Spesifikasi Buku :
Buku original langsung dari penerbit. Untuk pembelian melalui Whatsapp dan Marketplace bisa klik Disini!
Sinopsis :
Reynaldi Yoshida Xioshi, anak seorang mafia Yakuza Jepang yang tak percaya akan adanya tuhan. Hidupnya penuh dendam, namun seorang gadis mencoba untuk menghancurkan dinding kokoh yang membelenggu hatinya. Gadis itu berusaha memperkenalkan agama islam, akankah usahanya berhasil ditengah dendam yang kian menggerogoti hatinya?
Bukan sekadar kisah romansa, kisah ini merupakan perjalanan mencari jati diri dan tuhan yang sesungguhnya.
BAB I
Aku
"Orang yang hebat itu adalah orang yang mampu mengenali dirinya sendiri dengan baik."
***
Suara barang pecah terdengar keras di ruangan tersebut. Ayah membanting vas bunga dengan keras di depan ibu, hingga pecah berkeping-keping. Wajahnya yang tampan kini berubah masam bak serigala yang akan menerkam mangsanya. Entah masalah apa yang terjadi di antara keduanya hingga kata-kata laknat keluar dari mulut kesatria sejatiku.
"Ima, watashitachiharikon shite imasu!” ucap ayah dengan lantang pada ibu dengan bahasa Jepangnya. Hatiku mencelos, hingga air mata pun berderai walaupun tak aku undang.
Ingin rasanya aku memaki-maki pria itu, berteriak sekencang-kencangnya di kedua telinganya. "Ayah jahat! Ayah itu 3471ng4n! Beraninya menyakiti hati perempuan!"Namun bibirku kelu untuk mengucapkannya. Bahkan kaki ini terasa berat untuk melangkah agar bisa memberhentikan mereka. Ya, aku masih bocah ingusan yang berumur 12 tahun, dan tak memiliki kekuatan lebih untuk menahan ayah agar tidak pergi meninggalkan ibu.
"Ok kalau itu mau kamu mas! Kita cerai sekarang! Karena aku juga sudah muak menghadapi sikap kamu yang arrogan, diktator, dan kriminal. Nante yaban'na otokoda! Musekinin! Ni," bentak ibu pada ayah dengan sengit.
"Apa kamu bilang!" Ayah melayangkan tangannya di udara untuk menampar ibu.
"Stop!" Aku berlari dari kamar menghampiri ibu dan memasang badan untuk melindungi bidadariku.
Plak!
Tamparan ayah tak sengaja mendarat dengan keras di pipiku hingga membuatku tersungkur, mata ini terpejam dan sulit untuk terbuka. Aku masih setengah sadar, dan jeritan ibu terus terdengar memanggil-manggil namaku.
***
Namaku Reynaldi Yoshida Xioshi anak ketua mafia Yakuza yang terkenal di Jepang. Lahir pada tanggal 13 Maret di kota Tokyo, berdarah blasteran Jepang dan Indonesia. Ayahku bernama Xioshi Nail berasal dari Tokyo Jepang, dan ibuku bernama Arum dia adalah orang Indonesia asli yang tak sengaja bertemu dengan ayah ketika kuliah di Jepang. Dulu mereka dijodohkan walaupun tidak saling mencintai tapi mereka begitu romantis. Hingga dari keromantisan itu hadirlah aku sebagai malaikat kecilnya yang sekarang sudah tumbuh menjadi sosok lelaki yang berwajah tampan, hidung mancung, alis hitam tebal, dan bibir pink yang tipis. Sungguh indah memang maha karya Tuhan yang telah menciptakan makhluknya. Kata ibu ketampananku turun dari ayah, dari mulai mata yang sipit, dengan bola mata yang hitam, juga kulit kuning langsat, dan tubuh atletis mencapai tinggi 180 cm persis seperti ayahku waktu muda dulu.
Jika bercerita tentang sosok ayah, aku jadi teringat pada lelaki gagah dan tegap yang sering kupanggil kesatria sejati. Banyak kenangan indah yang kulewati bersamanya dari mulai aku bermain bersama, melukis pemandangan bersama, sampai ia mengajarkanku untuk menjadi sosok lelaki yang kuat.
Namun kenangan indah itu tak berangsur lama, karena tergantikan oleh luka, ketika ayah bertekad untuk pergi meninggalkan aku dan ibu. Entahlah! Aku tak tahu alasan ayah kenapa meninggalkan malaikat dan bidadarinya, yang aku tahu sekarang, hanyalah aku, adalah anak broken home yang sering murung, dingin, cuek, sombong, dan diktator. Itu semua terjadi akibat sebuah perang besar 4 tahun lalu yang bernama perceraian.
Kejadian mengerikan 4 tahun yang lalu itu mengubah semua keadaan hidup. Aku yang dulu kaya harus bisa hidup sederhana, yang dulu suka makan enak kini menjadi biasa. Ya, itulah kehidupan, ia ibarat roda yang selalu berputar seperti aku sekarang yang harus tinggal di Indonesia bersama ibu bidadari terhebat dan terbaikku.
