Pada sebuah tempat megah dan indah. Air mancur berjejer dari awal pintu sambutan. Tamu undangan menikmati hidangan berbagai sajian lezat menggairahkan, serta minuman bersoda dari sloki emas.
Sengat matahari belum mencapai waktu terik, adalah cahaya sukaduka alami yang turut bahagia dapat menyinari mekar wajah orang-orang yang hadir dalam pernikahan dua pengantin muda. Ikatan janji suci yang disaksikan ribuan lebih orang, ditempat bukit tinggi dan diliput media dari berbagai sudut. Para tamu tidak akan melupakan betapa berkesannya hari terbaik dari pernikahan Clark dan Rashel.
“1… 2… 3… Senyum.” Juru fotografer membidik kedua mempelai bahagia diatas panggung penuh bunga. Ckrk! Terpotret abadi dalam sebuah bingkai kenangan pernikahan antara keduanya, yang sekarang sudah masuk usia 8 tahun
Tapi, foto pernikahan yang setiap hari Clark bersihkan dari debu, diambil. Lalu, dibuang Clark pada tempat sampah. Dia pergi menuju ruang lain. Menuju dapur. Terlihat, Rashel sedang membuat adonan roti, tangannya terkena tepung. Dia membelakangi suaminya karena tidak menyadari Clark ada disana selain fokus menunggu oven pemanggang adonan roti matang sempurna.
“Rashel,” panggil Clark tampak lesu, dia berjalan sambil menarik meja. Kemudian duduk melihat betapa kotornya dapur rumah.
Respon Rashel menoleh dengan wajah biasa, tidak tersenyum. Tapi, langsung mengambil gelas, menyeduh teh panas untuk suaminya itu. –“Jam berapa ini? Kau tidak bekerja? Aku tidak tega membangunkanmu tadi.” Meletakkan segelas teh panas, menatap heran sang suami.
Baca Juga : [Cerpen] Pamali - Jangan Keluar Waktu Maghrib (Edisi 2)
“Teh panas lagi? Bisakah ada-“
“Tidak ada. Hanya itu.” Rashel memotong ucapan.
“Kau habiskan untuk apa uang bulanan dariku?”
“Kau hanya memberikan sedikit setiap bulannya, sekarang kau bertanya dihabsikan untuk apa? Tentu untuk kebutuhan kita dan anak kita!” ketus Rashel berjalan mendekati oven, mengambil hati-hati adonan roti.
Clark mendengus. –“Aku rasa, kau mulai tidak melayaniku dengan baik. Inikah hidangan terbaik keluarga, roti kering dan teh?” Sedikit terkekeh geli.
Seketika Rashel berbalik dengan wajah merah, merengut sedih. –“Kata-kata itu menyakitiku! Sungguh!”
“Aku kira, semakin kesini. Hubungan pernikahan kita mulai kacau. Kau tidak secantik dulu.” Clark mengoceh sendiri, sengaja agar didengar istrinya.
“Clark…” Air mata Rashel keluar, mengalir bersama kesedihan serta luka. –“Kau berubah.”
“Aku bekerja siang malam. Dan saat pulang, aku hanya mendapatkan ini. Kau ingat? Malam tadi, bahkan tidak ada makanan di meja. Aku muak!” Sangat mengejutkan, Clark menjatuhkan gelas teh hangat itu hingga tumpah membasahi kain meja.
“Bisa-bisanya kau menghinaku! Aku merawat anak kita! Mengurusnya! Bisaka kau mengerti aku?”
“Cukup!” Clark berdiri dengan kedua tangan menampar meja, membuat Rashel tersentak. –“Aku dipecat dari pekerjaan! DIAM KAU ISTRI TIDAK BERGUNA!” Menunjuk sang istri penuh intimidasi.
Maka, Rashel mengambil langkah cepat, mendekati suami. Lalu, menamparnya cukup keras. –“Dasar pemabuk! Kau sedang mabuk!”
