“Hah…”
Membosankan. Rasanya ingin mati saja. Selalu mencemaskan segala hal di tengah malam itu menggelikan bukan? Tapi, aku rasa itu wajar. Selagi masih muda, pikiran seperti ini pasti datang. Uang kontrakan ya? Di tengah kota Metropolitan seperti ini… uang sangatlah langka. Pengangguran sepertiku, seharusnya mati saja bukan?
Aku duduk, di dalam kamar kontrakan sempit dan segala barang di sini semrawut. Mirip kapal pecah. Botol-botol bir berserakan. Karena hari ini aku tidak punya uang, tidak ada hari minum bir. Sekedar membeli putung rokok saja tidak mungkin. Kosong. Aku tarik isi saku celana, kutemukan koin seratus perak, peniti, dan silet. Hanya itu. Lalu… Tanda nama, atas nama Han Albertian. Itu namaku. Laki-laki pengangguran yang dibuang, kacau, dan memusingkan hari esok.
Angin malam hari ini sejuk. Kruuukkk! Perutku keroncongan. Sejak siang aku belum makan apapun, hanya minum kopi sachet yang tersisa. Aku sudah tidak tahan! Apa Tuhan tidak mau membantuku? Ergh! Aku memegang kepala, merapatkan gigi. Marah atas semua hal. Terpejam kedua mataku, sulit menerima kenyataan hidupku sekarang ini. Seseorang… tolong aku! Aku tidak mau mati seperti ini! Apa sesulit ini menjalani kehidupan? Kubuka singkap mataku, menatap silet yang sempat aku jatuhkan tadi. Kalau aku sayat urat nadi tangan kiri, aku langsung mati kan? Apakah kematian itu menyenangkan atau menyakitkan? Apakah surga dan neraka itu ada? Jika begitu, apa artinya kehidupan sulit ini kalau masih ada kehidupan lain yang jauh lebih sulit? Tapi… untuk orang sepertiku… Neraka juga bukan tempat yang harus dipermasalahkan kan? Aku terkekeh. Geleng-geleng menilai konyolnya kehidupan.
Aku mengambil silet barusan. Seharusnya aku sudah mati kemarin. Tidak ada yang peduli seorang buronan sepertiku. Siapa yang peduli? Aku tidak memiliki keluarga sama sekali di sini. Tidak ada yang menjenguk jasadku nanti selain polisi. Lucu sekali. Andai beberapa tahun lalu, aku tidak besar harapan merantau di kota Jakarta. Pasti hidupku akan terus bahagia bersama kakek di desa. Apakah kakek masih hidup? Apapun itu… AKU TIDAK TAHAN LAGI!
“TUHAN! KIRIM AKU KE NERAKA? PUAS?!” seruku menatap langit-langit. Selesai berteriak, aku menunggu. Entahlah. Menunggu malaikat maut mungkin? Melihat diriku memegang silet, entah kenapa aku merasa kalau aku tidak sendiri. Ada malaikat maut di dekat sini. Atau hanya perasaanku? Bahkan, malaikat maut hanya menatapku! Malaikat maut enggan membantuku dari situasi ini!
Kusandarkan kepala ke dinding. Mendongak sambil memejamkan mata. Tangan kananku bergetar, siap menyayat urat nadi tangan satunya. Aku yakin, aku mati hari ini! Aku jamin itu! Aku muak dari dulu selalu gagal bunuh diri! Tuhan, aku bahkan tidak berguna di alam manapun kan? Inikah garis takdir-Mu? Aku lelah. Tiba-tiba, sekelebat bayang wajah seseorang muncul begitu saja di dalam kepalaku! Wajah laki-laki itu. Selalu muncul ketika aku ingin mengakhiri hidup. Laki-laki yang aku bunuh setahun lalu. Temanku. Teman kerjaku dulu. Aku mengubur jasadnya di suatu tempat. Sepertinya dia ingin menyiksaku di neraka. Tidak! Aku tidak mau disiksa temanku itu! Silet itu aku lempar. Aku tidak mau mati seperti ini! Ini kematian yang pasif! Aku perlu cara lain agar kematianku berkesan!
Udara di luar kontrakan sama dinginnya. Rasanya, sekeliling hanya ada sepi juga kecemasanku memandang dunia. Aku mungkin hanya mampu berjalan beberapa meter saja. Setelah itu mati di jalan karena kelaparan. Lalu, aku berharap jasadku dimakan anjing. Setidaknya jasadku berguna. Tengah malam, aku yakin sudah sangat larut. Kuputuskan berjalan di atas trotoar pinggir jalan. Aku tidak tahu akan ke mana. Di kepalaku hanya terdengar suara bunuh diri serta mencuri makanan. Suara kedua jauh lebih baik? Kalau beruntung, aku bisa kenyang. Bukan pertama kalinya aku mencuri makanan. Ini sudah terjadi beberapa bulan terakhir. Untungnya, aku belum sampai mati dipukuli warga kota. Orang-orang kota sangat bengis. Mereka bertindak seenaknya. Merundung wanita, memperkosa, dan menculik anak-anak. Aku selalu melalui pemandangan seperti itu di beberapa tempat. Siapa yang peduli? Apa bedanya aku dengan mereka? Huff, langkahku berhenti di depan rambu lalu lintas. Hanya ada beberapa mobil lewat. Orang-orang kaya yang tidak memikirkan kematian. Mereka merasa abadi dengan uangnya itu. Aku jadi iri. Aku amati sekeliling, sepertinya aku keluar dalam kondisi kurang tepat. Banyak toko makanan tutup. Pedagang kaki lima pun tidak ada. Aku menunduk, menaikkan tudung jaket hoodie dan memasukkan tangan ke dalam saku celana.
