Wanita sejak zaman dulu telah menjadi sosok yang tersampingan. Dalam sejarah Islam – tepatnya pada zaman Jahiliyah – saat segala kemungkaran meraja lela, para wanita hanya dianggap sebagai pemuas nafsu. Bahkan tercatat dalam sejarah, pada masa Umar bin Khattab bayi – bayi yang lahir kelamin perempuan akan langsung di kubur hidup – hidup. Tidak jauh berbeda dari zaman Rasulullah, Indonesia juga pernah mengalami masa jahiliyahnya wanita. Pada saat itu wanita dianggap sebagai budak, penghibur, pemuas nafsu, bahkan tidak memiliki hak untuk belajar atau menuntut ilmu.
21 April tahu… menjadi sebuah kebanggaan bagi seluruh wanita Indonesia. Pada hari itu seorang wanita jawa menggaungkan sebuah asa mengenai hak para wanita yang sejak lama terenggut bersama kekuasaan para perkasa. Raden Ajeng Kartini, sosok penggerak emansipasi wanita yang hingga saat ini dikenang dengan kalimat popularnya ‘habis gelap terbitlah terang’
Meski begitu, isu kesenjangan gender ini masih menjadi permasalahn yang sering dibicarakan hingga saat ini. Meski para wanita telah melewati masa ‘jahiliyah’ itu, namun masih banyak onkum yang memperlakukan wanita semena – mena. Bukti nyata terasa sangat dekat dengan mata kepala, dimana para wanita menjadi korban tindak kekerasan dan pelecehan. Hal ini diperparah dengan melesatnya perkembangan teknologi, yang memudahkan segala bentuk kejahatan.
Maraknya isu – isu kekerasan dan pelecehan pada wanita yang kerap terikat dengan keberadaan teknologi terkini, mulai dari prostitusi online, ancaman, pelecehan secara verbal melalui pesan, saling berkirim pesan yang berkhir pembunuhan, dan masih banyak lagi.
Bukan hanya pelecehan dan kekerasan pada wanita, saat ini juga semakin marak isu – isu pelecehan terhadap anak. berita yang silih berganti ditayangkan di televisi selalu menyelipkan kasus pelecehan terhadap anak di bawah umur, entah itu oleh orang tuanya sendiri, maupun orang asing.
Lantas kenapa kekerasan dan pelecehan terhadap anak dan wanita dapat semarak ini sekarang?
Hasil pencarian menunjukkan data bahwa selama masa covid-19, kasus pelecehan dan kekerasan mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dapat disebabkan oleh rasa frustasi para orang tua terhadap kondisi abnormal pada masa covid, mulai dari pemerosotan ekonomi, hingga kondisi yang membatasi ruang gerak masyarakat. Selain dari itu, terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya kekerasan dan pelecehan terhadap wanita maupun anak, terutama dalam ruang lingkup rumah tangga :
Kurangnya pengendalian diri atau keimanan
Keimanan menjadi faktor utama dalam permasalahan kekerasan dan pelecehan terutama dalam ruang lingkup keluarga. Kasus miris yang sering terdengar adalah seorang ayah yang melecehkan anaknya sendiri, bahkan hingga anaknya hamil. Tentu jika dipikirkan dengan akal sehat hal ini merupakan sebuah penyimpangan yang hakiki, anak yang seharusnya dilindungi, diasuh, diayomi, dan mendapatkan hak – haknya sebagai anak harus mengalami perlakuan yang sewenang – wenang.
Kondisi mental atau psikologi yang tidak stabil
Kondisi mental atau psikologi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti tekanan ekonomi, lingkungan, maupun kelaianan bawaan. Pada kasus pelecehan terhadap anak, orang yang melakukan pelecehan bisa jadi memiliki kelainan pedofilia, sehingga memiliki hasrat berlebih pada lawan jenis yang masih dibawah umur, dan tidak menutup kemungkinan orang dengan kelaianan tersebut melakukannya di ruang lingkup keluarga.
Relasi kekuasaan yang tidak seimbang
Faktor terbesar dan yang paling sering terjadi adalah adanya relasi kekuasaan yang tidak seimbang antara korban dan pelaku. Korban kekerasan maupun pelecehan didominasi oleh kaum wanita, hal ini dikarenakan anggapan bahwa wanita adalah kaum lemah dan mudah untuk diintimidasi. Para pelaku kekerasan dan pelecehan tidak segan untuk melayangkan ancaman, bahkan yang berhubungan dengan nyawa korban hanya agar kebejatannya tidak diketahui. Dalam hal ini korban – yang notabene merupakan perempuan – akan merasa ketakutan dan pada akhirnya pasrah dengan apa yang pelaku lakukan.
Kurangnya pengawasan terhadap anak
Orang tua maupun masyarakat memiliki andil penting dalam kasus pelecehan terhadap anak. karena salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual adalah kurangnya pengawasan tehadap anak, hal ini akan membuka kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya.
Pergaulan
Di zaman ini, pergaulan antara pria dan wanita tidak memiliki batasan sama sekali. Jarak bukan lagi penghalang untuk menjalin hubungan. Di satu sisi hal ini memudahkan setiap orang untuk terhubung, namun di sisi lain juga membawa dampak negative yaitu sulitnya masyarakat dalam memfilter lawan bicara atau teman – teman mereka. Kasus yang sering terjadi adalah kekerasa, pelecehan, bahkan pembunuhan oleh orang yang baru dikenal.
Kurangnya batasan antara anak dan orang tua
Kasus yang melibatkan hubungan sedarah sudah sering terdengar sekarang. Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah kurangnya batasan antara orang tua dan anak. hubungan antara orang tua dan anak memang selayaknya berjalan harmonis. Orang tua harus dapat menempatkan diri menjadi guru, pelindung, sekaligus teman pada anak mereka. Namun, diperlukan juga batasan dalam berhubungan, dalam hal ini sebagai contoh cara berpakaian anak perlu diperhatikan ketika berada di depan orang tua, cara berinteraksi fisik juga perlu dibatasi, hal ini untuk menghindari terjadinya penyimpangan dalam hubungan keluarga.
Banyaknya kasus yang terjadi membuka mata public akan perlunya perlindungan dan keadilana terhadap kaum lemah. Hingga pada tanggal 12 April 2022 telah di sahkan Undang – Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Dengan adanya disahkannya undang – undang ini diharapkan mampu menanggulangi tindak kekerasan dan pelecehan di masyarakat.