Hanya ada sampah. Berbagai macam jenis sampah dengan warna dan ukuran yang berbeda tampak berserakan di lantai. Tumpukan debu dan tanah yang menempati setiap sudut ruangan. Embusan angin membuat debu dan polusi beterbangan di udara.
Selama itu, tak ada satu pun murid yang memedulikan kelas mereka. Jauh lebih baik jika menunda kegiatan membersihkan sampah di esok harinya.
Keesokan harinya, pagi selalu menjadi awal dari sepanjang hari. Aku berjalan untuk menjemput ilmu. Dengan seragam sekolah yang Ku pakai, masyarakat mengakui diriku sebagai anak bangsa.
Anak bangsa yang memiliki semangat juang, dan kepribadian yang mulia. Yang terkenal dengan keterampilannya, dan segala hal yang menjunjung tinggi negaranya. Anak bangsa yang diyakini sebagai masa emas untuk masa depan yang cerah. Dan anak bangsa yang menjadi harapan setiap bangsa.
Kini, Aku sudah berada di depan gerbang besi sekolahku. Sekilas ku lihat, ujung gerbang ditumpuki tumpukan sampah yang telah basah diguyur hujan. Membuat bau yang tidak sedap, dan mengundang segerombolan nyamuk di atas tumpukan sampah itu dan di beberapa genangan air. Sekelompok lalat pun ikut hadir menyengat bau tersebut.
Aku melewati gerbang kemudian berlalu. Semuanya seolah baik-baik saja. Seolah merasa nyaman dengan lingkungannya. Tak ada yang peduli dengan sekitarnya yang sudah tak pantas untuk diakui rasa nyaman.
Memasuki kelas dan duduk di kursi biasanya. Melihat beberapa murid piket yang berusaha membereskan dan membersihkan ruangan kelas dengan menggunakan alat sapu dan serokan.
Membersihkan sekenanya hingga masih ada sampah dan tumpukan debu yang belum dibuang pada tempatnya. Hanya membersihkan bagian depan ruangan agar terkesan tidak terlalu kotor. Beberapa murid di luar kelas terlihat beberapa kali menjatuhkan sampah kemasan dan makanan. Menjatuhkannya tanpa ragu dan tanpa melirik sekitar, karena terlalu fokus dengan keasikkan mereka. Akibatnya, membuat lingkungan sekolah tampak semakin ramai dengan sampah. Ada juga yang asik memakan makanan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu. Namun semuanya tampak baik-baik saja.
Hari semakin siang. Letak matahari sudah semakin berputar. Teriknya menyinari sekolah dan sekitarnya, mengakibatkan kembalinya ruangan kelas yang dipenuhi polusi. Dan hal itu sangat menggangu jam pelajaran yang sedang berlangsung. Beberapa murid cenderung tidak fokus pada pelajaran yang dipelajari terutama aku yang sudah beberapa kali mengucek mataku yang seolah rabun. Aku kesulitan melihat tulisan yang sedamg dipelajari. Suara batuk mulai terdengar. Beberapa saat kemudian, hampir setiap murid seolah saling bersahutan dengan batuk yang mulai menelusuri ke dalam alat pernapasan.
"Uhuk!" alat pernapasan milikku sudah mulai ikut terjangkit batuk.
Dada seakan sesak karena setiap udara yang ku hirup dipenuhi debu. Mata mulai merasakan perih karena hempasan debu yang kemudian mengotori mata.
Saat jam pelajaran berakhir, seluruh murid tampak bergegas seperti biasanya untuk segera meninggalkan bangunan sekolah dan menuju rumah. Tak peduli dengan apapun yang telah mereka lewati. Sampah yang berserakan, tumpukan debu, dan genangan air.
Keesokan hari, badanku terasa lemas dengan batuk dan flu di bagian alat pernapasanku.
Aku telah tiba di depan gerbang sekolah. Mataku menangkap keramaian di seluruh penjuru sekolah. Beberapa orang dewasa dengan pakaian putih dan juga topi putih dengan kedua sudutnya di bagian sisi samping kanan dan kiri. Mereka terlihat bolak-balik dengan membawa benda-benda medis.
Beberapa orang dewasa itu sedang mendorong kursi roda yang diduduki seorang murid. Ada juga yang mendorong ranjang medis dengan seorang murid yang berbaring di atasnya. Dan ada juga yang membawa kotak yang cukup besar berwarna putih.
Semuanya tak dapat aku pahami. Seorang pria dewasa dengan jas putih bersih dan alat medis yang melingkar di kerah lehernya dengan terdapat benda bulat di bagian ujungnya yang memanjang ke bawah. Pria dewasa itu menyapaku dan memintaku untuk segera menuju tempat pemeriksaan. Aku tahu, seorang pria dewasa itu adalah seorang dokter.