Aku melihat sesuatu! Di seberang jalan, seorang wanita bergaun mewah turun dari mobil taksi, menenteng tas kulit tebal. Jalannya anggun. Tidak menyadari kehadiranku. Dasar wanita malam, betapa bodohnya orang itu yang merasa aman dari penjahat sepertiku. Hm! Senyum culas menyungging. Aku menginginkan tasnya! Pasti isinya uang dan roti renyah mahal! Seketika aku berjalan buru-buru, membuntutinya. Semakin dekat, semakin berdebar jantungku. Tuhan! Aku harus melakukannya! Buronan sepertiku hanya memikul dosa sampai mati! Seketika aku berlari selagi kesempatan terbuka lebar, tanganku gesit merampas tas kulit barusan. Mendorong wanita cantik itu sampai jatuh! Lalu berlari tunggang-langgang.
“Jambret! TOLONG!”
Hahaha! Bodoh! Siapa yang mau mendengarmu wanita dungu?! Bahkan, dalam keadaan panik pun, ternyata langkahku lebih cepat ketimbang hanya berjalan dan mengeluh lapar. Akhirnya! Aku kepongahan, berhenti di dalam gang sempit bau minyak. Ada banyak tangki minyak di sini. Kubuka isi tas! Wah! Sesuai harapanku, satu kepal uang seratus ribu! Pasti nilainya jutaan rupiah. Lalu, ponsel yang tidak disandi. Wanita bodoh. Ditambah bungkus plastik makanan - sushi! Ini cukup! Aku bisa pergi jauh dari kota dengan uang sebanyak ini. Hahahahaha!
Baca Juga : [Cerpen] Pamali : Jangan Menyisir Malam Hari (Edisi 3)
* * *
“Huh! Lezat sekali!”
Sushi yang enak. Rasa ayam pedas. Aku menyukainya. Bungkus plastik makanan yang baru saja aku habiskan, kubuang seenaknya bersama tumpukan sampah di dalam kamar kontrakan. Rasa kenyang ini… membahagiakan. Beginikah orang kaya kenyang? Melupakan semuanya dan hanya memikirkan diri sendiri? Untuk apa menyesali tindakanku tadi. Orang kaya tidak perlu dikasihani. Oh, ya! Tas kulit itu ada di sebelah-tempat aku duduk bersandar. Aku raih tas, mengeluarkan satu kepal uang, serta membolak-balik ponsel. Sudah lama aku tidak memakai ponsel. Dua tahun yang lalu, aku menjual ponselku. Hari ini aku mendapatkan ponsel yang jauh lebih baik. Tentunya mahal kalau dijual nanti. Untuk sesaat, aku bisa bernapas lega. Apa yang aku dapatkan, cukup untuk membawaku lari dari kota busuk ini! Meninggalkan segala hal buruk yang pernah aku buat di kota ini! Akhirnya.
Hutan Aokigahara jepang. Aku mencari informasi mengenai lokasi itu pada ponsel curian. Hutan yang indah. Sudah lama aku bermimpi bunuh diri di sana. Hutan yang layak menerima penjahat sepertiku. Aku berpikir, Tuhan memiliki tempat yang cocok untuk aku mati. Bunuh diri di hutan Aokigahara adalah hal yang legal. Setidaknya bagi para manusia putus asa. Tempat menebus dosa yang aku inginkan. Untungnya, aku masih menyimpan paspor ketika aku liburan ke Australia bersama teman-teman kerjaku dulu. Dengan paspor serta uang curian ini, aku akan pergi ke hutan Aokigahara jepang! Dan bunuh diri. Astaga, indah. Tanpa sadar, aku mengulum senyum geli.
Esok paginya, aku pergi ke bandara. Kugunakan separuh uang untuk naik taksi demi sampai ke lokasi penerbangan. Setiap pergi keluar, semenjak aku menjadi buronan, aku selalu menutup wajah dengan masker. Sesampainya di bandara, lekas aku pesan tiket. Tujuan ke jepang. Dan setelah sekian lama… aku merasakan kursi empuk pesawat. Bersandar tenang. Melihat pemandangan awan pagi hari. Pemandangan indah. Sampai aku melupakan beban masalah. Seperti seorang pendosa yang diampuni, akan berangkat menuju surga.
Perjalanan panjang selama tujuh jam. Pemberangkatan dari bandara Soekarno-Hatta Jakarta ke Tokyo Narita. Mengisi waktu kosong agar gak membosankan, sedikit-sedikit aku gunakan belajar kosakata bahasa jepang dari ponsel curian ini. Hah, mau mati saja harus belajar bahasa jepang. Konyol. Karena dulu aku bekerja di kantor Travel, jadi aku masih bisa berbahasa inggris seandainya nanti bahasa jepangku payah. Selama tujuh jam ini, aku punya tekad menonton video pembelajaran bahasa serta mengenal budaya orang jepang lebih jelas. Mereka orang-orang yang sibuk. Berlalu setengah jam kemudian, kedua mataku sudah lelah. Di dalam kepalaku, tersimpan puluhan kosakata bahasa Jepang. Menghafal cara pengucapannya meski hampir tenggelam di alam mimpi. Sepertinya aku merasa cemas lagi. Tanganku gemetar.