"Rey, ayok makan dulu sayang," kata ibu dengan lembut sambil mengelus kepalaku dan meletakkan makanan yang ia bawa di nakas. Kehadiran wanita paruh baya itu membuyarkan lamunanku tentang masa lalu. Tak terasa bulir bening jatuh dari mata, mengisyaratkan bahwa aku menyimpan banyak luka. Aku tak boleh menangis, aku tak boleh cengeng, karena aku laki-laki yang suatu saat nanti akan menjadi sosok kesatria yang harus bisa melindungi ibu.
"Hemm." Aku hanya berdeham sambil terus fokus memandangi game di layar computer tak menghiraukan panggilan ibu.
"Ya, sudah. Nanti Rey makan ya, shusinya. Ibu keluar dulu jangan lupa salat." Wanita paruh baya itu berlalu dari kamarku. Aku hanya termangu menatap kepergiannya, sudah 4 tahun aku tinggal bersamanya, lagi-lagi ibu menyuruhku untuk salat. Salat, salat, dan salat. Telingaku muak saja mendengarnya. Bahkan dari dulu sampai sekarang aku belum pernah melaksanakan perintah ibu yang satu itu, karena hatiku menolak untuk melakukannya. Kadang aku berpikir, untuk apa kita salat? Dan kenapa juga kita harus salat? Lagipula salat juga belum tentu bisa mengubah hidup kita, aku jadi penasaran dan terpancing ingin mencari arti dari kata tersebut.
"Menurut KBBI salat adalah rukun Islam kedua, berupa ibadah kepada Allah SWT, wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf, dengan syarat, rukun, dan bacaan tertentu, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam."
Kalimat itulah yang muncul ketika aku menulis kata 'salat' di icon pencarian. Aku terus membacanya berkali-kali, ternyata salat itu ribet sekali. Tapi aneh kok, ibu selalu melaksanakannya setiap hari sampai dia rela mengorbankan waktu istirahatnya hanya untuk salat. Rasa penasaran pun terus meninggi hingga jalan yang bisa kulakukan hanya satu, yaitu bertanya pada ibu.
"Bu, ibu!" Aku terus memanggil nama ibu di depan pintu kamarnya. Tapi tak ada sahutan apapun dari beliau, ternyata wanita paruh baya itu sedang melakukan salat. Aku menggeleng-gelengkan kepala, heran pada ibuku sendiri, apa ia tidak capek melakukan salat setiap hari, sebanyak lima kali dalam sehari.
"Sayang, sedang apa kamu di sini? Tumben kamu ke kamar ibu, ada perlu apa nak?" tanya ibu sambil menatapku dengan lekat. Membuatku kaget tak menyadari kehadiran ibu yang sudah ada di depanku.
"Eh ibu,” kataku nyengir kuda sambil mengagaruk-garuk kepala yang tak gatal, malu terpergok oleh ibu. “Eum... itu bu anu, Rey mau nanya sesuatu sama ibu,” lanjutku pada ibu dengan nada dingin.
"Mau nanya apa sayang? Ayo sini duduk,” ajak ibu menuntunku untuk duduk di pinggir ranjangnya.
"Bu, kenapa sih, ibu harus salat setiap hari? Padahal kan yang Rey tahu salat itu ribet, emang ibu gak capek apa salat terus?!” tanyaku dingin dengan menggebu-gebu.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum mendengar ucapanku yang terkesan ketus. Tangannya mengusap kepalaku lembut.
“Bagi ibu yang beragama Islam, salat itu adalah tiangnya agama. Dan salat itu adalah ibadah yang sering dilakukan oleh orang Islam sebagai bukti bahwa ia taat pada perintah Tuhannya yaitu Allah SWT," jelas ibu panjang lebar sehingga aku sedikit demi sedikit mampu memahaminya.
Ayah dan ibuku mereka beda agama, aku sebagai anaknya tak memilih salah satu di antara agama yang mereka anut. Menurutku memiliki agama itu ribet, sehingga aku belum percaya akan adanya Tuhan, walaupun sudah 4 tahun aku tinggal bersama ibu yang bergama Islam, dan selalu diajarkan ajaran agama tersebut tapi aku tak ada niat untuk memeluk agama tersebut ataupun agama lainnya. Karena aku ingin mencari kebenaran yang sesungguhnya dahulu, baru aku akan memeluk agama yang menurutku benar dan mampu dimengerti oleh nalar.
"Allah? Siapa dia bu? Kenapa dia tidak terlihat?” tanyaku heran dengan kening berkerut penuh selidik.
"Allah itu adalah Tuhan semesta alam yang menciptakan seluruh yang ada di jagat raya ini. Ayah, ibu, Rey, pun termasuk makhluk ciptaannya. Bahkan seluruh makhluk yang ada di dunia ini termasuk manusia, hewan, tumbuhan, dan semuanya itu Allah yang ciptakan sayang,” ujar ibu menjelaskan lagi padaku.
