Anya mengayuh sepedanya menuju tempatnya merauk ilmu. Terkadang lelah ia rasa karena beban dipundaknya. Beban rasa yang tak pernah teman-temannya sangka selama ini. Bagaimana tidak, senyum lembut dan tawa renyah selalu menyelimuti wajah pucatnya. Walau lara jiwa selalu saja tiba bahkan saat ia ingin menutup matanya.
Ia sampai di tempat parkir belakang sekolah. Begitu sampai, Pak Saleh langsung menyapanya dengan senyuman teduh seperti biasa.
"Anya nggak bareng sama Hamka?" Tanya Pak Saleh memastikan.
"Enggak Pak, Hamka nggak berangkat. Katanya asmanya kumat." Jelas Anya yang tak tahu pasti mengapa sahabatnya itu tidak masuk sekolah.
Hamka dan Anya sudah berteman sejak kecil. Jarak rumah mereka yang tak terlalu jauh dan sama-sama broken home, membuat mereka akrab dan saling menjaga satu sama lain. Sudah beberapa hari ini temannya itu tak ada kabar. Setiap dia datang ke rumah untuk menemui Hamka, pintu rumah selalu dalam keadaan terkunci. Hamka pun tak bisa dihubungi.
Anya tipikal anak yang mudah berteman. Di sekolah, ia memiliki banyak relasi. Ia sangat terkenal dikalangan guru karena kepandainnya dalam public speaking. Ia sering diminta untuk mengikuti lomba-lomba debat dan pidato.
Lain halnya dengan Hamka. Ia adalah anak yang sangat tertutup. Hanya Anya lah yang bisa mengajaknya mengobrol panjang lebar. Berbeda dengan Anya yang dikenal gurunya karena banyak mengikuti lomba, Hamka dikenal guru karena sering dibully oleh teman kelasnya. Kalau diambil juara siapakah anak paling introvert disekolahnya, maka Hamka lah pemenangnya.
Karena hal itu, Anya harus selalu bersama Hamka ketika di sekolah. Berjaga-jaga kalau ada yang menganggunya lagi. Hal itu terus berlangsung hingga Hamka sering bolos sekolah. Ia jarang pergi bersama Anya. Anya sering bertanya mengapa Hamka begitu berubah sekarang, namun tak ada satupun jawaban Hamka yang bisa menjawab rasa penasarannya.
"Kenapa sih Ham, Gue salah apa. Jangan kaya gini dong. Lo kira enak apa didiemin temen sendiri." Tanya Anya saat itu.
"Gue nggak ngehindar." Lalu pergi. Singkat padat dan ambigu. Begitulah kira-kira jawabannya setiap kali Anya menanyakan hal itu.
Disisi lain, Anya memang sedang dekat dengan kakak kelasnya. Namanya Jeno. Ketua OSIS yang jadi incaran banyak teman wanita. Tak aneh jika Anya dengan mudah terpesona dengannya, walaupun Anya adalah tipe wanita yang bahkan tak pernah memikirkan tentang apa itu pacaran. Jeno jago disegala hal, olahraga, musik, bahkan ia juga cukup pintar untuk ukuran anak kelas unggulan. Jeno ibarat tokoh utama di novel romance remaja. Tak ada celah.
Sempat terpikir bahwa salah satu alasan Hamka menjauhinya adalah karena ia dekat dengan Jeno. Tapi alasan itu jelas tak masuk akal. Bagaimana mungkin Hamka menjauhinya hanya karena ia dekat dengan orang lain. Lagipula sebelumnya Anya juga sudah dekat dengan banyak orang selain dia. Apa mungkin Hamka cemburu. Atau menyimpan rasa pada Anya. Entahlah. Asumsi-asumsi ambigu itu terus muncul dibenak Anya. Ia tak mau menduga-duga. Cukup tunggu hingga Hamka benar-benar lelah dengan ketidakhadirannya.
Setelah beberapa hari tak masuk ke sekolah, akhirnya Anya bisa melihat batang hidung Hamka lagi. Ia sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu. Dengan sigap ia menghadang langkah Hamka. Ia menatap kedua bola mata Hamka.
"Kenapa nggak ngabarin?" Tanya Anya.
"Nggak kenapa-napa. Gue mau ke kelas." Katanya dan hendak pergi, tapi Anya berhasil meraih tangan Hamka dan menariknya.
"Aw" Hamka terlihat meringis. Menahan sakit yang sepertinya bersumber dari lengannya.
"Tangan lo kenapa?" Khawatir.
"Nggak papa, gue mau pergi dulu." Dan lagi-lagi Anya berhasil menahannya.
"Jelasin ke gue sekarang." Pintanya tegas.
“Ayah kamu dateng lagi?” Tebak Anya.
“jangan deket-deket sama Jeno!”
“kasih alesan kenapa gue nggak boleh deket sama Jeno. Dan please jangan ngalihin pembicaraan!”