Baca Juga : [Dongeng] Putri Warna - Warni
* * *
Tidurku nyenyak sekali pada saat beberapa menit sebelum pesawat berhenti di bandara internasional Narita – Jepang. Sekian lama duduk, mulailah aku turun dari pesawat bersama penumpang lain. Di sini memasuki waktu petang. Welcome to Japan. Time to die for me. Sebelum pergi ke stasiun Kawaguchiko, perutku merongrong lapar. Menghentikan langkahku. Di luar bandara Narita, banyak toko makanan khas Jepang. Salah satunya ramen. Dipikir-pikir… Uangku hanya cukup membeli semangkuk mie ramen. Aku memaksa diri ke sini, berbekal uang curian yang ternyata terkuras banyak hanya karena membayar tiket pesawat. Bodohnya aku, hanya mencuri satu tas! Buru-buru menggunakannya dan enggan menghitung jumlahnya karena aku yakin pasti nominal uang curian itu senilai puluhan juta. Ternyata tidak sebanyak bayanganku. Tas kulit sebelumnya telah aku buang jauh sebelum pergi ke bandara negeri. Tidak ada kartu ATM, tidak ada emas. Tak mengapalah, aku di sini untuk ke hutan Aokigahara kan? Apakah tanah air akan bangga padaku karena jauh-jauh pergi hanya untuk menebus dosa? Lupakan. Siapa yang peduli. Aku tidak ingin mencuri lagi, kuputuskan makan ramen saja.
Ahh! Kenyangnya. Karena sengaja duduk lama menambah dua mangkuk ramen, sekarang aku berjalan di tengah jalanan kota. Masuk waktu malam. Orang-orang jepang mengenakan jaket bulu tebal, mereka tampak bergairah dan tidak lelah berkeliling. Aku tahu mereka adalah orang-orang pekerja keras. Dunia Jepang selain padat, juga sangat sibuk. Setidaknya mereka mendapatkan keadilan dari kerja kerasnya. Aku? Dipecat bos dan difitnah teman kerja. Dia pantas mati. Hmmm… Aku menunggu di halte bus. Berselang setengah jam, datang bus kota. Tujuan stasiun Kawaguchiko.
Astaga. Uang rupiah yang sudah ditukar menjadi mata uang jepang ini, semakin tersisa sedikit usai aku turun dari bus. Sekarang aku antri memesan tiket kereta di statiun Kawaguchiko. Membosankan. Kemudian kereta datang beberapa menit setelahnya. Aku duduk, belajar bahasa Jepang lewat ponsel lagi dan mencoba mengajak bicara seorang pria di sebelahku. Kurasa, ehm? Dia tidak paham sama sekali? Bahasa Jepangku terlalu dasar.
Malam yang indah dengan langit bertabur bintang-bintang. Membuatku teringat, mimpi masa kecil. Semua hancur, dikalahkan kenyataan. Sudahlah. Turun dari kereta, aku masih harus naik kereta lagi untuk sampai ke hutan Aokigahara. Aku tidak benar-benar menikmati perjalanan ini. Setiap melihat kedua telapak tanganku, aku merasakan darah. Tangan ini sungguh kotor. Di tengah jalan, aku melamun. Merenungi sisa hidup. Seberapa berharga detik-detik hidupku ini? Di kota Kawaguchiko. Beberapa langkah berjalan, sempat membeli cemilan serta jus jeruk, kuputuskan duduk di bangku tepian. Merogoh saku celana. Yah, lembar uang berkurang drastis. Tidak akan cukup untuk naik kereta selanjutnya. Sepertinya…
“Tas besar…” lirihku melihat seorang kakek tua berjalan lambat di pinggir jalanan kota. Menenteng tas Travel biru tua. Tidak usah menunda-nunda. Aku butuh tambahan uang. Perutku melilit, rasanya mulas. Maka aku berdiri, kedua tangan terkepal erat. Menghela napas dalam-dalam. Kupejamkan mata, menimbang apakah aku harus melakukan ini? Jawabannya iya! Mulailah aku menjurus langkah seribu! Hanya seorang kakek tua. Di sekitar kakek itu juga sepi. Tidak ada orang selain pendosa sepertiku. Maaf kota Jepang. Tamu pertamamu ini harus melakukan kejahatan.
Dap!
“Hei! Hanzai-teki!” kejut sang kakek kepala plontos itu. Tas Travel barusan aku rampas paksa. Menjatuhkan si kakek secara kasar. Kepalanya terbentur trotoar dan kudengar rintihan sakitnya bersamaan aku berlari sejauh mungkin. Jantung ini berdetak sesak! Kakek yang malang.
Tas Travel apa ini? Berat sekali! Ugh! Awalnya aku mudah membawanya sampai masuk belokan jalan. Lama-kelamaan, pundak terasa sakit. Apakah isi tas ini emas? Barang antik yang mahal? Atau tumpukan uang pensiun? Aku tidak sabar mengambilnya. Dirasa sudah berlari terlalu jauh, kemudian aku berhenti di belakang toko tua tak terawat. Kedua tangan membanting tas berat barusan.
