“Apa?” tanya lelaki itu dengan kening berkerut, di depannya seorang perempuan tertunduk pilu, wajah cantiknya terbalut jilbab berwarna tosca dengan bawahan drees warna senada, tapi sayang rinai hujan bertamu di pelupuk matanya, sehingga keanggunan wajahnya sedikit tertutupi.
“Kenapa harus jalan itu sayang?” lanjut lelaki itu dengan suara melunak, berusaha meredam emosi, setelah menangkup kedua pipi perempuannya. Bukan pertanyaan yang perempuannya butuhkan melainkan tak lebih dari sekedar tumpuan, lelaki itu menghapus jarak di antara keduanya menjadikan pelukan sebagai satu-satunya perlindungan bagi perempuannya. luruh sudah pertahanan perempuan itu, tubuhnya bergetar menumpahkan sesak yang bersarang dalam dadanya.
Entah keinginan dari mana perempuan itu sedikit mengurai pelukannya, lalu mendongak dengan mata sembab, tiba-tiba bibirnya mengukir kenangan di bibir lelakinya, sepintas memang, layaknya fajar hanya kuasa berkelebat, sisanya abadi sebagai jejak. Sambil bersemu pilu perempuan itu kembali menyembunyikan wajah dalam dekapan lelakinya
“Aku tak yakin setelah terbang, takdir akan membawa merpati itu pulang!” gumam perempuan itu dengan mata terpejam.
“Setidaknya ia sudah tau di mana rumahnya!” jawab lelaki itu -tak yakin- berusaha menahan matanya yang sudah mengembun.
__________________
Semilir angin menyapa syahdu dahan-dahan cemara di samping rumah, mentari tampak malu-malu menyapa dunia. Kicau segerombolan burung-burung berlalu-lalang di atas rumah seakan turut merayakan keindahan pagi ini. Embun tak lupa tugasnya membasahi tubuh -bahkan sampai sanubari- rerumputan, sekedar memberi pelajaran bahwa hidup saling membutuhkan, meski belum sampai waktu percumbuan, harus pudar di tengah jalan, paling tidak sudah pernah diperjuangkan.
Lelaki itu menghela nafas perlahan, sambil merenggangkan otot jemarinya, tidak heran sudah tiga hari tiga malam lelaki itu menulis sebuah hikayat, entah sudah hikayat keberapa yang telah ia tulis, yang pasti ia harus menghidupkan seorang perempuan dalam setiap karyanya baik siang atau bahkan malam, sebab dengan begitu ia tidak merasa kesepian, perempuannya -yang asli- seakan-akan tiada henti tersenyum dalam setiap larik karyanya, senyumam yang tak pernah berubah, senyuman yang bahkan saat itu ia pernah bersaksi, “Atas nama cinta, tiada senyuman yang indah, selain senyummu.”
Lelaki itu sedikit mengukir senyum pada pucat bibirnya, barangkali beban rindu sedikit luruh usai merampungkan hikayatnya yang baru.
“Sampai kapanpun perihalmu akan tetap abadi dalam hikayat ini istriku!” gumam lelaki itu sambil membelai kertas putihnya dengan membayangkan yang ia belai adalah perempuannya.
“Aish, kenapa bibir madu itu kau manyunkan, kenapa pula wajah purnama itu bermurung, tak elok lah bunga melati seperti engkau berwajah layu. Ayo kau mau apa bidaddariku? Apa kau hendak minum-minuman kesukaan kita di kedai simpang jalan itu? Lekas katakan istriku jangan biarkan lelakimu menghukum diri, sebab membuatmu merajuk” tanya lelaki itu kelimpungan.
Patut dibilang gila bukan? Mana ada manusia bercakap dengan tulisannya sendiri, ya, bukan cuma sekarang lelaki itu bertingkah layaknya orang gila kadang pula ia menangis sesenggukan padahal tiada angin atau bahkan ombak, kerap kali ia mencakar habis tulisan-tulisannya hanya karena gambaran seorang perempuan di dalamnya tidak sedang tersenyum, pernah suatu ketika tepatnya malam minggu awal pintu September, yang mana suasana malam itu teramat lengang maklum sudah hampir jam dua dini hari, kesiur angin di halaman rumahnya seakan enggan lewat atau lebih tepatnya tak sampai hati menyaksikan sebuah drama dalam rumah itu, bahkan kidung-kidung binatang malam seketika lenyap kala itu.
