Pada zaman dahulu disebuah hutan, hiduplah seorang gadis yang sangat cantik. Gadis itu bernama Rana. Ia tinggal bersama ibunya disebuah pondok kecil.
Bukan tanpa alasan dua perempuan itu hidup di dalam hutan. Bukan pula ibunya tak ingin membawa sang anak ke desa bertemu dengan warga disana, dan bermain seperti anak-anak lainnya.
Rana lahir dengan kulit berwarna-warni, sejak saat itu warga desa menganggap mereka keluarga pembawa sial dan mengusirnya ke hutan. Kini Rana tumbuh menjadi gadis yang cantik dan ceria, itu karena satu orang teman setianya, Son–Si Bunglon.
Son dan Rana selalu menghabiskan waktu bersama. Seringnya mereka bermain petak umpet atau menaiki ayunan yang sengaja ibunya buat di pohon mangga depan rumahnya. Jika pohonnya berbuah, Rana dengan ceria memanjatnya dan mengumpulkan untuk diberikan pada sang ibu. Namun, ada satu hal yang paling gadis itu sukai yaitu berenang di danau. Seperti saat ini.
Rambut Rana dibiarkan tergerai, melambai indah ketika dirinya berenang mengitari sisi danau.
"Bukankah ini sangat menyenangkan, Son?" tanyanya dengan tawa ceria.
Son–Si Bunglon–menjawab dengan suaranya yang khas.
Hari terlihat semakin sore, Rana memutuskan untuk mengakhiri berenangnya. Gadis itu pulang dengan basah kuyup karena berenang dengan pakaian lengkap.
Rana menyusuri hutan bersama Son yang bertengger di bahunya. Hutan itu sudah sangat dihafalnya, jadi mustahil untuk Rana tersesat di sana.
Namun, ditengah perjalanan Rana mendengar suara ranting kayu yang patah. Pendengaran dan penglihatannya menajam, berusaha waspada jika saja ada binatang buas yang tiba-tiba muncul. Semak-semak disampingnya tampak bergerak, tak lama muncul seorang pemuda tampan dari balik sana.
"Halo, Nona. Apa kamu tersesat?" tanya pemuda itu. Rana menggeleng sebagai jawaban.
"Lalu kenapa pakaianmu basah? Kamu memiliki masalah?" tanyanya lagi.
"Tidak, Tuan. Rumah saya tidak jauh dari sini, saya baru saja selesai berenang di danau." jelas Rana.
"Ooh, baiklah aku mengerti."
"Tapi, sepertinya anda yang tersesat di sini, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?"
Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian menjawab, "Aku sedang berburu bersama pamanku tadi siang, dan aku rasa aku kehilangan jejaknya dalam perjalanan pulang."
Rana melirik bunglon di pundaknya seolah meminta pendapat, dan bunglon itu membisikkan sesuatu ke telinga Rana. Seketika raut wajah Rana berubah terkejut.
"Aku tidak bisa mengajaknya pulang, Son. Ibu akan marah jika aku membawa pemuda bersamaku."
Son kembali berbisik.
"Iya, tapi aku rasa, aku cukup menunjukkannya jalan." jawab Rana lirih seolah ragu dengan jawabannya sendiri.
Tanpa gadis itu sadari sejak tadi pemuda dihadapannya memperhatikan interaksi Rana dan Son. "Apa kamu baru saja berbicara dengan bunglon itu?" tanyanya memastikan.
Rana mengangguk polos. "Dia sahabatku, Son."
Pemuda itu memandang Rana aneh. Dia juga baru sadar jika kulit gadis itu berwarna-warni. Apa dia mengidap penyakit? pikirnya
Melihat tatapan aneh itu, Rana menjadi sedikit takut dan sedih. Mungkinkah dia juga berpikir bahwa aku pembawa sial? Pikirnya
"Rumahmu di hutan?"
Rana mengangguk.
"Hari sudah semakin larut, sebaiknya kamu bermalam di rumahku." ujar Rana.
Pemuda itu menurut dan merekapun berjalan beriringan menuju pondok Rana.