“Hah… Gila! Capek!” keluhku dengan tempo napas kejar-kejaran. Badan mengembang naik turun, tangan kiri memegang perut. Gara-gara lari, perut kembung ini seperti mengamuk. Ingin muntah. Sejenak aku hanya berdiri memandangi tas sambil kedua tangan gemetaran menyangga pinggul. Geleng-geleng. Tentunya, detak jantung bertahap normal. Selanjutnya, aku menarik resleting tas. Percaya seratus persen, tas di hadapanku berisi tumpukan emas! Menyungging senyum culas penuh ketidaksabaran. Srek! Tas terbuka lebar. Begitu aku amati isinya, badan condong sedikit membungkuk. Apa ini?! Kedua mataku melotot bak ingin lepas. Menganga takut.
“HAAAAAAHHH!!!” jeritku. Jatuh kehilangan tenaga. Syok sekali! Isinya bukan tumpukan emas! Ta-tapi… tapi… Manusia! MANUSIA! Seorang anak kecil perempuan rambut pirang! Mengenakan pakaian overall biru. Kedua tangan serta kaki anak kecil itu ditekuk ke depan supaya muat masuk tas. Selain isi manusia, aku tidak melihat barang-barang lain. Kakek itu menculik anak-anak? Aku mencuri tas seorang penjahat? Tunggu… Dia masih hidup kan? Atau… Badanku merangkak, kepala mendongak ingin memastikan wajah putih anak kecil cantik barusan. Sepertinya dia berdarah amerika? Rambut pirang yang dikepang, indah sekali. Tangan kananku mengulur, hendak menyentuh lengannya.
“SHIT!” Aku kaget luar biasa! Kembali jatuh dan menggesek badan mundur. Gadis kecil itu membuka kedua mata. Melirik diriku!
“Koko wa dokodesu ka?” Si gadis kecil bangkit duduk. Celingak-celinguk mengamati. “Anata daredesuka?” Menatap bulat keberadaanku. Dia tidak takut sama sekali? Aku sedang melihat hantu atau bagaimana? Mendadak kulitku dingin! Pasti aku gila kan? Meraba pipi sendiri.
“Who are you?” tanyaku sulit menggerakkan anggota badan. Aku bertanya menggunakan bahasa inggris, karena anak kecil itu tidak akan paham bahasa Jepang terburuk yang aku hafal sehari. Apalagi, aku takut dia akan menertawakanku nanti kalau ketahuan payah mengucapkan kosakata Jepang.
“I’m Steva. Who are you and where am I?” jawab si gadis kecil rambut pirang. Bernama Steva. Kedua alisku bertaut. Hah? Mendadak dia menggunakan bahasa inggris? Anak yang pintar. Apakah dia mengusai banyak bahasa dan menjadi sebab diculik kakek-kakek?
“My name is Han.” Perlahan aku berdiri. Berwajah tegang. Tangan melambai ke depan, berharap Steva tidak perlu takut di depan laki-laki pengangguran mau mati ini. Lagipula bukan aku penculiknya.
Senyum kecil Steva merekah manis. Lucu. “Han?” Memiringkan kepala, lekat menatap penampilanku secara keseluruhan. “Are you Japanese people?”
Entah kenapa aku menjadi keluh bersuara. Sepertinya tenggorokanku lengket. “No. I’m from Indonesia.” Dengan suara setengah berbisik.
“Oh, dari Indonesia,” ucap Steva malah mengganti bahasanya menjadi bahasa Indonesia. Anak kecil ini… siapa? Sudah kuduga, dia gadis penting. Bahasa apa saja yang dia kuasai?
“K-kamu bisa bahasa Indonesia? Si-siapa namamu? Ste-Steva? Steva kan?”
Steva mengangguk lugu. Berdiri sambil menepuk sekujur badan. Membersihkan bekas debu. “Terima kasih ya kak. Kakak orang baik. Aku hampir saja mati. Kakek itu… Dia ke mana kak?”
Aku belum mau meresponnya selain diam. Antara tersanjung, terharu, dan ketakutan. “Aku orang baik? Dia hampir mati kehabisan napas? Aku yang ingin mati ini menyelamatkan gadis kecil yang juga akan mati? Kejutan apa ini?” batinku penuh pertentangan.
“Steva. Kamu cantik meski masih kecil. Berapa usiamu?” tanyaku setengah melamun. Terpukau kecantikannya.
Bukannya menjawab. Malah Steva tertawa lantang. Surut ekspresi kagumku. Dia menertawakan seseorang yang baru saja menyelamatkannya! Kurang ajar!
“Kak Han. Pertanyaan kakak sama seperti kakek yang menculikku selama tiga hari.” Perlahan suara tawa Steva menjadi rendah. Meski masih terkekeh geli.
“Apa maksudnya?”
“Usiaku delapan tahun. Kakek jahat itu menangkapku dari suatu tempat. Selama tiga hari aku berada di dalam tas besar ini. Aku menghitungnya.”
Hah? Apa yang Steva bicarakan? “Tidak mungkin. Tiga hari di dalam tas sempit? Sudah pasti kamu akan mati selama beberapa menit! Jangan bercanda!” Kalimat terakhirku ditekan ketus. Kemudian, Steva mengerucutkan bibir. Menunduk sedih. Membuatku sadar, dia hanya gadis kecil. Untuk apa menanggapi serius cerita fantasinya?