Baca Juga : [Cerpen] Aku dan Depresi - Ainur Hasanah
Dalam waktu singkat, tanpa pikir panjang usai Clark menerima sakitnya tamparan itu, malah menampar balik Rashel. Bahkan, Rashel tidak menduga suaminya semakin bisa melakukan apa saja saat sedang marah. –“Pergi kau dari rumah!”
Awalnya, Rashel diam dengan tangan memegangi pipi bekas tamparan, dia masih syok atas tamparan keras dari Clark. Tidak lama, wajahnya sembab. Dibanjiri air mata.
“Aku menceraikanmu.” Clark berjalan ke arah kulkas, membukanya untuk mengambil sebotol anggur dari tiga botol serupa. Dia meneguknya saat berdiri. Mengambil beberapa langkah menghadap dinding, kembali meneguk botol anggur. Seakan telah menjadi kebiasaan Clark jika marah, mungkin juga menghilangkan stres.
“Aku akan pergi.” Suara Rashel menggeram, berjalan cepat menuju anak tangga. Menuju kamar.
Mendengar ucapan Rashel, respon Clark mengangguk tidak peduli. Selama beberapa menit, Clark hanya duduk di kursi dapur, mengambiskan dua botol bir. Ditambah, menjatuhkan kedua botol bir itu sampai pecah tepat ketika Rashel baru turun setengah langkah dari anak tangga sambil menggandeng tangan anak perempuannya serta menenteng koper merah pekat. Usai berhenti, ditambah reaksi takut sang anak, sentuhan hangat rashel meminta anaknya kembali berjalan bersama dirinya.
“Bagus. Kau mengajak anakku juga.” Wajah Clark teleng, setengah mabuk menoleh Rashel ketika hendak lewat.
“Ya, aku mengajak anakku, Clara.” Wajah Rashel belum bersih dari kesedihan serta kemarahan. Sementara, Clara; anak perempuan 8 tahun itu terdiam polos belum mengetahui apapun.
“Pergilah…” Tapi, Clark dalam keadaan mabuk membiarkan anak maupun istrinya pergi dari rumah. Bahkan, membuang muka.
Buru-buru Rashel melewati meja dapur, ini sudah keputusan terbaik meninggalkan rumah bagai neraka itu. –“Aku akan mengambil kembali Clara! Lihat hak asuh perceraian kita nanti!” seru Clark hanya semakin mempercepat langkah Rashel serta Clara. Suara pintu tertutup keras, keduanya sudah keluar rumah entah kemana.
Baca Juga : [Cerpen] Yang Terbaik Untukku - Maya Nurida
***
Malam hari – Pukul 23.05-
Club malam, biasa disebut Bar selalu ramai akan pengunjung yang mencari kesenangan. Mereka berjoget, duduk bersama wanita-wanita cantik, mabuk, dan lampu disko berkedap-kedip menambah gairah kesenangan mereka.
Sosok Clark, berjalan melewati sesaknya pengunjung bar. Kemudian duduk pada bangku bagian pembelian botol minuman. –“Seperti biasa.” Ucap Clark kepada pelayan. Mata Clark melihat sekeliling, mereka lebih bahagia ketimbang dirinya; tampak menyedihkan.
“Wine dengan soda.” Seorang laki-laki berjaket biru tebal berdiri disamping tempat duduk Clark. Setelah itu, dia mulai duduk bersebelahan. Clark menoleh siapa orang disampingnya. –“Hary?” Clark mengenali siapa laki-laki tersebut.
“Oh? Hei, Clark?” Hary merespon balik, tidak menyangka Clark ada di tempat bar. –“Apa kabarmu kawan? Sudah lama kita tidak bertemu semenjak pembagian staf proyek di kantor tambang itu.” Penjelasan Hary menunjukkan dia dulu teman Clark pada kantor yang sama.
“Ya, proyek itu masih berjalan.” Singkat Clark menjawab malas.
“Kau kelihatan tidak baik-baik saja.”