Di teras rumah terlihat sedang bersimpuh seorang lelaki di hadapan sebuah kursi jati, jemarinya menggenggam sebuah lipatan kertas lusuh dari saking seringnya dicumbu sambil menangkup kedua tangan layaknya orang berdoa, "Selamat ulang tahun istriku! terimakasih atas kesudianmu mengarungi samudera cinta denganku. Oh ya, engkau begitu piawai meracik kopi untukku, lihat istriku, lihatlah cangkir di atas meja itu, aku selalu menghabiskan kopi buatanmu, dan ini (sambil mengulurkan lipatan kertas) terimalah kado dariku, memang itu tiada nilai harta, tetapi itu adalah nilai jiwa dan raga yang berlumuran darah, aku ciptakan untuk hadiah ulang tahunmu ini,” ceracau lelaki itu masih dengan wajah mendongak, matanya memerah menahan sesak dalam dadanya.
“Kenapa kau diam saja istriku, ambillah!” lanjutnya yang sama saja kertas itu mematung di udara pengap.
“Aish, ya Tuhan!” lelaki itu menepuk jidat seraya berseru, seketika tangisnya pecah, kepalanya jatuh ke lantai, sambil menjambak rambutnya sesekali ia mumukul dadanya sendiri, barangkali sudah tak tahan dengan rasa sakit yang menghantam uluhatinya, sambil berlinangan air mata layaknya anak sungai lelaki itu berucap, “Ya, aku lupa, kau memilih pergi tiga tahun silam istriku, lalu siapa perempuan yang selalu duduk manis di sampingku tiap-hari tiap-malam, aku bersumpah itu kau istriku, ya, aku yakin itu kau Fatma."
Dalam tubuhnya jiwa dan logika bertikai, ritmenya bagai debur ombak saja, kepalanya serasa hendak pecah, tiba-tiba matanya menangkap seorang perempuan yang sedang tersenyum di atas kursi itu, rasa tak percaya seketika membungkus kepalanya namun jiwanya begitu yakin bahwa perempuan yang bertengger di atas kursi itu adalah benar-benar Fatma belahan hatinya, setelah beberapa menit mematung lelaki itu kembali mendudukkan tubuhnya lebih tepatnya di hadapan perempuan itu, pandangannya menyusuri setiap inci tubuh perempuannya.
“Bukankah bidadari itu bersayap istriku? lalu, mana sayapmu? tapi alangkah baiknya kau tidak punya sayap saja, sebab aku khawatir kau tiba-tiba gelisah lalu terbang entah kemana, kau cukup jadi bidadariku saja,” rayu lelaki itu dengan wajah berbinar. Sekedar informasi dahulu sebelum Fatma istrinya pergi, jika tiba-tiba merajuk atau lelaki itu saja yang sedang ingin menggoda istrinya, maka drama seperti ini sudah lumrah dalam rumah itu dan bisa dipastikan pipi istrinya bersemu merah, tapi sungguh kata cantik takkan dapat menggambarkan sempurnanya pandangan kala itu.
____________________
Jogja, 14 November 2020
lalu-lalang trotoar tidak sesibuk biasanya, para pejalan kaki lebih suka berteduh atau sekedar mencari tempat untuk duduk santai sambil membaca surat kabar hari ini, namun wajah mereka tidak bisa dibaca kadang sedih kadangpula terharu bahkan ada yang sampai meneteskan airmata, ya, mereka membaca sebuah rubrik yang judulnya “Patahnya Pena Jingga” miris memang sebab di dalamnya mengabarkan seorang penyair yang ditemukan mati dalam keadaan bersimpuh pada sebuah kursi, bahkan diperkirakan ia sudah mati duahari yang lalu, alangkah malangnya nasib Penyair itu, namun yang membuat para pembaca terharu di tangan Penyair itu terdapat sebuah lipatan kertas lusuh yang sengaja dikutip oleh penanggung jawab surat kabar itu:
“Barangkali takdir hendak menghukumku dengan lebih mencintai kepergianmu, sebenarnya saya tidak mau jadi titik di akhir sebuah pragrap, saya juga tidak mau jadi titik yang mengawali pragrap baru, saya hanya mau jadi titik kembalimu Fatma!, suatu saat nanti!"
Madura.
_______________________
07 Agustus-14 November, 2021
*)Penulis Kelahiran Sumenep, 07 Maret 2004. Aktif menulis di Komunitas Laskar Pena PPA. Lubangsa Utara Guluk-Guluk Sumenep Jawa timur. Nomer HP 087889851691.