Di hari Minggu pagi yang cerah, dua gadis remaja bernama Ara dan Devi sedang pergi bersama. Mereka memutuskan untuk jalan-jalan di pusat kota dan mencari jajanan di sekitar situ. Tak lama kemudian, mereka menemukan toko gelato di sisi kiri jalan yang menarik perhatian mereka. Setelah membeli gelato, mata Ara tertuju pada bangunan toko yang terlihat kuno. Tertulis “Toko Antik dan Barang Bekas” di plang namanya. “Devi, ada toko barang bekas di situ! Ke sana yuk!” ajak Ara dengan mata berbinar.
“Ya udah, ayo!”
Pintu toko berderit ketika Ara membukanya disusul dengan suara gemerincing dari atas pintu. Aroma khas kayu lapuk tercium jelas di hidung Ara dan Devi. Lantainya dilapisi karpet merah dengan corak hitam dan putih di pinggirnya. Dindingnya berwarna cokelat kayu dan lampunya remang-remang kekuningan. Toko itu cukup besar dan penuh dengan barang-barang antik, namun tidak ada pembeli lain selain mereka berdua.
Ara berjalan menyusuri toko tersebut dan melihat satu barang yang membuat matanya terpaku. Sekotak perhiasan cincin dengan berbagai model. Ara mengambil satu cincin yang sama sekali tidak terlihat kuno. Cincin itu berwarna putih, bentuknya seperti manik-manik yang disusun membentuk lingkaran, dan ada hiasan bunga berwarna ungu muda di tengahnya.
“Wiih, cantik tuh, Ra. Udah beli aja, kamu kan suka cincin,” kata Devi yang tiba-tiba datang dengan membawa vas bunga bergambar sapi. Ara tersenyum kecil mendengar omongan Devi, lalu ia mencoba di jari manisnya.
“Bagus nggak Dev?” tanya Ara sambil mengangkat tangannya di sebelah kepalanya.
“Bagus, Ra, cantik banget itu! Nggak ada kuno-kunonya sama sekali lho. Kalo kata orang disebutnya hidden gem kali, ya, Ra,” puji Devi. Senyum Ara semakin lebar dan ia melihat cincin itu sangat cantik di jarinya. Tak butuh waktu lama, Ara memutuskan untuk membeli cincin itu.
“Yuk ke kasir. Aku beli cincin ini aja deh,” kata Ara.
Sesampainya
di kasir, Ara dan Devi menyerahkan barang yang mereka beli. “Pilihan yang bagus
lho, kak, untuk membeli cincin ini. Mau langsung dipakai, kak?” tanya kasir itu
tersenyum. “Iya, kak, langsung saya pakai aja,” jawab Ara. Kasir tersebut
mengangguk, menyerahkan cincin kepada Ara, dan memasukkan vas bunga milik Devi
ke kantong belanja. Setelah membayar, mereka berpamitan dengan kasir dan
bergegas keluar.
“Semoga
suka sama cincinnya, ya, Kak!” teriak kasir tepat saat Ara dan Devi akan
membuka pintu. Ara menoleh ke belakang dan mengangguk sambil mengacungkan
jempol.
“Kasirnya
kenapa tadi teriak kayak gitu, ya, Ra? Senyumnya juga agak aneh,” tanya Devi
setelah mereka keluar. “Biasa aja, kok Dev. Mungkin emang dia selalu bilang
kayak gitu ke setiap pembeli,” ujar Ara. Devi hanya terdiam dengan kerutan di
keningnya. Tak lama kemudian, mereka berpisah dan pulang ke rumah
masing-masing.
Sampai di rumah, Ara melihat kembali cincin di jarinya. Entah kenapa ada kilauan cahaya di hiasan bunga itu padahal di toko tadi tidak ada kilauan sama sekali. Ara tidak terlalu memedulikannya karena bisa jadi akibat pantulan cahaya. Ia melepas cincinnya dan memasukkan di kotak perhiasan.
Keesokan
harinya Ara bersiap-siap untuk pergi ke kampus, tak lupa untuk memakai cincin
barunya yang dibeli kemarin. Setelah siap, ia langsung mengambil kunci motor
dan berangkat. Ketika di perjalanan, Ara bingung karena tiba-tiba ada banyak
suara dari pemotor di kanan kirinya.
“Huh, tidur baru jam berapa udah harus berangkat.”
“Ya ampun jalanan macet banget, sih.”
“Wah, bahaya tuh motor tiba-tiba asal belok dari gang.”
“Aduh motor depan lama banget jalannya.”
Ara
mendengar keluhan-keluhan itu namun dengan suara samar karena tercampur dengan
suara angin di jalan. Ara masih berpikir bahwa mungkin memang banyak yang
mengeluh dikarenakan kondisi jalan yang cukup krodit. Lagi-lagi ia tidak
memedulikan kejadian pagi itu.
Sampai di kampus, Ara langsung memarkirkan motornya. Ia melihat ada Sabrina, teman sekelasnya yang juga baru datang. Kemudian mereka berjalan bersama menuju kelas dan Ara mendengar Sabrina menyanyikan sebuah lagu.
“Eh, aku juga suka lagu itu lho!” kata Ara.
Sabrina mengernyit menoleh ke Ara. “Lagu apa, Ra?”
“Yang kamu nyanyiin barusan,” jawab Ara.
“Huh? Aku nyanyi dalam hati, kok, Ra,” timpal Sabrina yang kebingungan.
“Huh, nyanyi dalam hati? Enggak deh, barusan aku
denger jelas kok suaramu.”