“Dipecat dari pekerjaan, istri dan anakku pergi dari rumah. Bagaimana aku bisa berpura-pura baik-baik saja. Itu konyol.” Bersamaan minuman pesanan Clark datang, begitu diterima; langsung meneguknya.
“Ouh. Kau dipecat? Maaf aku tidak tahu.” Giliran minuman Hary datang, tapi dia meletakakkannya sebentar. Lebih tertarik berbicara pada teman lamanya itu. –“Semua bisa saja terjadi teman. Nikmati hari ini. Jangan terlalu dipikirkan.”
Clark berdeham menahan tawa. –“Itu lucu. Kita nikmati hari ini.” Mereka bersulang, masing-masing meneguk minuman.
Semakin larut, sudah sangat lama Clark menghabiskan waktunya untuk mabuk bersama Hary. Sayang sekali, Clark begitu mabuk sampai harus dibantu Hary berjalan ketika keluar dari club malam. Mereka menuju mobil hitam seberang jalan. Clark masuk, tidak mampu bergerak banyak. Sementara, Hary menyalakan mesin mobil. Mulai menyetir. Mengantar Clark ke rumah.
“Terimakasih Hary. Terimakasih!” Tangan Clark melambai, sekaligus cegukan. Melihat mobil Hary pergi menjauh setelah mengantar Clark sampai gerbang rumah. Langkah Clark sempoyongan. Menutup pintu, lalu merosot jatuh. Terlalu mabuk; kehilangan kesadaran beberapa jam lamanya.
Baca Juga : [Cerpen] Kebahagiaan Yang Tertunda - Cresensia Aprilia
Pagi hari. – Pukul 09.30 – Sengat matahari masuk, menyinari ruang dapur, termasuk jendela samping pintu. Kilau cahayanya mengganggu kegelapan singkap mata seorang laki-laki bernama Clark, yang ternyata belum terbangun semenjak terlelap dibelakang pintu rumah.
“Uh…” Kesadaran Clark akan sentuhan hangat matahari membuka matanya perlahan. –“Jam berapa ini?” Ketika berusaha berdiri, kaki Clark terlalu lemah menahan tubuhnya; maka dia roboh. Menggeram marah karena kepalanya sedikit pusing, pandangan pun masih buram.
“Rashel?” Seakan Clark lupa tentang tragedi pertengkaran dengan Rashel; penyebab istrinya pergi meninggalkan rumah. –“RASHEL? KAU DIMANA?” Langkah Clark luntang-luntung berjalan menelusuri ruang demi ruang. Melihat kamar. Tampak berantakan dengan lemari terbuka. Beberapa pakaian berserakan. Melihat pemandangan tidak enak itu, terketuk ingatan Clark mengenai kenapa rumah ini terasa sepi.
“Oh, Ya. Istriku pergi meninggalkanku.” Raut wajah Clark lesu, dia menuruni tangga. Berjalan linglung mengitari rumah. Sampai, lututnya tidak sengaja menyenggol tong sampah. Semua isi sampah tumpah kemana-mana. Ketika terpejam sebentar, kaki Clark maju dan menginjak bingkai foto. Kaca bingkai harus retak atas injakan tanpa unsur sengaja barusan.
Sejenak Clark meresapi apa yang terlihat dalam foto. Momen bahagia pernikahan keduanya. Tidak dapat Clark sangka, semudah ini semua berubah. Bahkan, 8 tahun ikatan janji suci pernikahan bukanlah perkara mudah. Sebelumnya mereka sudah melalui banyak sukaduka.
“Ini salahku?” lirih Clark memungut bingkai, melihatnya lebih dekat. Ada ekspresi bersalah. Tidak lama, alisnya menekuk tajam, dia meletakkan bingkai foto diatas laci ruang depan. Terjadi perenungan, dimana Clark membolak-balik kedua tangan. Tangan yang sudah berani menampar Rashel selaku istri sah dalam tahun-tahun panjang usia pernikahan.