“Maaf…”
Steva tertawa lagi. “Tidak perlu minta maaf kak. Kakak mau ke mana malam-malam seperti ini?”
“Hutan Aokigahara.”
“Ouh! Itu hutan angker loh kak. Kakak gak takut?”
Aku geleng-geleng. Tatapan mulai kosong. Pikiranku tetap mengira kalau Steva hanya khayalan. “Kamu, anak pejabat tinggi kan? Dari mana asalmu? Akan kuantarkan pulang.” Aku mengucapkannya penuh rasa heroik. Gadis kecil yang malang. Mungkin, aku harus menunda kematianku beberapa jam lagi demi mengantar anak kecil bernama Steva.
Tatapan Steva menerawang. “Dari mana ya…” Bahunya merosot cepat. “Lupa kak!” Ketawa cekikikan sambil mengedikkan bahu.
“Serius?”
Respon Steva masih ketawa ceria. Mengabaikan omonganku. Tampaknya Steva mencari sesuatu di ujung isi tas Travel itu. Lalu, dia mengeluarkan tangannya. Memegang dua bandel uang! Aku terkejut! Mendesah kurang percaya! Ternyata aku tidak teliti, di dalam tas memang ada uang!
“Hei Steva! Berikan uangnya ke kakak!” Mulailah aku mendekat. Nyengir masam.
“Uang ini?”
Antusias aku mengangguk. Setiap melihat uang berlembar-lembar seperti itu, pasti seperti terhipnotis. “Kamu kakak kantar pulang ya. Tapi…” Aku mendekat, duduk bersimpuh agar setara dengan Steva. Mengusap rambutnya sambil menarik lembut dua bandel uang di genggaman lemah tangannya. Sekarang aku telah mendapatkan uang itu.
“Rumahku di desa kecil perbatasan hutan Aokigahara kak. Kakak mau ke sana kan? Steva ikut!”
“Anak desa?” Wajahku berubah datar. Memperhatikan Steva dari atas ke bawah. Anak desa apanya. Dia seperti anak berdarah inggris? Tapi, Steva mengangguk polos. Hah… apa boleh buat? Kedua mataku berputar malas. “Oke, kamu kakak gendong ya? Kita ke statiun beberapa meter di sini."
Betapa riang Steva begitu aku gendong. Sekarang dia berada di belakang punggung. Bersamaku. Muncul gejolak senang seketika. Perasaan kesepian, sekejap hilang. Gadis kecil berambut pirang ini membuat isi hatiku berwarna. Sepanjang aku berjalan, dia mengoceh banyak hal. Menceritakan imajinasinya. Katanya, dia lahir di planet Avets. Berkali-kali aku tertawa pecah. Ada-ada saja. Memang tidak perlu ditanggapi serius, tapi ketika aku diam… aku memikirkan semua cerita Steva. Hampir membenarkan imajinasi ngawur-nya yang katanya bisa berubah jadi gadis remaja.
Baca Juga : [Cerpen] Cincin Yang Berbicara - Lalitya Nandini
* * *
Perjalanan kereta malam. Tujuan hutan Aokigahara. Kami duduk bersebalahan di bangku paling tengah. Penumpang kereta malam ini sangat sedikit. Steva berada di pojok bangku, tiada jenuh menatap kaca jendela. Padahal pemandangan luar gelap. Aku juga baru saja membeli surat kabar. Ponsel milikku dalam kondisi lowbat. Aku menggunakannya setengah jam lalu, sebelum ponsel mati total. Aku tersenyum ramah setiap Steva menatapku-menunjuk kaca jendela. Katanya pemandangan kota yang indah. Tidak ada kota, segalanya gelap. Steva adalah gadis kecil banyak tingkah. Sulit diam. Sering tertawa. “Ssst!” desisku supaya Steva diam sebentar.
Surat kabar aku bolak-balik. Mencari berita sepak bola. Koran bulan ini kebanyakan membahas kasus pembunuhan. Jangan sampai Steva membaca cerita menyeramkan seperti yang tertulis di koran. Apalagi Steva dari tadi berbisik ingin dibacakan dongeng. Dongeng apanya? Dongeng kasus pembunuhan? Meski aku pernah membunuh seseorang, tentu aku masih waras kalau berhadapan dengan anak kecil yang belum tahu apa-apa. Kubuka bagian dalam lipatan koran. Terpicing membaca judul besar bahasa inggris. Jika diterjemahkan, “Seorang kakek di kota Tokyo, masih dalam pencarian polisi karena menculik gadis berambut pirang sebelum membunuhnya.” Aku berusaha bersikap biasa, mulai membaca paragraf demi paragraf. Lama-kelamaan kedua mataku terbelalak. Benarkah berita ini? Tertulis kalau kakek itu menculik gadis remaja berusia sembilan belas tahun. Dari rekaman CCTV, gadis itu ditusuk beberapa kali dan jasadnya dimasukkan ke dalam tas Travel biru tua. Nama gadis remaja yang sempat diculik adalah Stevanya. Gadis kampus dari amerika yang berlibur ke Jepang bersama seorang pria. Sekarang pria yang bersamanya juga tidak diketahui ada di mana. Jemariku gemetaran dalam keadaan memegang sisi koran secara lebar.
