Kau tahu, bagaimana rasa kenyamanannya saat berada disini?
Dan, apa penyebabnya?
Aku membuktikan sendiri. Percaya atau tidak. Tempat ini masih seperti dahulu, suasana disini tidak ada yang berubah sedikit pun. Segar, sejuk, damai, dan ramai dengan pegunjung. Meski banyak pembangunan dan renovasi untuk menjadikan kota ini lebih bernuasa modern historic place. Alasannya, tentu untuk menarik minat wisatawan asing untuk antusias mengunjungi tempat ini.
Kebetulan saja, aku juga berada disini. Sekedar menjelajah malam, menyantap soto legendaris Tegalsari, membeli accecoris, ataupun duduk bersantai menatap bulat rembulan dari atas menara yang cukup tinggi. Lalu, aku meneropong dari atas. Sehabis sholat magrib, dia berteman gerimis dan berteduh dalam kehangatan secangkir kopi menepi pada garis sunyi yang sepi.
Beranjak siang tadi, rintik hujan terus menguyur bumi Ponorogo. Awan tidak pernah berhenti menetes. Cakrawala berselimut mendung tipis, biru pucat. Hingga sekarang, dingin angin malam seakan menusuk tulang rusuknya.
Percayalah, inilah rutinitas dia. Setiap malam jum’at kliwon, dia akan kembali ke tempat ini untuk mencari ketenangan hati. Entahlah, seperti ada pangilan hati yang mewajibkan kaki renta itu untuk menapak kembali di tanah ini. Andai kata hujan badai pun tidak akan menghalangi langkahnya.
Disini adalah kenangan. Dari tempat ini dia mempunyai persepsi yang menarik. Unik bagi mereka yang menjamah wisata religius desa ini. Istimewanya bagi dia adalah malam ialah waktu yang paling indah untuk mennikmati kesendirian. Bersimpuh lumpuh diatas sajadah bermunajat kepada Allah swt.
Adzan isya’ pun menggema.
Mengerutu langit untuk sejenak bersujud mesra. Dia bangkit dari duduk, menunaikan kewajiban dengan khusyuk. Aku melihat, ebanyakan dari mereka sedang berjajar di teras masjid untuk sedikit berbincang santai.
Hal yang sama dengan kegiatan yang dia lakukan. Dia bersingkur duduk di pojok teras masjid, bagian selatan. Udara disini sangat menyegarkan. Rembulan bulat di angkasa raya. Kami begitu asyik memandang sunyi, menekur pada garis waktu keheningan malam.
Mendadak aku membisu.
Dia memandang menara yang menjulang tinggi, dengan balutan cahaya warna-warni yang menawan. Menara yang terbuat dengan bebatuan marmer berwarna coklat mengkilap. Tampak disekelilingnya tertata rapi, tanaman bunga yang hijau segar untuk dipandang.
Aku diam.
Dia mengamati menara masjid dengan hati yang kabut. Dia bernostalgia pada sebuah runtutan waktu yang berjalan lalu. Tempat ini adalah kenangan. Tempat bersejarah. Dan, tempat yang terpenuhi kata rindu.
Sejarah, sebuah kejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lalu. Panjang memang jika berbicara perkara sejarah dan rindu, keduanya sangat pelik untuk dipercaya namun benar adanya. Sebuah kebenaran sejarah 18 abad yang lalu, tepatnya.
Itu waktu yang teramat panjang bukan?
***
Tegalsari. Siapa yang tak mengenal desa ini? Sebuah desa religius tertua di Indonesia yang tak terlupakan. Desa yang menyimpan sejarah keabadian. Disinilah tempatnya menikmati keheningan ini sendiri. Matanya memandang tajam Masjid Jami’ ini yang masih kokoh berdiri.
Begitulah, rasa rindu yang membuat kami mengerti arti sejarah kehidupan.
Dia melamunkan diri sambil mengulang kisah masa lalu. Fikirnya melayang, sungguh indah keagungan Allah swt. Helga terlelap dalam malam hingga acuh dengan keadaan di sekelilingnya.
“Beginilah tanah ini, Gaa. Memang sebagian orang menemukan kedamaian disini. Bukan hanya mereka saja, kau pun tercenggang akan adanya sejarah. Dan, juga disinilah tempatmu kembali menikmati kesunyian”
Dia terkejut, “Bapak?”
“Suatu saat ketika bapak sudah tiada, jangan berhenti mengunjungi tanah ini ya. Supaya nanti tanah ini menjadi cerita kenangan yang tak pernah usai”
“Tentu bapak, tanah ini akan menjadi sejuta saksi akan namaku dan nama bapak”, tegasnya.
Mengejutkan yang menggembirakan. Rupanya, kedatangan beliau cukup menarik semangatnya. Dia berbunga-bunga. Seperti orang yang sedang jatuh cinta, yang bertemu dengan kekasihnya disaat merindu berat.
Aku tertawa keras dengen pemikiran itu.
Akan tetapi, tidak berdusta senang rasanya bisa bertemu lagi dengan guru kesayangan itu. Bapak Abdul Manaf, guru dia sewaktu di Madrasah Aliyah Ronggowarsito. Lembaga yang berdiri di sebelah barat masjid Jami’. Beliau juga salah satu pengurus yayasan Kyai Ageng Mohammad Besari dan Takmir masjid Jami’ Tegalsari.
Beliau seakan menjadi saksi dalam sejarah adanya desa Tegalsari. Sesepu. Tokoh pemeran peradaban zaman sejarah. Hasil kebudayaan yang terlahir dari zaman Mesolitikum. Dalam jangkar waktu yang panjang.
