pun internasional. Berharap bisa menambah poin ketika mendaftar beasiswa tersebut. Mengikuti berbagai macam kursus bahasa atau ikut test Toefl dan sejenisnya. Meski belum bisa mendapatkan beasiswa itu, aku tidak kecewa karena memang belum rejekiku.
Satu persatu cita-citaku yang tertulis di selembar kertas itu pun tercapai. Aku juga mendapatkan sebuah bonus yang tak terduga.
Bisa kuliah sampai sarjana, bisa merasakan sekolah pasca sarjana meski hanya satu semester, menjadi dosen di sebuah sekolah kesehatan. Mengajar di sebuah sekolah favorite dan terkenal. Keinginan yang utama belum tercapai namun Allah tahu yang terbaik buat kita.
Yang belum tercapai adalah pergi ke luar negeri atau naik pesawat. Suami sudah pernah pergi ke Mesir dan Dubai saat umroh. Cerita tentang pergi ke Baitulloh. Mendapat cerita seru dari suami. Karena hamil aku tidak ikut berangkat.
"Untuk saat ini mendidik dan mengasuh anak-anak di rumah saja ya, Mi! kalau ada rejeki kita bisa berangkat umroh bersama!" kata suami membesarkan hatiku.