“Steva. Stevanya?” Melirik Steva yang duduk merengut, mengecap jari mungilnya. Ciri-ciri Steva sama dengan foto gadis remaja rambut pirang kepang dua di dalam koran. Pakaian overall-nya pun sama. Tiba-tiba aku teringat cerita fantasi Steva, kalau dia bisa berubah menjadi gadis remaja. Sial! Sebenarnya aku bersama anak kecil atau hantu?
Ta-tapi… Ah! Tidak mungkin. Aku terkekeh. Pasti koran edisi lama? Iya kan? Pasti ada kesalahan informasi. Tatapanku menangkap wajah lugu Steva. Dia gadis kecil yang baik. Sejak kapan aku percaya hantu? Tidak! Ini berita sampah! Penuh kemarahan, aku merobek koran sampai terurai kecil-kecil. Mengejutkan Steva.
“Kenapa kak?”
“Gak kok.” Aku mencoba tersenyum simpul.
“Mau sampai kan kak?”
“Eh! Ya! Gak lama kok. Kamu tidur aja.” Tanganku mengusap rambut pirangnya. Begitu melepas usapan, aku penasaran dengan telapak tangan yang terasa dingin menusuk-nusuk. Telapak tanganku membekas bintik kerlap-kerlip keemasan. Semakin merasa janggal, dan aku selalu menepis perasaan itu. Telapak tangan aku kibas ke udara, berjatuhan debu keemasan yang memukau mata.
“Gak ngantuk kak.” Steva menggigit bibir bawah. “Kan udah tidur tiga hari di dalam tas besar itu.” Meringis bahagia.
Sejak saat itu, tatapanku kosong. Duduk bersebelahan dengan Steva yang entah dari mana. Dan secara kebetulan, katanya dia tinggal di desa perbatasan hutan Aokigahara. Tempat yang akan kujadikan untuk mengakhiri hidup. Apakah kebetulan sama? Lalu, berita dari koran yang sudah kurobek tadi. Ada apa ini? Membuatku merinding. Menelan ludah.
Empat puluh menit perjalanan kereta. Kami turun, berjalan. Keluar stasiun pemberhentian. Aku menolak rengekan Steva yang ingin digendong. Setelah dibelikan permen lollipop, dia kembali tenang. Mau berjalan bersamaku. Capek banget kalau harus gendong anak kecil. Rasanya, baru saja aku memberikan Steva permen lollipop. Anehnya satu detik kemudian, lollipop itu sudah habis dan tersisa stick-nya saja.
“Loh, permennya ke mana?”
“Habis.” Enteng Steva menjawab. Mengedikkan bahu. Sesekali mengusik rombongan nyamuk di atas kepalanya. Ditepuk-tepuk, mengecap darah isapan nyamuk di kedua telapak tangan Steva. Dia meniup beberapa nyamuk gepeng tersebut. Aku memperhatikannya penuh tatapan selidik. Kemudian, Steva menghidu bau darah. Lidahnya menjulur, mengisap darah kering hasil isapan nyamuk!
“Steva! Jorok!” Langsung aku pegang tangannya. Kucengkeram erat sampai Steva terkejut hebat. “Jangan!” Aku segera mengusap telapak tangan si gadis kecil rambut pirang menggunakan tisu kumuh. Membuang cap darah di tisu barusan.
Kami terus berjalan. Keluar stasiun, hampir mendekati pintu masuk hutan Aokigahara dengan pohon-pohon tinggi. Dari jauh saja, aku bisa melihat nuansa menyeramkan hutan. Tempat orang-orang Jepang bunuh diri.
“Kak! Main kejar-kejaran yuk!” Seketika Steva tersenyum lebar. Melepas pegangan tangan.
“Gak! Sudah malam! Bukan waktunya main begituan!”
“Ah! Kakak penakut! Padahal pernah bunuh orang.”
Deg! Langkahku berhenti. Melotot tegang. Steva pasti seorang detektif yang meminum pil pengecil badan seperti dalam animasi Detektif Conan! Aku yakin itu! Selama ini aku diikuti polisi. Bulu kudukku berdiri merinding. Menoleh sekeliling. Pasti ada polisi yang bersembunyi dan mengarahkan senapanannya ke arah kepalaku kan?
“Ayo kak! Main kejar-kejaran!” seru Steva membuyarkan segala pemikiran kepalaku.
“Loh! Uang kakak!” Sejak kapan Steva mendapatkan dua bandel uang yang aku kantongi? Gesit sekali! “Steva! Kembalikan ke kakak! Ayo!”
Steva berlari mendahului. Belum jauh langkahnya, tiba-tiba dia berhenti. Melepas ikatan dua bandel uang tersebut, menghambur-hamburkannya sambil berlari lurus. “STEVA!” Tentu aku marah, mengejarnya. Dasar anak kecil merepotkan!
“STEVA! STOP!”
Semakin dikejar, semakin jauh nan cepat sosok Steva. Tertawa terus-menerus. Pandanganku kurang fokus, banyak lembar uang berhamburan. Setengah langkah, aku terpaksa berhenti. Memungut beberapa lembar uang.
