Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Review Buku] Sebuah Autobiografi Inu Kencana Syafi'i : BONGKAR!

Bongkar merupakan sebuah buku autobiografi Inu Kencana Syafii. Beliau merupakan seorang dosen sekaligus penulis Indonesia yang masih aktif hingga saat ini. Salah satu bukunya yang paling terkenal pada masanya adalah IPDN undercover, buku ini masih memiliki keterkaitan dengan buku berjudul Bongkar yang akan saya ulas kali ini.

Buku berjudul Bongkar ini terbit pada tahun 2011 oleh penerbit mizan. Dalam buku berjumlah 253 halaman ini, Inu Kencana menceritakan kisah hidupnya dari mulai awal kehadirannya di muka bumi hingga perjalanan mendetailnya memberantas kekerasan dalam pendidikan.

Inu Kencana Syafii lahir pada 14 Juni 1952 di Sumatra Barat. Beliau bercerita bagaimana perjuangannya untuk dapat mengenyam pendidikan tanpa adanya sosok ayah dan dalam perjuangan itu pula beliau harus kehilangan sosok ibu. Banyak hal unik yang saya dapatkan dari kisah keluarga beliau, dari mulai istri ayahnya yang berjumlah 3 dan saudaranya yang berjumlah 12 dengan ia sebagai anak bungsu. Tentu hal itu bukanlah hal yang lumrah terjadi dimasa sekarang.

Pada awal lembaran buku ini begitu mencerminkan realitas kehidupan yang mungkin pernah dialami beberapa orang. Beliau sempat kehilangan kepercayaan kepada Tuhan, hingga akhirnya menemukan tambatan hati dan tersadar bahwasanya hidupnya membutuhkan Tuhan. Beliau juga berhasil membuat istrinya menjadi mualaf meski mendapat banyak tentangan dari keluarga.

Untuk mencapai pokok permasalahan yang relevan dengan judul, pembaca akan memerlukan beberapa waktu. Pembaca akan diajak untuk ikut merasakan sepak terjang beliau yang sangat menarik. Pokok permasalahan dalam buku ini dimulai ketika beliau mulai masuk ke dalam lingkungan Institut Pemerintahan Dalam Negeri. Dimana tempat ini ternyata memiliki banyak sekali kebobrokan dibalik gagahnya seragam yang dikenakan para anggotanya. Dalam buku ini pula kita menemukan realitas menjijikan, bahwasanya kedok wibawa yang disajikan para pejabat tidaklah murni.

Baca Juga :

Peristiwa pembunuhan Wahyu Hidayat dan Cliff Muntu yang diangkat, pesta narkoba yang sering terjadi, hingga perzinahan yang dilakukan para anggota IPDN ditutup begitu rapat dan cantik oleh para pejabat tersebut. Inu kencana dengan berani mengungkap kebejatan para anggota IPDN, mulai dari melapor pada para petinggi hingga berakhir pada para wartawan ketika pendapatnya tidak kunjung diberi tanggapan.

Kekerasan yang terjadi dalam pendidikan seolah menjadi budaya yang harus dilestarikan. Ungkapan dari para seior bahwa, "apa yang kamu rasakan belum sebanding dengan apa yang aku rasakan dulu." rupanya menjadi sebuah kalimat keramat. Para pelajar yang merasa sudah naik kelas atau sudah menjadi senior seolah ingin membalaskan setiap perlakuan yang mereka terima sebelumnya. Para pelajar yang tidak pernah berpikir ini membalaskan setiap pukulan pada juniornya, bukan pada orang yang pernah memukulnya. Mereka merasa, para junior juga harus merasakan hal yang sama. Tentunya hal ini bukan hanya terjadi didalam lingkungan yang disebutkan Inu saja, tetapi juga terjadi di lembaga-lembaga pendidikan umum lainnya.

Dari buku ini kita dapat mempelajari banyak hal. Selama 10 tahun setelah terbitnya buku ini, ternyata belum banyak perubahan dalam pendidikan Indonesia. Seolah setiap kekerasan merupakan keharusan dan satu-satunya cara dalam tindakan pendisiplinan. Buku ini terbit sejak tahun 2011, tentunya pembacanya bukan hanya satu atau dua orang bukan? Namun, kasus kekerasan serupa masih sering terjadi bahkan kerap kali memakan korban.

Buku ini seolah mengajak kita untuk membuka mata kepada para pejabat yang menjadi harapan rakyat, yang juga nyatanya selalu memiliki kekuatan untuk menutupi setiap keburukan dalam badan yang bersangkutan dengan pemerintahan, sebuah kebenaran dan kenyataan seolah hanya ilusi mata saja.

Sejujurnya buku ini cukup mengerikan bagi saya. Saya membayangkan bagaimana para penimba ilmu yang berjuang untuk impiannya harus mengalami banyak hal yang mengerikan. Satu kalimat yang membuat saya terenyuh, pada halaman 185 ketika Cliff Muntu ditanya adik kembarnya perihal dirinya yang jarang tersenyum. Cliff Muntu menjawab, "Dik, di IPDN senyum itu mahal."

Terlepas dari kisah kekerasan dalam pendidikan yang dikisahkan Inu Kencana, saya juga merasa sangat tersentuh oleh banyaknya doa yang dipanjatkan oleh beliau. Bagaimana beliau yang tadinya sempat tidak mempercayai Tuhan, akhirnya seolah begitu tergantung dengan Sang Maha Pencipta. Saya merasakan bagaimana dahsyatnya kekuatan doa dan izin Tuhan dalam setiap peristiwa yang beliau tuliskan. Sungguh luar biasa.

Meski peristiwa yang inu kencana tulis dalam buku ini telah berlalu, kita harus tetap berkaca pada masa lalu. Bahwasanya pendidikan adalah hal yang penting. Karakter yang baik akan melahirkan manusia yang baik, dan manusia baik itulah yang kelak akan menjadi para pengabdi untuk negeri.

Sejauh yang saya baca, tidak banyak kekurangan dalam buku ini. Hanya saja ada beberapa kalimat yang menggunakan bahasa daerah, namun tidak tertera footnote disana sehingga membuat pembaca cukup kesulitan untuk memahaminya.

Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca, terutama untuk para pelajar dari mulai menengah atas hingga dewasa. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dalam buku ini. Mulai dari perjuangan, kerja keras, keberanian, keteguhan hati, hingga sebuah penyadaran diri akan pentingnya pendidikan karakter. Kebetulan saya meminjam buku ini di perpustakaan, untuk kalian yang tertarik bisa mencarinya di online shop atau toko lainnya.

Saya ingin menegaskan pula, bahwasanya saya bukanlah seorang yang ahli dalam merivew buku, saya hanya mengungkapkan pendapat dan pengalaman saya setelah membaca buku ini. Kritik dan saran terbuka lebar untuk teman-teman. Mohon maaf jika ada kesalahan. Terimakasih.

Oleh : Rizka Awaliah, Penulis Penadiksi Media
Diberdayakan oleh Blogger.