Suara mesin mobil menyala, suara yang garang. Lampu mobil menyala bersamaan mobil hitam lamborgini itu melaju kencang dari garasi yang mulai tertutup otomatis begitu melaju ke jalanan besar. Terlihat, ekspresi Clark serius mengendalikan stir mobil termahalnya. Melewati jalanan dengan sedikit kendaraan, Terlalu mudah bagi Clark menndahului kendaraan lain.
Baca Juga : [Cerpen] Faith - Amerta Delavera Ardani
Satu jam perjalanan, ditempuh lebih cepat berkat mobil jenis lamborgini; memperlihatkan mobil mewah itu terparkir didepan gerbang tinggi besar sebuah rumah megah. Sosok Clark keluar dari mobil, menekan tombol bel rumah. Keadaan Clark berubah rapi, mengenakan kemeja biru laut dan rambut klimis sehabis menata diri. Bukan mau menemui perempuan, tapi laki-laki dewasa berambut putih dan janggut warna serupa.
“Clark?” sebut laki-laki paruh baya itu dengan pakaian formal putih, tambahan dasi kupu-kupu ungu menarik pesona kekayaan sebagaimana rumah besar miliknya.
“Ayah mertua.” Clark memanggil sambil banyak menunduk. –“Aku ada perlu.”
“Katakan didalam.” Sang ayah mertua berjalan masuk mendahului, diikuti Clark. Gerbang besar didepan ditutup oleh penjaga pribadi.
“APAAA?” Teriakan tiba-tiba dari sang ayah mertua tengah berdiri ke arah jendela besar pada ruang tamu. Disana, Clark duduk menunduk di sofa hijau panjang. Posturnya sedikit bungkuk karena kedua telapak tangan menyanggah kepala.
“Aku menyesal. Aku kira, dia pulang kesini,” lirih Clark mendengus nafas berat.
“Cari anakku! Sekarang!” ketus sosok perempuan disebelah kursi sofa persegi. Tiada lain, sang ibu mertua. Atau Ibu kandung Rashel.
“Apakah dia tidak bisa ditelepon?” imbuh ayah mertua.
Clark bergeleng, mulai berdiri meski masih terasa berat. –“Maaf, aku sudah membuat kalian panik.”
Permintaan maaf Clark disambut geraman tidak suka dari ayah mertua sendiri. Memilih melangkah mendekati suami Rashel itu. –“Kalau sampai terjadi apa-apa pada anakku serta cucuku Clara. Aku tidak akan memaafkanmu! Mengerti!” Wajah merah, suara menggelegar berapi-api.
“Aku akan mencarinya sampai ketemu. Aku janji.” Tatapan Clark terlempar tajam.
“Kau bilang, sempat menampar anakku?”
Mau tidak mau, Clark terlanjur jujur sejak awal datang. Dia mengangguk. –“Ya, aku berkata akan menceraikannya.”
Seketika, ayah mertua menampar pipi kanan Clark. Disaksikan Ibu mertua yang syok atas tamparan tidak terduga barusan. –“Kurang ajar. Kau pikir, berapa biaya pernikahan kalian dulu? Kau punya apa saat itu yang akan menikahi anakku Rashel?! Ingat siapa dirimu!”
Daripada hanya menerima amukan serta bentakan tanpa henti; langsung Clark melipir melewati ayah mertua. Berjalan meninggalkan ayah bersama ibu kandung Rashel tanpa ada sepatah kata lagi. Kembali masuk mobil. Suara mesin mobil terdengar ganas, pergi mengikuti arus jalan.
Baca Juga : [Cerpen] Broken Home - Ayu Fitriani
Sore hari tiba. Selama waktu berlalu, beberapa tempat diduga Rashel disana telah Clark datangi. Semua nihil. Hasilnya seakan sia-sia. Keadaan menyetir, Clark sempat memanggil Rashel lewat ponselnya, tetap saja tidak ada jawaban. Bahkan, Rashel tidak terhubung panggilan.