“Ayo kak! Sini! Uangnya masih di aku!” Cekikikan, sesekali Steva menoleh belakang. Berharap aku terus mengejarnya. Tentu saja aku tersulut mengejarnya. Jangan sampai Steva membawa kabur uang sebanyak itu.
“STEVA! Berhenti!” Aku kelelahan mengejarnya.
“STEVA!” Kuputuskan berhenti, melepas napas lelah. Perutku terasa keram.
“Ayo kak! Kejar! Main sama aku!” Steva masih menghambur-hamburkan uang. Melangkah mundur dengan tampang ceria polos.
Mulutku menganga. Hendak menyeru sekali lagi. Tapi… No! Steva! Aku baru sadar kalau Steva menunduk, memilih masuk melewati palang kereta. Dengan bunyi denting jelas. Detik-detik kereta akan melesat cepat.
“STEVA!!!” Sayangnya, aku hanya mampu bergerak selangkah. Entah kenapa.
Jroaaaaassssh! Senyum manis Steva terakhir kali mengembang ketika kereta menghantam keras seorang anak kecil di tengah lintasan rel. Membuatku tidak mampu berteriak. Terpaku syok!
“Steva…” Terucap lirih olehku. Menunggu gerbong kereta berlalu jauh. Selesai kereta melintas, palang terangkat. Di tengah lintasan penuh kerikil, aku menangis melihat potongan daging tercabik-cabik. Darah menyiprat ganas. Tidak terbentuk lagi rupa anak delapan tahun itu. Segalanya merah. Bertebaran kemana-mana isi organ.
Baca Juga : [Cerpen] Menjaga Hati untuk yang Tak Di Ridhoi - Siti Nurmaisah Nasution
* * *
“Apa-apaan…” Rasanya aku terus terkekeh semenjak kejadian Steva terlindas kereta. Setengah sadar aku memanjat pembatas hutan Aokigahara. Melompat turun, menginjak rerumputan. Berbekal senter kecil yang sempat aku beli bersamaan membeli lollipop tadi. Berjalan dengan perasaan campur aduk. Menyorot pohon-pohon berkabut. Suasana hutan mencekam. Seram.
Seiring aku melangkah, dapat terasa sepatu ini menginjak benda-benda keras. Ketika cahaya senter menyinari tanah, termasuk bagian yang terinjak sepatu, ditemukan bagian tulang belulang besar. Jelas tulang manusia yang pernah bunuh diri. Aku mendesis ngeri. Terus berjalan mencari tempat terbaik bunuh diri. Semakin tertarik menyusuri bagian demi bagian hutan, perasaan takut itu tidak ada lagi. Seakan menjadi biasa. Toh, nanti aku juga mati di sini.
Tercium bau menyengat busuk. Semacam bau bangkai. Pasti ada mayat manusia yang baru-baru ini mati. Kuarahkan sentar ke selatan. Apa itu? Kedua mataku terpicing. Tampak seorang laki-laki remaja berpakaian sekolah, mati gantung diri. Erat tali mengikat lehernya di dahan pohon. Pemandangan orang mati seperti ini yang mulai membuatku kurang nyaman. Meringik ngeri. Tidak sekali aku berpapasan dengan mayat. Kadang aku menutup mata, putar arah mencari jalan lain. Dan sama saja. Kali ini berhenti, karena di depan sana ada lubang besar. Rasa penasaran mendorongku mendekat, menyorot kegelapan pada lubang itu. Terlihat seorang wanita paruh baya, kulitnya kering tanpa bola mata-sedang memeluk gulungan kain dengan kepala tengkorak mungil. Tengkorak bayi. Hih! Mereka punya permasalahan berbeda-beda. Pasti mereka puas memilih mati di hutan yang tidak mencaci macam-macam. Menerima kematian manusia agar nanti menjadi pupuk bagi tunas baru.
Aku masih sanggup berjalan. Selain terbayang wajah teman kerjaku, kali ini kepalaku terbebani wajah Steva. Mengingat betapa hancurnya segala daging di lintasan kereta tadi. Semakin menambah keping-keping putus asa seorang laki-laki tidak berguna. Dilupakan. Di sini. Di hutan Aokigahara Jepang. Semua orang akan senang berlibur di negeri sakura ini. Tidak denganku, aku ke sini untuk mati. Apa bedanya mati hari ini dan mati nanti?
Setengah jam aku berkeliling. Baru ketemu pohon lumutan paling pas menurutku. Jauh dari mayat-mayat penganggu. Hanya ada aku, chutter, dan tali rami. Aku ikat dahulu tali rami ke bagian dahan. Membuatku menjinjit kesusahan. Sementara mulut menggigit senter. Setelah semua beres, aku naik bebatuan besar dengan lubang tali masuk leher. Masih renggang. Nanti… Begitu aku lompat, tercekik, dan mati. Mudah dibayangkan. Kedua mata terpejam. Dalam-menghirup aroma dedaunan, ditambah bau keputus-asaan.
Hks! Hks! Hks!
Aku yang sudah gak sabar mati atau suara perempuan itu ada di sekitar sini? Terbuka kedua mataku, memastikan apakah suara isak tangis perempuan hanya halusinasi belaka atau nyata. Kutunggu satu menit, hening. Baiklah, aku halusinasi lagi. Gangguan kecil. Kupejamkan mataku lagi. Terdengar isak tangis yang sama. Terpaksa aku batalkan gantung diri, mengambil senter dari mulut. Menerangi berbagai sudut karena terdengar jelas tangisan perempuan.