"Bukannya kata ayah dulu ketika di Jepang Tuhan semesta alam itu adalah matahari, ya? Karena matahari itu terlihat, sedangkan Allah yang ibu katakan tadi, dia tidak terlihat. Bahkan Rey sampai sekarang belum pernah melihat Allah,” ujarku kembali bertanya mengenai Tuhan.
Dulu ketika tinggal di Jepang, aku pernah bertanya pada ayah mengenai Tuhan. Kata ayah Tuhan kita itu adalah matahari karena dia itu tinggi dan terlihat. Ah, memikirkannya saja menjadi pusing.
"Sayang, Allah itu memang tidak terlihat oleh mata. Tapi dia itu ada, dan kehadirannya mampu dirasakan oleh hati. Allah juga tak pernah tertidur, berbeda seperti kita dan matahari yang selalu tertidur,” ucap ibu menjawab lagi pertanyaanku dengan santai.
Kali ini jawaban wanita paruh baya, membuatku bungkam, benar juga apa yang dikatakan ibu, kalau matahari itu sama dengan kita, dia tertidur ketika malam hari. Artinya, apakah agama yang dianut ayah adalah agama yang benar? Bukankah Tuhan yang disembahnya sama lemahnya dengan makhluk?
“Benar juga sih, apa yang dikatakan ibu. Berarti kalau begitu agama ayah tidak benar dong bu?”
Rasanya hari ini aku seperti wartawan, yang terus mengintrogasi ibu. Ya, bagaimana lagi kalau penasaran tidak ada solusi terbaik selain bertanya. Hingga tak terasa hari pun sudah mulai sore.
“Sayang, untuk masalah itu Rey akan tahu yang sebenarnya nanti ketika pikiran dan hati Rey sudah bisa berpikir dengan matang dan sejalan. Karena masalah agama itu adalah hal yang serius sayang, menyangkut hidup dan mati. Dan urusannya bukan dengan manusia tapi langsung dengan Tuhan. Jadi jangan pernah sekalipun kita mempermainkan agama,” ujar ibu tegas.
Aku pun terdiam sejenak, bidadariku sungguh hebat karena semua pertanyaaku terjawab olehnya dengan lugas. Hingga ada satu pertanyaan lagi yang meggelitik benakku untuk dilontarkan pada ibu.
“Ada yang ingin ditanyakan lagi, sayang?” tanya ibu, sambil melambaikan tangannya di depan mataku karena sedari tadi aku masih melamun memikirkan semua jawaban ibu.
“A-da bu. Ibu gak keberatan kan, kalau Rey bertanya lagi pada ibu?” kataku gelagapan.
“Enggak dong sayang, apalagi buat anak ibu yang semakin ganteng ini,” ucap ibu, memujiku.
Senyumku yang irit pun mengembang mendengar pujiannya. Ya, aku juga tahu kalau anakmu ini gantengnya selangit, kalau disandingkan dengan aktor Indonesia kata ibu wajahku ini hampir mirip sebelas dua belaslah dengan Kenny Austin. Aish, dasar orang tua emang mereka tidak pernah bosan untuk memuji anaknya.
“Satu lagi kok bu, pertanyaannya yaitu kenapa ibu lebih memilih menganut agama Islam, tidak agama lain seperti kristen dan yang lainnya?”
“Sebenarnya memang betul kalau agama itu ada banyak. Tapi agama yang sempurna itu hanya satu sayang yaitu Islam,” pungkas ibu penuh penegasan.
“Oh gitu ya, bu.” Aku hanya mangut-mangut saja tak percaya sepenuhnya. Karena setiap orang pun yang menganut agama seperti ibu pasti akan mengatakan hal serupa bahwa agama yang dianutnyalah yang terbaik.
“Emm… kalau misalkan suatu saat nanti Rey, milih untuk memeluk agama Islam boleh gak bu?”
“Sungguh sangat boleh sayang. Tapi di balik itu juga, ibu tidak akan memaksa Rey, untuk memeluk agama yang ibu anut. Karena Rey juga mungkin tahu kalau ayah dan ibu itu beda agama, dari adanya perbedaan kepercayaan tersebut, ibu tak akan mengekang Rey untuk mengikuti agama ibu ataupun agama ayah karena masalah agama itu adalah masalah keyakinan dan kepercayaan jadi ibu ingin Rey mencari kebenaran itu sendiri agar suatu saat nanti Rey bisa mengenal diri sendiri. Ketika seseorang telah mengenal dirinya dengan baik maka ia akan mengenal Tuhannya. Di situlah ia akan menemukan agamanya yang benar dan sempurna."
Penjelasan bidadariku sungguh memukai, membuatku takjub pada hidup ini, hingga aku paham bahwa aku harus mencari jati diriku sendiri. Itulah aku Reynaldi Yoshida Xioshi yang hidup dalam belenggu tali perbedaan yang menjadikan aku belajar bahwa hidup itu adalah sebuah pilihan yang diharuskan untuk memilih dengan penuh kesungguhan. Karena sejatinya di dunia ini tidak ada orang yang baik ada juga adalah orang yang selalu memperbaiki diri.