Dokter itu mengantarkanku pada sebuah meja yang dikerumuni banyak murid dan orang dewasa berpakaian serba putih dengan buku besar di tangannya. Di belakang meja tersebut terdapat seorang dokter wanita. Dokter itu duduk di atas kursi dan terlihat sibuk dengan beberapa benda medis yang memenuhi dataran meja tersebut. Dan dokter itu mempersilakan aku untuk duduk di atas kursi yang berada tepat di depan meja tersebut.
Setelah aku duduk dan berhadapan dengannya, dokter itu mulai melakukan pemeriksaan padaku. Dokter itu memberi tahu bahwa aku terjangkit virus ringan dan kuman sehingga aku merasa lemas serta batuk dan flu. Orang dewasa yang berpakaian serba putih memberikan aku beberapa resep obat untuk memulihkanku dari penyakit virus dan kuman.
Dokter itu juga menjelaskan bagaimana virus dan kuman dapat menjangkiti tubuh. Berawal dari lingkungan. Lingkungan yang nyaman adalah lingkungan tanpa sampah. Lingkungan tanpa sampah akan menjadi tempat tanpa penyakit. Begitu pun sebaliknya. Jika lingkungan dipenuhi dengan sampah, maka penyakit akan bermunculan sehingga merugikan makhluk hidup di sekitarnya. Adanya sampah bisa membuat kita batuk, flu, demam, banjir, longsor, yang bisa saja berakibat kematian.
Begitu besarnya kerugian yang disebabkan dari sampah. Dan hal tersebut yang akan membuat kita resah, khawatir, gelisah, dan tentunya tidak nyaman.
...
Siang berganti malam. Matahari telah tenggelam, dan bulan mulai memancarkan sinarnya. Setelah meminum beberapa obat dan lekas membaik, aku memandangi kota dari ketinggian teras kamar.
Memandangi jalanan yang tampak sempit oleh sampah yang berserakan di mana-mana. Orang-orang tampak kesulitan berlalu lalang melintasi jalanan. Seringkali, kendaraan roda dua tiba-tiba terpeleset dan terjatuh karena licinnya jalanan, dan hal tersebut mengakibatkan kecelakaan tunggal maupun kecelakaan beruntun. Dan tingkat kematian semakin luas. Sampah mengintai nyawa.
Di saat inilah, seharusnya anak bangsa segera bertindak. Seharusnya anak bangsa dapat mencegah sampah, bukan justru menambah sampah dan membiarkannya.
Kurangnya kesadaran dari penjuru rakyat, membuat bangsa ini kehilangan negaranya. Negara kesatuan yang bersatu dan saling menjaga satu sama lain.
Sudah seharusnya anak bangsa menunjukkan pengabdiannya terhadap negara. Sudah sepatutnya pengabdian itu ada. Sudah saatnya sampah tidak lagi menjadi kelemahan bangsa. Mari mulai menyadarkan diri sendiri bahwa sampah adalah sesuatu yang seharusnya tiada.
Jika sampah mempunyai banyak cara untuk menyerang, maka kita juga harus mempunyai setidaknya satu cara untuk melawan. Mari bangkit dari kelemahan dan bersatu tanamkan kesadaran demi kekuatan bangsa dan negara.
Di keesokan pagi, aku sudah siap dengan pakaian yang sering digunakan oleh para pembersih sampah. Aku serta masyarakat akan mulai turun tangan dan bergotong royong memberantas sampah di lingkungan sekitar. Untuk menghidupkan lingkungan yang aman dan nyaman.
Aku lihat masyarakat dengan antusianya membawa peralatan pembersih. Kemudian memulai kegiatan gotong royong. Beberapa orang rela memunguti sampah dengan tangannya. Sebagian orang, mengangkat sampah yang ada di dalam selokan air secara bersama-sama. Sebagian orang juga, menyapu sampah yang kemudian diangkut oleh mobil truk sampah. Dan dibuang pada tempatnya.
Dari halaman kota, sampai jalanan dan lingkungan sekolah. Meski menghabiskan waktu yang cukup melelahkan, terasa ringan ketika mengerjakannya bersama-sama.
Aku tersenyum pada jalanan yang sudah tak lagi menyulitkan para pengendara. Lalu lintas begitu lancar dan nyaman serta aman. Aku tersenyum pada bangunan dan lingkungan sekolah yang sudah tak lagi terdapat penyebab penyakit. Aku tersenyum memandang kota yang tampak bersih dan indah tanpa sampah. Aku tersenyum karena sampah sudah tak lagi melemahkan bangsa.