Tok... Tok... Tok …
"Aku pulang!"
Tak lama seorang wanita paruh baya keluar dengan tergopoh-gopoh dari sebuah ruangan.
"Kamu-" perkataannya terpotong saat melihat Rana berdiri bersama seorang pemuda asing.
"Siapa yang kamu bawa, Nak?" tanya ibu Rana.
"Aku bertemu dengan pemuda ini di hutan, Bu. Dia tersesat, jadi aku membawanya kemari untuk bermalam." jawab Rana
Ibu rana memperhatikan pemuda itu dari ujung kaki hingga rambut. Dia tidak terlihat seperti pemburu, tidak juga seperti perampok. "Dari mana asalmu, Nak?" tanya ibu Rana.
"Aku... dari desa, nyonya." jawabnya setelah cukup lama
"Panggil saja ibu." pemuda itu mengangguk.
"Apa dia boleh menginap di sini, Bu?" tanya Rana kemudian.
Ibu rana menghela nafas kemudian berkata, "Rapikanlah kamar belakang, ibu akan menyiapkan makan malam untuk kita."
Rana tersenyum lebar.
"Mari, aku antar ke kamarmu. Kamu bisa istirahat di sana."
Malam itu keluarga Rana dan pemuda asing makan bersama, mereka bercengkrama layaknya saudara. Ternyata pemuda itu sangat sopan dan ramah, padahal ibu Rana sempat merasa sangsi untuk menyajikan menu makanan keluarganya yang alakadarnya.
Setelah melalui malam yang hangat dan pagi yang menyenangkan, seperti rencana awal pemuda itu harus kembali melanjutkan perjalanan menuju desa. Ibu Rana sudah menunjukkan jalan paling aman dan cepat untuknya, tak lupa sebuah bungkusan untuk bekal di perjalanan.
"Saya ingin mengucapkan terimakasih, Bu. Saya sangat terbantu dengan kebaikan kalian, sungguh hari ini tak akan pernah saya lupakan."
"Tak apa, Nak. Kami tidak keberatan sama sekali. Sebelum hari semakin terik sebaiknya kamu cepat berangkat."
Pemuda itupun mengangguk dan mulai berjalan sambil melambaikan tangan hingga punggungnya menghilangkan ditelan hutan.
Dua bulan berlalu sejak kedatangan pemuda asing ke kediaman Rana, dan selama itu pula gadis itu memikirkannya. Memikirkan seperti apa bentuk desa yang ditinggali banyak orang.
"Son, apa kelak aku bisa pergi ke pasar yang ada di desa? Katanya disana ada tempat yang menjual banyak barang dan makanan."
Bunglon itu menggeleng tegas, dan Rana mendengus kencang.
"Memangnya apa yang salah? Tak ada yang mustahil di dunia ini." ujarnya sambil berlalu pergi ke dalam rumahnya.
Hari demi hari berlalu, Son merasa kalau Rana berubah.
Bunglon itu menyeret papan ular tangga yang biasa mereka mainkan. "Aku tidak ingin bermain, Son." ujar Rana yang tengah menyisir rambutnya.
"Matahari sedang terik, Son. aku tidak mau bermain ayunan sekarang." jawab Rana ketika son menarik roknya ke arah halaman.
Tiba-tiba disatu hari yang cerah, Rana berlari menghampiri ibunya dengan nafas terengah. "Ibu aku ingin pergi ke desa."
Perkataan Rana membuat ibunya terdiam, kemudian bertanya, "Untuk apa, Nak?"
"Aku ingin seperti orang lain, Bu. Desa pasti sangat ramai dan menyenangkan."
"Tidak Rana." tolak ibunya.
Rana merasa bersedih, kemudian gadis itu berucap dengan lirih, "Apa ini karena warna kulitku?"
"Jika iya, maka sembuhkanlah aku. Aku juga ingin memiliki teman seperti yang lain. Bukan Hanya bunglon yang selalu bertengger di pundakku." ujarnya seraya berlari ke dalam kamar.