Pilihan terakhir Clark begitu sore hampir menyentuh senja adalah pantai utara. Bukan ingin melanjutkan pencarian terhadap Rashel, tapi ingin menenangkan diri sejenak. Wajah Clark tampak mendung, meski keindahan matahari senja terpantul hangat pada pupil mata berkaca-kaca darinya. Dia berdiri di bibir pantai, membiarkan sepatu kulitnya disentuh debur ombak. Sempat, Clark menelepon Rashel. Setidaknya, ingin terus mencoba. Sama saja, panggilan ponsel berdering berujung panggilan berhenti. Nafas berat Clark terhembus. Benar-benar menyesal.
“Cepat Ma! Mama ayo!”
Seorang anak kecil perempuan, mungkin seusia Clara tiba-tiba berlari melewati Clark. Dibuat tersentak Clark olehnya, mulai terkekeh. Ikut gembira melihat anak kecil tadi melompat-lompat tepat bibir pantai dengan debur air mengantam; semakin membuat anak kecil itu tertawa senang.
“Casie, tetap disitu.” Muncul suara tidak terduga dibelakang Clark, tentu ibu kandung dari anak bernama Casie didepannya. Berciri rambut keriting, kulit sawo matang dan mengenakan jaket tebal merah muda. Dia terus berjalan, berhenti ketika bersebelahan dengan Clark.
“Ma, aku dapat kerang!” Casie asyik sendiri memungut kerang sekitar bibir pantai.
“Berapa usianya?” tanya Clark menoleh dengan mata terpicing.
“8 tahun. Dia anakku satu-satunya. Aku akan menuruti semua keinginannya,” jawab wanita berambut keriting tersebut.
“Itu bagus. Kau harus banyak bersamannya.” Clark mengangguk memberikan saran.
Ibu kandung Casie, bereskpresi biasa. Seutas senyum manis, dia tujukan untuk pemandangan senja terindah. –“Siapa namamu?”
“Clark.”
“Dira.”
Sekali lagi Clark mengangguk. –“Apakah kau pernah memarahi anakmu?"
Dengan cepat Dira menjawab, “Oh, itu. Kadang masalah kecil. Seperti saat dia menumpahkan gelas minuman.”
Clark meringis mendengarnya. –“Itu biasa terjadi.”
“Ya…” Dira menunduk, mengangguk-angguk seakan bingung akan membahas apa lagi. Kesan canggung terjadi.
“Kau sedang apa disini?” Dira bertanya dari hal paling umum.
“Menenangkan diri.”
“Ouh. Kau tampak memang seperti ada masalah.”
“Istriku pergi membawa anakku.”
Mata Dira melebar, “Astaga, maaf aku tidak tahu. Kurasa aku mengganggu.”
“Tidak. Tidak mengganggu. Ini salahku."
“Apa yang kau lakukan pada istrimu?”
Respon Clark sekedar menatap lesu lawan bicara. –“Kita bisa duduk di bangku sana.”
Pada bangku tidak jauh dari bibir pantai, Clark bersama Dira duduk bersebelahan. Saling bercerita. Juga mengawasi Dira didepan mata yang masih asyik membuat istana pasir.
“Ini memang sulit. Kau harus tulus meminta maaf padanya,” jelas Dira menanggapi curhatan Clark.
“Aku menamparnya. Dan berkata menceraikannya. Sedangkan anakku, seusia Casie melihat takut kepadaku.” Ungkap Clark panjang lebar.
Setelah mengangguk, Dira berkata, “Semua pernah berbuat kesalahan. Kadang yang kita butuhkan hanya saling memahami. Jika kau tahu, perempuan akan menyimpan sakit hati itu dalam waktu yang lama.”
“Ya. Aku menerima itu. “ Nafas Clark terhembus berat.
“…” Bibir Dira terbuka, menahan diri mengucapkan sesuatu begitu melihat wajah sedih Clark. –“Ini pernah terjadi padaku. Tapi, semua bisa kembali membaik.” Sepenggal cerita terlontar.
“Bagaimana caranya?” Clark siap mendengarkan.
