A. Pengertian Filologi
Secara etimologi atau bahasa,
filologi berasal dari bahasa Yunani “Philologia” yang terdiri dari dua
kata, yaitu: Philos yang berarti cinta atau yang tercinta dan logos
yang berarti kata, kalimat, artikulasi, alasan atau ilmu pengetahuan. Sehingga,
secara sederhana filologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mencintai kata – kata.
Bila ditinjau dari segi terminologi
atau istilah, filologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari naskah – naskah
lama (manuskrip) untuk menetapkan keaslian, bentuk awal dan makna isinya. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jika kita menelusuri makna filologi
ditemukan pengertian bahwa filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan,
pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahan – bahan
tertulis. Ya, filologi mamang dapat diartikan sebagai kajian bahasa melalui
sumber – sumber tertulis. Karena filologi merupakan gabungan dari ilmu kritik
sastra, sejarah dan sekaligus linguistik.
Profesor Oman Fathurahman dalam
bukunya Filologi Indonesia : Teori dan Metode mengungkapkan bahwa “Philology
is about reading manuscripts”.[1] Beliau
mempunyai keyakinan bahwa hal terpenting dalam filologi adalah membaca naskah.
Karena saat membaca naskah biasanya akan muncul imajinasi – imajinasi tentang
struktur dan bangunan masyarakat masa lalu, tentang akar mula sebuah tradisi
keilmuan, tentang kejayaan suatu peradaban dan tentang sejarah interaksi sosial
serta bayangan akan sistem komunikasi masa lalu.
Henri Chambert-Loir, seorang filolog
(ahli filologi) asal Prancis berkata, “Filologi bukan sebuah tujuan, hanya
suatu peralatan”. [2]
Sebagai suatu “peralatan” filologi bisa digunakan oleh sarjana atau peneliti
dari berbagai disiplin ilmu. Ibarat pisau yang bisa digunakan oleh siapapun dan
dengan tujuan apapun. Contohnya, seorang yang memiliki disiplin ilmu agama,
atau lebih khusus seorang sarjana ilmu hadis. Ia bisa menggunakan filologi
sebagai alat untuk meneliti dan mengkaji naskah – naskah hadis tulis tangan
yang ia temukan. Atau seorang sarjana ilmu al – qur’an tafsir, ia bisa
menggunakan filologi untuk mengkaji naskah – naskah al – Qur’an yang ditemukan
disuatu tempat. Yang pada intinya, filologi sebagai sebuah alat sangat dibutuhkan
keberadaannya dalam berbagai bidang disiplin ilmu, karena suatu disiplin ilmu
zaman sekarang tidak akan terlepas kaitannya dengan keberadaan ilmu pada zaman
dahulu.
Jika ditinjau secara umum, filologi
bisa diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari kebudayaan suatu bangsa
berdasarkan bahasa dan kesusastraannya.[3]
Akan tetapi dalam pengertian yang lebih khusus filologi adalah cabang ilmu yang
mengkaji teks berserta sejarahnya (tekstologi), termasuk didalamnya melakukan
kritik teks yang bertujuan untuk merekonstruksi keaslian sebuah teks,
mengembalikannya pada bentuk semula, serta membongkar makna dan konteks yang
melingkupinya.[4]
Dalam tradisi Arab-Islam terkenal
istilah tahqiq, dalam proses tahqiq terdapat aktivitas filologi namun
istilah tahqiq tidak hanya digunakan untuk proses mengkritisi teks –
teks tulis tangan, istilah itu digunakan juga untuk mengkritisi teks - teks
yang terdapat didalam kitab – kitab yang tercetak. Sehingga dalam hal ini, tahqiq
lebih umum sasarannya dibanding filologi.
B. Urgensi Adanya Filologi
Keberadaan filologi menjadi sangat
penting karena banyaknya peninggalan sejarah dan budaya terutama di Nusantara
yang berbentuk naskah tulis tangan. Sehingga perlu ilmu untuk mengkaji naskah
tersebut. Sejarah dan budaya merupakan jalan kehidupan suatu bangsa baik zaman
sekarang maupun zaman dulu. Lewat sejarah kebesaran suatu bangsa bisa
dilegitimasi dan menjadi suatu kebanggaan tersendiri. Adapun urgensi adanya
filologi yaitu :
1. Adanya naskah varian (naskah yang
merupakan versi lain dari naskah asli)
2. Adanya kesenjangan tulisan berupa
aksara dan bahasa yang terdapat dalam naskah lama dengan tulisan dan
pengetahuan dizaman sekarang.
