Amsterdam, 20 Desember 2020
Dinginnya hembusan angin malam ini sangat mengangguku. Kurapatkan mantelku, berharap bisa mengurangi sedikit dingin yang mulai mengusik. Angin malam menyapa kulitku dan sedikit mengubah tatanan jilbabku. Di tengah ramainya hiruk pikuk kota Amsterdam, aku pun melangkahkan kaki menuju suatu tempat yang telah Ia janjikan.
Sesampainya disana, aku mulai mengedarkan pandanganku mencari wajah yang familiar. Tatapan kita pun bertemu. Ia kemudian melambaikan tangannya padaku memberi tanda. Saat ini aku duduk di hadapannya dengan secangkir matcha latte hangat yang menemani. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kita.
“Alesha..” panggilnya memecah keheningan diantara kita.
Aku pun mendongakkan kepalaku yang sedari tadi menatap kosong pada gelas matcha yang masih mengepul.
“Maaf memanggilmu tiba-tiba, aku hanya ingin memberitahumu bahwa minggu depan aku akan menikah,” ucapnya.
Aku sedikit terkejut atas ucapannya. Entah perasaan apa yang saat ini melanda diriku. Aku pun hanya bisa memaksakan sebuah senyuman,
“Selamat atas pernikahanmu, semoga kau bahagia dengannya. Tapi maafkan aku karena mungkin tidak bisa hadir di hari bahagiamu. Aku harus pergi ke London minggu depan,” ucapku dengan tegar.
“Tidak masalah, terimakasih atas ucapanmu. Semoga kau selalu bahagia Alesha, sungguh. Aku harap kau sukses selalu,” ucapnya dengan senyuman hangat yang biasa Ia berikan padaku.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman, “Kalau begitu aku pamit karena sepertinya salju akan segera turun.” Ia pun mengangguk.
Sepertinya aku sudah berdamai dengan dinginnya malam ini. “Aneh kau Alesha,” ucapku bermonolog.
Padahal sebelum berangkat aku merengek kedinginan tetapi sekarang? Aku sudah berdamai dengan dinginnya musim salju? Lucu sekali.
Setelah lama ku melangkahkan kaki menelusuri jalanan Amsterdam, aku pun berhenti disalah satu tempat yang sering kali aku kunjungi bersama dengannya.
“Hah..” hembusku kasar.
Tempat ini tidak ada yang berubah sejak dulu. Yang berubah hanya aku yang saat ini datang sendiri. Saat aku duduk termenung di salah satu bangku taman pinggir kota, tanpa kusadari air mata yang kutahan sejak tadi mulai mengalir di pipiku.
“Apa yang sekarang kau sesali Alesha, kau sendiri yang memilih untuk meninggalkannya. Kenapa sekarang kau menangis?" ucapku pada diri sendiri.
Setelah puas menguras habis air mataku, aku segera pulang ke apartemen. Sesampainya di aprtemen, aku segera membersihkan diri dan bersiap untuk ke tempat tidur.
“Bismillah... semoga hari esok akan lebih baik lagi.” Gumamku.
=====
Amsterdam, 22 Desember 2019
Siapa sangka ditengah hujan salju seperti ini aku harus tetap melangkahkan kaki ke kampus tercinta. ‘Menyebalkan! harusnya aku masih meringkuk di bawah peluk selimutku.’ gerutuku dalam hati.
Sesampainya aku di gedung fakultas aku bergegas menuju ruang dimana tempat ku menimba ilmu.
“Alesha!” aku pun menoleh ke arah suara yang memanggilku.
Dia Louis, pacarku saat ini. Aku sudah bersamanya selama 2 tahun. Aku rasa.
“Kenapa kau disini? Bukahkah kamu libur hari ini?” tanya Louis.
“Kau tahu kan, Ms.Alexa memajukan jadwal mengajarnya sekarang ditengah hujan salju seperti ini. Kalau tidak aku masih tertidur di kamarku,” jawabku dengan nada penuh kesal.
“Hahaha,” “Apa yang kau tertawakan?” “Aku senang melihat mu marah seperti ini, kau terlihat sangat lucu,” ucapnya dengan mengusap kepalaku.
Aku pun hanya tersenyum tersipu ketika Louis bersikap seperti ini.
=====
Amsterdam, 19 Juli 2020
Apakah kalian tau apa yang lebih jauh dari jarak? Ya, keimanan. Sejauh apapun jarak yang mengahalangimu, hal itu bukahlah masalah besar. Cukup kau bersabar dan percaya, semua akan berlalu dengan cepat. Berbeda jika Ia dekat dengan kita dan selalu ada saat kita membutuhkan. Akan tetapi keimanan kita yang berbeda itu jauh lebih sulit untuk dihadapi.