Son menatap Rana yang menjatuhkan tubuhnya di ranjang seraya menangis sesenggukan. Dirinya merasa dunia begitu tak adil padanya. Bukan keinginannya memiliki kulit seperti ini, dan haruskah orang-orang membuangnya? pikir Rana.
Melihat Rana yang menangis Son ikut bersedih. Bunglon itu sangat menyayangi Rana, gadis cantik yang baik hati. Gadis itu yang menyelamatkannya ketika hanyut di sungai, hingga sekarang mereka berteman.
Selama ini Rana menjadi teman yang baik, ceria, dan menyenangkan. Tapi Rana tetaplah manusia, semakin beranjak dewasa Rana semakin membutuhkan orang lain, membutuhkan pasangan, dan teman. Teman yang sebenarnya dan bukan binatang seperti dirinya, pikir Son.
Rana tertidur karena lelah menangis, dalam tidurnya Rana bermimpi berjumpa dengan seorang kakek tua yang membawa tongkat.
Kakek itu terlihat kesulitan berjalan ditengah hutan, melihat itu Rana berlari menghampiri sang kakek.
"Mari aku bantu." kakek itu membalas dengan senyum hangat tanpa mengatakan apapun.
Mereka berjalan menyusuri hutan hingga sampailah di sungai pedalaman.
"Dimana rumahmu, Kakek?" tanyanya.
Kakek itu kembali tersenyum, "ini Rumahku, Rana."
Rana menautkan alisnya heran, kenapa kakek ini tahu namaku? pikirnya.
"Jika kamu ingin pergi ke desa, maka pergilah. Bawa ibumu dan tinggallah disana, kamu tak perlu khawatir dengan warna tubuhmu karena semua akan baik-baik saja setelah ini."
Rana masih tidak paham dengan perkataan kakek tua itu, hingga Rana terbangun dan baru sadar bahwa hari sudah menjelang petang. Rana menyesal telah mengatakan hal buruk pada ibunya, gadis itupun memutuskan untuk menghampiri ibunya kembali.
"Ibu?"
Sang ibu menoleh dan tersenyum hangat.
"Maafkan aku, Bu. Aku sudah berkata tidak pantas. Aku senang tinggal disini bersama ibu." ibu Rana semakin melebarkan senyumnya setelah mendengar perkataan Rana. Dia merentangkan tangannya dan Rana memeluk ibunya erat.
"Tidak, sayang. Ibu mengerti. Kamu pasti juga ingin tahu dunia luar, kamu tidak bernah berinteraksi dengan teman sebayamu. Maafkan ibu, sekarang kita kemasi barang kita dan kembali ke desa." ujar ibu.
Rana sontak melepas pelukannya dan menatap sang ibu tidak percaya. "Tapi bu, kulit-"
Rana menghentikan perkataannya ketika menyadari warna-warna dikulitnya telah hilang. Rana menatap ibunya dengan wajah Bahagia. "Ibu?! Apa ini sungguhan? Apa aku sudah sembuh?" tanyanya tak percaya.
"iya, Nak. Ini semua berkat kesabaran dan kebaikan hatimu." jawabnya.
Rana berteriak senang dan berlari ke dalam kamar untuk menemui sahabatnya, Son. Namun, sesampainya di kamar Rana tidak menemukan apapun.
"Ibu dimana, Son?"
"Dia … sudah pulang, Nak. Sekarang kita juga harus pulang."
Kini rasa bahagia Rana berganti menjadi rasa sedih, gadis itu kembali memeluk ibunya.
"Jika kulit normalku harus diganti dengan kepergian Son, aku tidak pernah menginginkannya, Bu. Aku ingin temanku kembali." ucap Rana sedih.
Ibu Rana mengusap punggung putrinya sayang. "Son harus bebas sayang, begitupun kita. Kita akan berkunjung lagi kesini, sekarang kita kembali ke desa."
Rana mengangguk dan melepas pelukannya. akhirnya Rana dan ibunya kembali ke desa, memulai kehidupan yang baru dengan bahagia.
Dongeng Lainnya Klik Disini!