Hamka hanya terdiam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Seakan mulutnya sudah terkunci rapat. Ia berusaha menatap mata Anya dan menjelaskan semuanya, namun Jeno tiba-tiba menhampiri mereka. Entah mengapa waktunya sangat pas.
“Anya, kenapa?. Ada masalah?” Tanya Jeno.
“Eh, lo Hamka temennya Anya kan?. Gue boleh ngobrol sama Anya dulu nggak?.” Katanya santai. Tak ada jawaban dari Hamka, ia hanya pergi begitu saja.
Jeno mengajak Anya menuju kantin. Jeno terus membuka obrolan, namun tanggapan Anya hanya singkat. Ia masih memikirkan sahabatnya tadi. Apa yang sebenarnya terjadi pada Hamka. Mengapa tiba-tiba Hamka memintanya untuk menjauhi Jeno.
Hari berikutnya, saat Anya hendak menuju rumah Hamka, ia melihat Jeno tengah berdiri di depan rumahnya. Entah sejak kapan Jeno akrab dengan sahabatnya itu. Setahunya hamka hanya dekat dengannya. Dan untuk ukuran teman yang sudah diajak ke rumahnya, artinya ia termasuk orang yang sangat dekat dengan Hamka. Karena penasaran, ia hendak berjalan mendekati Jeno, namun langkahnya terhenti melihat suatu hal mengejutkan.
Tante Wanda, ibu Hamka keluar rumah dengan baju yang cukup rapi. Ia berjalan menghampiri Jeno dan memeluknya. Kemudian Jeno membalas pelukannya. Sangat tidak dapat dipercaya, tapi mereka terlihat seperti sepasang kekasih.
Tak lama setelah itu, Hamka keluar rumah dengan ekspresi yang sangat marah. Ia mengangkat kerah baju Jeno, seperti ingin segera menghajarnya. Tante Wanda mencoba melerainya, tapi bogem mentah sudah terlanjur meluncur mulus ke wajah Jeno.
“Heh, cuma segitu kekuatan lo cupu!” Kata Jeno. Dan mnembalas menghajarnya hingga ia benar-benar tak berdaya. Tante Wanda terus berusaha melerai mereka.
“Nggak cukup apa tangan lo gue retakin kemaren!” katanya
“Udah Jen, kita pergi aja.” Dan dengan bodohnya, Tante Wanda pergi meninggalkan anaknya yang sedang terkapar lemah.
Anya bergegas mendatangi Hamka dan membantunya berdiri. Ia tampak menahan sakit. Wajahnya sudah penuh lebam. Langkahnya pun sangat tertatih. Anya bahkan ikut meringis melihat luka disekujur tubuh Hamka.
“Sekarang lo tau kan kenapa gue suruh lo jauhin Jeno.” Katanya sambil menahan sakit.
“Udah nggak usah dibahas sekarang, obatin dulu luka lo!” kata Anya.
Ia membantu Hamka duduk dikursi tamu dan mulai mengobatinya. Sambil meringis menahan sakit, ia masih sempat menyumpahi betapa mengerikannya keluarganya selama ini. Ayahnya yang tega meninggalkannya hanya karena mantan kekasihnya dulu. Ibunya yang mulai gila dengan sering pergi ke bar dan mengencani lelaki yang masih seumuran dengan anaknya sendiri. Belum lagi di sekolah dia masih sering dibully.
“Lucu banget ya Nya hidup gue. Tapi gue udah capek ketawa. Apa gue mati aja ya!” tertawa miris.
“lo nggak usah ngadi-ngadi deh Ham. Inget masih ada gue. Gue juga temen, kelurga, tempat lo ngadu. Jadi jangan pernah berpikir mau nglakuin hal bodoh kaya gitu. Lo nggak sendiri. Ada gue. Gue bakalan jadi sahabat lo selamanya.” Berharap bahwa kalimat yang baru saja ia katakan akan menjadi semangat Hamka untuk terus menjadi sahabatnya dan melanjutkan hidupnya seperti dulu.
Namun harapan hanyalah harapan. Beberapa hari setelah kejadian itu, Hamka memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari gedung apartment miliknya. Nyawanya tak dapat diselamatkan.
Sebelum kejadian, Hamka sempat menelfon Anya dan menyampaikan rasa terima kasihnya. Betapa berartinya Anya dihidupnya. Dan sepatah kata terakhir yang Hamka ucapkan masih terngiang-ngiang diotaknya.
“Jangan bodoh kaya gue, jangan gampang nyerah kaya gue, jangan jadi gue.. gue tau lo lebih kuat dari gue.” Kalimat yang diucapkan Hamka lewat telfon.
Kini Anya hanya bisa menggerutu setiap kali menatap fotonya bersama Hamka. Rasanya tidak adil, Hamka memintanya untuk tidak menyerah, untuk tetap kuat. Tapi apa yang telah ia lakukan. Bahkan ia menyerah ketika ia meminta orang lain untuk tetap berjuang.