A. Objek Kajian Filologi
Objek kajian atau penelitian filologi adalah naskah dan teks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) naskah diartikan sebagai karangan yang masih ditulis dengan tangan. Sedangkan teks bisa diartikan sebagai sebuah satuan bahasa. Dalam filologi pengertian naskah bisa disamakan dengan pengertian manuscript, yang secara bahasa berarti tulisan tangan, dan dalam bahasa arab disamakan dengan al – makhtutat (buku yang dihasilkan dengan cara tulis tangan).
Dalam kajian filologi, antara naskah dan teks perlu dibedakan pengertiannya. Naskah atau manuskrip adalah bentuk fisik yang digunakan sebagai alas penulisan suatu tulisan lama. Sedangkan teks adalah kandungan isi atau informasi yang terdapat atau ditulis dalam naskah tersebut. Nah, membedakan keduanya berfungsi untuk memudahkan peneliti atau filolog ketika menyusun sebuah katalog naskah. Karena, bisa saja dalam satu naskah terdapat banyak teks yang berisi tema – tema tulisan yang berbeda.
Selain itu, perlu diketahui bahwa tulisan atau teks yang terpahat dalam batu dan sejenisnya bukanlah merupakan objek kajian atau penelitian filologi. Biasanya tulisan – tulisan tersebut dikaji dalam kajian epigrafi dan arkeologi. Epigrafi merupakan salah satu cabang ilmu arkeologi yang bertugas untuk meneliti benda – benda tertulis yang berasal dari masa lampau. Objek kajiannya adalah prasasti. Sedangkan arkeologi lebih umum, yaitu ilmu yang mempelajari sejarah kebudayaan manusia zaman dahulu melalui benda/materi yang ditinggalkan. Nah, teks dalam suatu naskah merupakan objek utama dari kajian filologi, yang secara umum beralaskan kertas, baik itu kertas eropa, daluwang atau juga beralaskan lainnya, seperti daun lontar, daun nipah, kulit kayu, bambu atau rotan. Untuk ilmu khusus yang mengkaji bahan fisik manuskrip atau naskah disebut ilmu kodikologi. Sedangkan untuk ilmu khusus yang mengkaji aksara tulisan disebut paleografi.
Dalam kaitannya dengan masa lalu, naskah merupakan sumber penting dan primer paling autentik yang dapat menghubungkan masa lalu dengan masa sekarang. Sebagaimana kita ketahui bahwa, terdapat jarak atau pembatas antara masa lalu dengan masa kini, sehingga perlu jembatan untuk menghubungkan keduanya. Naskah merupakan jembatan yang dapat menghubungkan masa lalu dan masa kini. Dengan membaca naskah kita bisa mengetahui, budaya, peradaban dan sosial kehidupan zaman dahulu. Sehingga kita bisa mengetahui seluk beluk suatu peradaban dan budaya disuatu tempat, di masa sekarang. Kita juga bisa mengambil banyak pembelajaran dengan mengetahui dan mempelajari masa lalu, hal tersebut guna diterapkan atau menjadi bahan acuan berkehidupan dimasa sekarang.
Namun, perbedaan bahasa, tulisan dan budaya masa lalu dengan masa sekarang menjadi salah satu tantangan bagi seorang peneliti untuk mengkaji suatu naskah lama. Adanya perbedaan bahasa dan aksara menjadikan seseorang tidak bisa langsung memahami maksud tulisan dari suatu naskah lama. Bisa jadi karena bahasa dan aksaranya sudah tidak banyak digunakan lagi atau bahkan sudah tidak digunakan, sehingga penting untuk melakukan kajian yang mendalam terhadap naskah lama tersebut.
Terdapat tiga syarat sesuatu dikatakan naskah lama atau manuskrip. Pertama, berupa tulisan tangan. Kedua, bukan cetakan. Dan ketiga, berisi rekaman masa silam, yang menurut Adam Gacek, naskah itu ada sebelum priode mesin cetak.