“Halo? Ada orang?”
“Aku Han!”
Suara isak tangis seperti menggema di belakangku. Dibalik batu besar. Medan bawah batu sangat miring, aku harus hati-hati menyeimbangkan gesekan sepatu. Memilih turun. Aduh! Ujung-ujungnya aku jatuh tergelinding sebelum gesekan selesai memijak permukaan datar. Tidak ada luka, maka aku berdiri. Menepuk remah tanah campur rumput kering di sekujur badan. Setelahnya, berjalan menembus daun besar. Masuk suatu tempat sesak akan pohon. Kurasa aku terlalu jauh dari gantungan tali arah bebatuan besar tadi.
Bertambah melengking tangisan perempuan itu. Aku semakin dekat! Sambil berlari kecil, perlahan langkah ini mengalami jeda. Suara tangisannya dari belakang pohon tua depanku. Pelan-pelan aku memijak senyap, agak kaget melihat seorang gadis duduk jongkok menyandari pohon dalam keadaan menangis. Gadis rambut pirang kepang dua. Pakaian overall biru.
“Halo… Aku mendengar suara tangisan, dan…”
“DIAM!” Gadis rambut pirang berdiri, berkali-kali membesit linangan air mata. Menatap tajam ke arahku. Ciri-ciri gadis remaja usia sembilan belas tahun dalam pemberitaan koran. Stevanya.
“Maaf. Bukannya aku mengganggu…”
“DIAM! Biarkan aku mati! Brengsek!”
Lalu, aku kebingungan melontar kata. Diam sejenak. “Ehm. Maaf, aku hanya ingin menolongmu. Aku seorang psikolog utusan. Tugasku mencari orang-orang yang putus asa, menyadarkan mereka.” Eh? Kenapa aku berbohong sok jadi pahlawan? Apa karena dia gadis remaja yang cantik?
“Siapa yang peduli!” Si gadis rambut pirang mendorongku.
“Kamu ingin bunuh diri?”
“Memangnya kenapa? Mati lebih baik!”
“Itu tidak akan menyelesaikan penderitaan di akhirat. Siapa namamu?”
“Stevanya.”
Shit! Bulu kudukku berdiri. Tenggorokan terasa kering, tercekat gejolak rasa takut. “Stevanya? Bukanya kamu sudah…”
“BAWA AKU KELUAR DARI HUTAN INI! TOLONG! SELAMATKAN JIWAKU!” Seketika Stevanya meremas kain jaketku. Membentak hebat. Bercucuran air mata. “KAMU MAU MENOLONGKU BUKAN? AKU INGIN MENIKAH DENGANMU! TOLONG! BAWA AKU KELUAR DARI HUTAN INI!”
Me-menikah denganku? Ini nyata kan? Aku tidak tahu siapa Stevanya. Entah Stevanya dalam pemberitaan koran atau Steva yang mati tertabrak kereta. Dia cantik dan seksi. Aku ingin bersamanya! Hidup berdua bersamanya! Menikah dengannya! Benar! Senyum culasku menyungging. “Oke! Ikut aku! Kita keluar dari hutan ini!”
* * *
Berpura-pura hafal jalan itu mendebarkan. Siapa yang hafal jalan hutan sebesar ini? Aku lupa jalan kembali. Tapi, kami terus bersama. Setiap Stevanya melihat mayat manusia, dia langsung memegang erat tanganku. Aku dipercaya menjaganya. Akan kulindungi sebagai laki-laki sejati! Karena berjalan sangat jauh, kami memutuskan istirahat sejenak di bawah pohon tumbang. “Kamu haus kan? Aku membawa minum.” Stevanya mengeluarkan botol minuman dari saku pakaian overall-nya. Meneguk dahulu minuman tersebut, barulah diberikan kepadaku. Aku langsung teguk saking hausnya. Hah! Lega. Ehm! Kedua alisku tertekuk, rasa minuman yang aneh. Asin. Sedikit kental.
“Rasanya aneh. Minuman apa ini?”
Stevanya mengulum senyum misterius. “Maaf. Aku punya kelainan soal minuman. Emmm… Enak kan? Itu minuman darah milik ibuku.” Terkekeh seenaknya.
“APA?! KURANG AJAR! GADIS SETAN!!!” Kemarahanku menggebu-gebu! Lebih baik aku bunuh diri saja sejak tadi daripada tertipu gadis setan rambut pirang ini! Leher Stevanya kucekik kuat-kuat. Sampai dia menganga, kehabisan napas. Tewas mengenaskan. Ya, Stevanya benar-benar mati di tanganku. Aku membunuh seseorang lagi. Ini korban kedua. Tuhan… berbekal chutter, aku menusuk leher. Pandangan bertambah buram. Selamat tinggal dunia. Segalanya gelap.
Kecuali, aku tersadar di hutan yang sama. Melihat jasadku dan jasad Stevanya. Dunia roh?
Lalu, kenapa aku melihat banyak Steva kecil berlarian mengitari hutan? Satu Steva memegang tanganku. “Kak, main yuk! Kan kakak sudah mati!” Mereka tertawa. Cekikikan riang. Tawa yang aku benci.
-Tamat