“Apa iya, Ra? Mungkin aku nggak sadar kali ya, jadinya kebawa sampai luar.”
“Iya, kali tuh, Sab.”
Baik Ara maupun Sabrina masih kebingungan. “Aneh, deh Ara. Jelas-jelas aku nyanyi dalam hati kok. Nggak mungkin juga, kan, dia bisa baca pikiranku,” kata Sabrina dalam hati. Ara terhenyak mendengar perkataan Sabrina. “Membaca pikiran?” batinnya. Pikirannya kembali kepada kejadian pagi tadi ketika ia mendengar banyak keluhan dari pemotor di jalan. “Jangan-jangan memang benar bahwa aku… bica baca pikiran?!” Ara menjerit dalam hatinya.
Di kelas Ara terduduk diam, wajahnya pucat. Ia hanya bisa memejamkan matanya dan memakai earphone yang sedikit membantu menghalangi suara. Selama perjalanan menuju kelas tadi, ia mendengar banyak sekali suara-suara dari orang lain. Setiap kali berpapasan dengan orang, otomatis Ara bisa membaca pikiran orang itu. Hal ini membuat telinga Ara serasa ingin meledak karena terlalu berisik.
Sabrina menghampiri Ara dan bertanya apakah dia sakit. “Kamu pucat banget, Ra. Lagi nggak enak badan?”
“Enggak, aku sehat-sehat aja kok Sab,” jawab Ara lemas sambil menelungkupkan kepalanya di meja. Sabrina memegang jidat Ara, “Nggak panas, sih.”
“Yaudah kamu tidur dulu aja, Ra. Kelasnya masih lama
kok mulainya.”
Ara mengangguk mendengar perkataan Sabrina. Matanya terpejam namun ia mendengar semua suara yang asli maupun yang batin sehingga tidak bisa fokus beristirahat. Saat matanya terpejam, Ara berpikir keras mengapa ia tiba-tiba bisa membaca pikiran. Ia mengingat kembali kejadian saat di toko antik, teriakan kasir ketika Ara akan membuka pintu, dan kilauan di cincinnya.
Matanya mendadak terbuka. Ara melihat cincinnya dan kilauan itu masih ada, bahkan semakin terang. Ara langsung melepas cincinnya dan seketika suara batin orang-orang sudah tidak terdengar lagi. Hanya ada suara asli dari mulut mereka. Saat Ara memakai cincinnya, suara batin terdengar kembali.
Kini Ara mengerti. Cincin itu merupakan perantara yang membuatnya bisa membaca pikiran orang lain. Di satu sisi, Ara merasa takjub karena bisa mengetahui isi hati orang lain. Namun di satu sisi, hal ini juga membuat Ara takut karena ia mendengar hal-hal yang seharusnya tidak didengarnya seperti orang yang berkata manis namun hatinya mengatakan yang sebaliknya.
Seminggu setelahnya, Ara dan Devi kembali ke toko
antik tersebut. Devi sudah mengetahui kelebihan cincin itu, pada awalnya ia
tidak percaya ketika diberi tahu oleh Ara.
"Mana mungkin sih, Raa, bisa baca pikiran orang lain? Nggak mungkin." Tetapi setelah Ara membuktikan dengan membaca pikiran Devi, ia langsung percaya begitu saja.
Di toko antik itu, mereka bertemu dengan kasir yang
sama seperti minggu lalu. "Halo, selamat datang kembali," sapa kasir
dengan senyum hangat, seolah-olah tahu bahwa mereka akan kembali ke toko antik.
"Halo, Kak. Saya mau bertanya, cincin ini punya
kelebihan khusus ya, kak? Anehnya setiap saya pakai ini saya bisa baca pikiran
orang," kata Ara sambil menunjukkan cincinnya.
Kasir itu masih tersenyum. "Benar. Setiap orang yang memakai cincin itu bisa membaca pikiran orang lain, namun siklusnya setiap 20 tahun sekali. Kamu orang pertama yang memakainya setelah 20 tahun lalu, jadi hanya kamu yang bisa membaca pikiran. Jika orang lain memakai cincin itu, tidak akan ada kelebihan di cincinnya. Kalau kamu tidak nyaman dengan kelebihan cincin itu, tidak usah dipakai ya!"
Perkataan kasir itu sesuai dengan kejadian tadi dimana Devi mencoba memakai cincin tapi tidak ada apa-apa yang terjadi. Ara yang mendengar si Kasir hanya manggut-manggut, mereka kemudian pergi keluar dari toko.
Di luar toko, tiba-tiba mereka mendengar jeritan gadis muda. “Tolong, ada copet yang mengambil dompet saya!” Ara langsung melihat arah yang ditunjuk Gadis itu, kemudian ia mengejar maling yang sudah hilang di balik kerumunan. Ide terbesit di otaknya untuk fokus mendengar isi pikiran si Maling dan akhirnya menemukan posisi Maling. Ara dan Devi langsung mengejar dan menangkap maling itu dibantu dengan warga sekitar. Dompet milik gadis muda akhirnya bisa diselamatkan.
“Nggak sia-sia juga, ya Ra pake cincin itu. Bisa untuk bantu orang lain,” kata Devi.
“Iya juga ya Dev, cincinnya bisa aku pake untuk kegiatan yang positif,” sahut Ara tersenyum lebar. Sejak kejadian menangkap maling, Ara menerima kelebihan cincinnya untuk membantu orang lain. Ia memutuskan untuk memakai cincin itu sesekali ketika Ara ingin saja.