Mereka belunjur dalam sejuta ketenangan jiwa. Aku sedikit memperhatikan dalam-dalam, beliau seakan membawa dia untuk kembali memaknai arti sejarah kehidupan. “Apa yang membuatmu rindu tanah in, Gaa?”
“Banyak bapak, tanah ini mengajarkanku perihal perjalanan kehidupan. Sebuah skenario sejarah yang selalu terukir dalam jiwa. Dari tanah ini, aku dapat memaknai rangkaian perjalanan skenario kehidupan”
Dibawah rintik hujan, mereka berteduh dalam kehangatan secangkir kopi. Beliau kembali mendongeng tanpa dia minta; Dulunya desa ini ialah sebuah perdikaian, pemberian Paku Buwono II yang nama aslinya Raden Mas Prabasuyasa di masa kerajaan Kartasura. Kerajaan Kartasura, sebuah kerajaan mataram islam pusat penyiaran agama islam yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kerajaan yang berdiri sejak tahun 1680.
Bermula berita angin, semua dikarenakan akan adanya seorang ulama besar penyiar agama islam yang hidup di tahun 1742 di zaman pemerintahan kerajaan Kartasura. Saat itu, di kerajaan Kartasura terjadi pemberontakan besar-besaran yang merawitkan negara Cina. Sebuah pemberontakan itu mengakibatkan Paku Bowono pergi meniggalkan keraton Kartasura.
Paku Buwono mengikuti kata hatinya untuk pergi menuju arah timur, hingga bertemu dengan Kyai Hasan Besari. Kyai Hasan Besari, pendiri pondok pesantren Gebang Tinatar. Pondok itu mengalami keemasan pada kepemimpinannya. Ribuan santri berduyun-dayun berguru untuk menuntut ilmu kepadan Kyai Hasan Besari; mulai dari bentala jawa maupun luar jawa.
Begitupun, waktu yang terus berputar dengan gesit, keadaan telah mengubah segalanya. Percaya atau tidak, bahwa rahmat Allah swt selalu menyertai orang-orang yang berada dalam jalan kebaikan. Paku Buwono II akhirnya bertafakur untuk menjadi santri, berguru kepada Kyai Ageng Hasan Besari. Paku Buwana II selalu diterpa dan dibimbing untuk merenungi atas segala kesalahannya dan bermunajat kepada Allah swt, pencipta alam semsesta ini.
Pada akhirnya, api pemberontakan di kerajaan Kartasura kian padam layaknya terguyur gerimis hujan malam ini. Seperti secerah cahaya yang menusuk malam, akhirnya Paku Buwono II kembali menenpati tahta kerajaannya. Dan, sebagai balas budinya kepada Kyai Hasan Besari Paku Buwana II menikahkan putrinya dengan Kyai Hasan Besari dan memberikan sekerat bentala yang bebas dari punjutan pajak; tanah Tegalsari.
Semenjak itu pula, nama Kyai Hasan Besari dikenal dengan sebutan Yang Mulia Kyai Hasan Besari.
Mataku masih menyala benggis memperhatikan di kejauhan.
Dia terpaku, terdiam seribu bahasa.
Mereka saling melempar canda tawa. Beliau tersenyum, begitupun dirinya. Hujan masih dalam kenyamanan. Dia hisap aroma kenikmatan secangkir kopi. Kemudian, beliau kembali melanjukan kisahnya kembali.
Dunia adalah miliknya malam ini. Entah, untuk malam ini saja. Atau seterusnya. Dan, jika kembali pada kisahnya. Setelah Kyai Hasan Besari wafat, kejayaan pesantren Gebang Tinatar itu merosot drastis. Namun, anak cucunya telah mengembangkan pusat penyiaran agama islam dengan mendirikan berbagai pondok pesantren di wilayahnya masing-masing. Salah satunya ialah Pondok Modern Darussalam Gontor. Pondok itu didirikan oleh murid kesayangan Kyai Hasan Besari, R.M. Sulaiman Djamaluddin, namanya.
Trimurti, mungkin sebutan itu tak asing bagi kalangan masyarakat kecamatan Mlarak. Trimurti ialah sebutan untuk ketiga putra Kyai Santoso Anom; K.H Ahmad Sahal, K.H. Zainudin Fananie dan KH. Imam Zarkasyi.
Mereka; beliau-beliau ialah pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor dengan cara menggabungkan ilmu trasional dan modern.
Hmm, panjang bukan jika berbicara perihal sejarah?
Malam semakin larut, rintik hujan kian deras menapak bumi. Dan, sedangkan Helga dan beliau masih terbuai dalam memaknai sejarah kehidupan. Berkawan damai rintik hujan. Di halaman masjid berteman rasa sepi.
Aku tercengang.
Mendengarkan runtutan kisah itu.
Sungguh, sejarah itu benar-benar panjang untuk diruntutkan dengan logika manusia.
Dari kisah bapak Manaf, aku juga tahu, bahwa dimasa kerajaan Kartasura ilmu kesastraan mulai berkembang dengan pesat; tercacat adanya pengaruh bahasa Sansekerta yang merupakan pengantar kitab-kitab suci agama Hindu dan Budha.
Kejam. Rintik hujan mereda. Rembulan malam melingkar tepat di atas menara masjid ini. Mungkin, hampir 2 jam mereka berbincang mesra. Mengulas sejarah, berbagi pengetahuan. Dan, menekur dalam jiwa malam.
Sekarang ini, secangkir kopi pun kian usai. Habis. Rasa lelah terpancar dari wajah tua beliau. Menguap. Mata itu pun mengambarkan rasa kantuk. Beliau pamit Pulang. Berjalan kaki. Dia pun menikmati setiap hentakan kaki beliau. Dia tersenyum, mengiringi langkah itu dengan senyum manisnya; senyum kerinduan.