B. Sejarah Perkembangan Naskah
Awal perkembangan naskah terjadi pada abad ke – 3 SM, di Yunani. Naskah – naskah tersebut dikaji, dipelajari dan dikembangkan terutama oleh pustakawan – pustakawan di Perpustakaan Iskandariyah (Alexandria). Nama – nama pustakawan tersebut diantaranya, Aristophanes (k. 446 – 386 SM), Apollonius Rhodius (paruh pertama abad ke – 3 SM), Aristarchus (k. 310 – 230 SM), Zenodotus (terkenal pada 280 SM), dan Eratosthenes (k. 295 – 214 SM).[1] Naskah – naskah yang tersimpan di perpustakaan Iskandariyah hampir semuanya berbentuk gulungan (roll) yang berbahan dari papyrus, yaitu alas tulis yang terbuat dari pohon air (cyperus papyrus). Naskah yang terbuat dari gulungan ini memiliki kelemahan yaitu sulit dan tidak praktis untuk membacanya. Contohnya, naskah berjudul Symposium karya Plato yang ukuran panjangnya kira – kira 22 kaki, atau sekitar 670 cm.[2]
Pada abad ke – 1 SM, kekuasaan Iskandariyah jatuh ke tangan Romawi. Sehingga, secara tidak langsung mengakibatkan penurunan iklim keilmuan dan perkembangan naskah. Dan dipertengahan abad ke – 2 M, Romawi berhasil mengembangkan tradisi kesusastraan dan keilmuannya sendiri. Sampai abad ke – 3 M, muncul karya – karya Cicero dan Varro yang mewarnai sejarah kebudayaan dan keilmuan sarjana Romawi saat itu.
Pada masa Romawi ini, bentuk naskah tidak lagi berupa gulungan (roll), namun beralih menjadi bundel buku (codex). Naskah buku ini tentu memiliki kelebihan dibanding naskah gulungan. Diantara kelebihannya adalah naskah buku ini lebih kokoh dan luas, serta lebih mudah dan praktis digunakan ketika membacanya.
Pada abad ke – 4 M, banyak terjadi perselisihan antara ilmuan penganut paganism dan agamawan kristen di Romawi. Sehingga, aktivitas keilmuan dan kajian mengalami penurunan cukup tajam. Hal tersebut diakibatkan karena menurunnya minat seseorang untuk membaca teks yang berasal dari tradisi diluar keyakinan mereka. Mereka fanatik terhadap teks yang berasal dari ajaran yang mereka yakini saja. Akan tetapi, penurunan aktivitas keilmuan tersebut tidak terjadi di wilayah Timur Romawi, seperti Iskandariyah, Antiokhia, Athena, Beirut, Konstantinopel dan Gaza. Dimana, di wilayah ini, lembaga – lembaga keilmuan justru tumbuh dan berkembang pesat. Perkembangan tradisi keilmuan di wilayah Timur Romawi inilah yang nantinya menjadi pendorong perkembangan keilmuan di wilayah Timur Tengah.
Pada Abad ke – 4 sampai 8 M, di wilayah Timur Tengah terdapat bahasa Suryani yang menjadi bahasa kesusastraan, penerjemahan, bahkan menjadi bahasa resmi Gereja dihampir seluruh wilayah Timur Tengah. Diduga kuat bahwa kemungkinan naskah yang pertama kali diterjemahkan adalah naskah Perjanjian Baru, yang diikuti oleh teks teologi Kristiani lainnya.[3] Setelah itu, dimulai dari abad ke – 8 M, secara perlahan bahasa Arab mulai digunakan. Sampai akhirnya menggantikan bahasa Suryani pada sekitar abad ke – 14 M.
Pada abad ke – 15 M, kerajaan Romawi Timur atau Byzantium jatuh ke tangan bangsa Turki. Sampai akhirnya Johannes Gutenberg (w. 1468 M) menemukan teknologi mesin cetak. Penemuan ini menjadi pristiwa revolusioner dalam segi pengadaan naskah. Sehingga kajian dan keilmuan bisa semakin berkembang. Dan pada masa selanjutnya, mulai muncul berbagai perguruan tinggi, yang semakin meningkatkan kajian dan keilmuan kearah lebih modern.
[1] Oman Fathurahman, Filologi Indonesia : Teori dan Metode, (Jakarta : Prenadamedia Group, 2021), h. 32
[2] Reynolds, L.D. & N.G. Wilson, Scribes and Scholars : A Guide to the Transmission of Greek & Latin Literature, (Oxford : Clarendon Press, 1974), h. 2
[3] Reynolds, L.D. & N.G. Wilson, Scribes and Scholars : A Guide to the Transmission of Greek & Latin Literature, (Oxford : Clarendon Press, 1974), h. 48