Antara aku dan Louis terdapat tembok besar yang menghalangi. Aku maupun Louis tak sanggup untuk menghancurkannya.
“Alesha, aku mohon percaya padaku. Jika kita bersama-sama kita pasti akan mampu melewatinya.”
Sudah kesekian ribu kalinya aku mendengar kalimat itu dari mulut Louis. Tapi tetap saja, aku selalu menepisnya dan hanya menangis.
“Louis..,” panggil ku lirih.
Louis yang terduduk dihadapanku pun mendongakkan kepalanya menatapku.
“Aku minta maaf, bukannya aku tidak mau berjuang bersamamu. Sejak awal aku sudah mengkhawatirkan masalah ini. Kita terhalang tembok yang besar. Aku dan kau tidak seiman tetapi kita tetap memaksakan kehendak kita melawan Tuhan.”
“Louis, kau tahu orang tuamu pun menentang hubungan kita. Bagaimana bisa kau melawan kedua orang tua mu yang sudah banyak berkorban untukmu demi aku yang hanya singgah sementara dihidupmu.”
“Alesha..”
“Tidak! Dengarkan aku Louis. Aku mencintaimu, tapi Tuhanku lebih mencintaiku. Dengarkan kedua orang tuamu, terimalah perjodohan tersebut. Aku yakin Tuhanmu juga tidak ingin kehilangan mu Louis begitu juga kedua orang tuamu.” Aku pun menarik nafas sembari menahan tangis ku agar tidak jatuh kembali. Aku bangkit dari kursi.
“Louis kita akhiri hubungan kita disini. Maafkan aku jika sudah banyak membuat mu menderita. Dan terimakasih atas kasih sayang dan cintamu selama ini. Aku sungguh berterimakasih. Mari kita jalani hidup tanpa menentang siapapun. Aku harap kau akan menemukan panggantiku yang lebih baik dan se-iman denganmu,” ucapku dengan senyum merekah.
Louis yang sedari tadi hanya duduk mendengarkan, sekarang bangkit dan menggenggam tanganku.
“Apa kau yakin Alesha? Kau ingin berpisah denganku setelah bertaun-taun bersama?” tanyanya dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya.
Aku hanya menganggukan kepala dengan yakin. Sebab jika aku berkata sepatah kata saja aku rasa air mata ku yang kutahan sedari tadi akan jatuh. Louis pun melepaskan genggamannya perlahan.
“Baiklah, jika itu keputusanmu. Aku juga minta maaf jika sering membuatmu kesal. Aku juga berterimakasih atas kasih sayang yang telah kau berikan padaku. Aku tidak akan pernah melupakan hal itu. Aku berharap kau juga akan menemukan pasangan yang lebih baik dariku yang bisa membuat mu bahagia selamanya,” ucap Louis bersamaan dengan air mata yang telah membasahi pipinya.
“Terimakasih, Louis. Selamat tinggal,” jawabku seraya melangkah pergi dengan derai air mata.
=====
Amsterdam, 28 Desember 2020
Hari ini adalah hari dimana Louis melangsungkan pernikahannya dengan calon istrinya yang sudah dipilihkan oleh kedua orang tuanya. Hari ini juga bertepatan dengan keberangkatan ku ke London.
“Selamat pagi. Boarding untuk Maskapai British Airways dengan nomor penerbangan 56K76 tujuan London akan segera dimulai. Para penumpang dimohon untuk menuju gerbang C2 dan persiapkan pas naik dan identifikasi Anda. Terima kasih”
‘Oh pesawatku akan segera berangkat’ ucapku dalam hati.
Aku pun segera bergegas menuju gerbang yang sudah diberitahukan. Sesampainya aku di dalam pesawat aku pun mulai mengambil MP3 ku dan mulai mendengarkan musik sambil menatap luar jendela dari dalam pesawat.
‘And it was enchanting to meet you,’
‘All i can say is I was enchanted to meet you,’
Begitulah sepenggal lirik dari lagu yang ku putar saat ini. Dan itu berhasil mengingatkan ku pada masa lalu saat aku masih bersama dengan Louis. Tanpa kusadari air mataku pun mulai membasahi pipiku. Segera ku usap air mataku dengan senyum yang merekah di bibirku.
“Louis semoga kau selalu bahagia dengan keluarga barumu.” ucapku dengan lirih.