3. Adanya anggapan bahwa naskah lama
merupakan peninggalan yang tidak penting untuk masa depan, sehingga mengkajinya
merupakan suatu usaha yang sia – sia.
Salah satu naskah lama melayu tertua yang berhasil ditemukan adalah kitab Undang – Undang Tanjung Tanah, ditemukan di Kerinci, yang ditulis dalam bahasa Sanskerta menggunakan aksara pasca-Pallawa. Menurut uji radiocarbon naskah ini diperkirakan ditulis pada abad ke – 14.
C. Tugas dan Syarat Seorang Filolog
Salah satu tujuan dari penelitian
terhadap suatu naskah lama adalah untuk membuat naskah tersebut bisa digunakan
kembali. Naskah – naskah lama kadang ditulis dengan aksara – aksara yang sudah
tidak familiar lagi sehingga seorang filolog memiliki tugas untuk mengupayakan
agar suatu teks lama dapat diakses dan dibaca kembali oleh pembaca masa kini.
Karena adanya gap atau ruang kosong berupa perbedaan aksara dan lain sebagainya
yang membatasi antara penulis masa lalu dengan pembaca masa sekarang, karena
sulitnya memahami dan mengakses tulisan tersebut, maka sesuai dengan pendapat
Robson, ia mengatakan tugas utama seorang filolog adalah menjembatani gap
komunikasi antara pengarang masa lalu dengan pembaca dimasa kini.[5]
Untuk mencapai tujuan diatas, maka
ada dua hal yang harus filolog lakukan. Pertama, menyajikan teks dalam suatu
naskah yang sulit dibaca dan dipahami menjadi teks yang bisa dimengerti oleh
pembaca. Kedua, menafsikan teks sesuai konteks yang dihadapi dimasa sekarang.
Untuk pembaca umum, dalam menyajikan dan menafsirkan teks seorang filolog tidak
perlu menyampaikan bagaimana proses penyajian dan penafsiran teks tersebut,
Henri Chambert-Loir pernah mengumpamakan seorang filolog sebagai seorang tukang
servis. Mereka membetulkan sebuah alat elektronik seperti gadget atau
smartphone misalnya. Dimana tukang service mengembalikan gadget tersebut
setelah berhasil ia betulkan tapi tidak mesti ia memberitahukan bagaimana cara
membetulkannya. Gadget ibarat teks dalam suatu naskah lama, pemiliknya
ibarat masyarakat yang memiliki hak atas naskah, sedangkan filolog adalah
seorang tukang service yang menjadi figur perekonstruksi teks dalam suatu
naskah lama yang sudah tidak bisa dimengerti lagi oleh masyarakat dizaman
sekarang, kedalam teks yang kembali bisa dimengerti. Filolog tidak perlu
memberitahu kepada masyarakat bagaimana dan dengan cara apa ia merekonstruksi,
karena yang dibutuhkan masyarakat umum adalah teks dan makna naskah lamanya
saja.
Meskipun terkesan sederhana, tugas
seorang filolog tidak mudah. Karena mereka dituntut untuk bisa memahami apa
yang ada didalam suatu naskah yang secara teks, aksara dan bahasanya sudah
tidak digunakan lagi. Maka, terdapat syarat – syarat untuk menjadi seorang
filolog, diantaranya :
1. Cerdas, objektif, jujur dan
bersungguh – sungguh dalam meneliti.
2. Mampu menguasai aksara dan bahasa
yang terdapat dalam naskah lama.
3. Memiliki latar keilmuan yang sesuai dengan apa yang terkandung ddalam naskah.
Penulis : Mushpih Kawakibil Hijaj
Waktu : 09/10/2022, 15.30 WIB
[1]
Oman Fathurahman, Filologi Indonesia Teori dan Metode, (Jakarta :
Kencana, 2021), h. 15
[2]
Chambert-Loir, Sapirin bin Usman, Hikayat Nakhoda Asik dan Muhammad Bakir,
Hikayat Merpati Mas dan Merpati Perak, (Jakarta : Masup Jakarta, 2009), h.
271
[3] Baried,
Siti Baroroh dkk, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta : Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, 1994), h. 9
[4]
Baried, Siti Baroroh dkk, Pengantar Teori Filologi, (Yogyakarta : Badan
Penelitian dan Publikasi Fakultas (BPPF) Seksi Filologi Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, 1994), h. 57
[5] Robson, Principles of Indonesian Philology, (Leiden : Foris Publication, 1988), h. 11