Dira awalnya melipat bibir. Mengecapnya, -“Kami saat itu baru masuk usia pernikahan 3 tahun. Sore hari, pada hari selasa. Aku masih ingat. Suamiku pulang dalam keadaan mabuk, dan memintaku membuatkan jus jeruk. Kemudian, dia semakin marah dan membentak.”
Clark terdiam menyimak cerita Dira. Awal mula pertengkaran mirip seperti pertengkaran Clark bersama Rashel. Saat itu Clark masih mabuk.
“Pertengkaran itu berlangsung beberapa minggu. Kami saling mencaci karena alasan ego masing-masing. Esoknya, suamiku pergi dan bersumpah akan bercerai jika dia kembali. Dia menghilang satu bulan. Saat momen sendirian itu, aku mulai memahami rasa lelahnya dan aku mulai merasa bahwa tidak seharusnya begini. Apa yang aku tunggu tiba, setelah aku mencarinya kemana-mana, suamiku kembali. Dia membawa kalung emas dan meminta maaf. Kami dalam keadaan sama-sama merasa bersalah. Begitulah, aku pikir saat itu usia pernikahan kami akan selesai. Ternyata, Tuhan berkehendak lain.”
Mendengar cerita Dira, belum ada respon dari Clark selain menunduk untuk merenung. –“Sekarang, aku tahu harus bagaimana.” Memberikan senyum simpati.
Balasan Dira menyungging senyum yang sama. –“Lakukan apa yang perlu dilakukan.”
“Kenapa kau disini?” Sedikit terlambat pertanyaan Clark barusan.
“Mencari udara segar,” Ada raut sedih tidak semakna sebagaimana maksud tujuan Dira datang ke pantai ketika hanya ada sedikit orang saja.
Clark terkekeh. –“Ayolah, kau tampak berbohong.”
“…” Semua menjadi hening. Clark menunggu Dira bicara.
“Kau bisa bercerita,” lirih Clark menyandarkan diri.
“Kurasa masalah memang tidak akan hilang dari hubungan pernikahan. Suamiku mulai selingkuh dengan wanita ditempat dia bekerja,” jelas Dira dengan mata berkaca-kaca.
“Astaga. Bagaimana kau tahu?”
“Aku melihatnya ditempat dia bekerja.”
“Apa yang kau lakukan selanjutnya?”
“Tidak ada. Aku masih berharap semua bisa dibicarakan. Hari-hari ini dia pulang cukup larut. Aku belum berani meminta dia jujur kepadaku. Kurasa aku kacau sekarang. Aku takut, jika aku meminta dia jujur. Pertengkaran tahun-tahun lalu akan terjadi. Terulang.” Air mata Dira menetes.
“Maaf sudah membuatmu menangis.” Tidak tega Clark melihat kesedihan Dira ketika dia bercerita keadaannya hari ini.
“Tidak apa-apa.” Sadar, tidak seharusnya dia menangis, maka Dira mengusap air mata menggunakan punggung tangan. –“Setelah ini kau akan kemana?”
“Aku tidak tahu. Mungkin, menyewa hotel. Pemandangan rumah, membuatku kurang waras,” Clark memperjelas.
“Kita bisa tidur bersama.” Ucapan Dira mengejutkan Clark, tapi dia juga tertarik pada Dira saat itu karena telah mendengarnya bercerita, begitupun sebaliknya. –“Aku akan menitipkan anakku pada saudaraku. Malam hari, kita akan kembali di bangku ini dan pergi.”
Tidak ada jawaban dari Clark selain diam menyetujui.
Malam hari, belum terlalu larut. Sesuai janji keduanya. Dira dan Clark bertemu pada bangku yang sama, ditempat pantai awal melihat matahari terbenam. Lalu, Dira masuk ke mobil Clark. Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi karena jalanan sepi. Selanjutnya, keduanya dalam keadaan tidak mengenakan pakaian; tidur berdua dengan setengah badan tertutup selimut putih hotel. Dira sudah terlelap sambil memeluk Clark. Sementara Clark belum tidur, dia menjadikan kedua tangan sebagai sandaran kepala. Melihat langit-langit kamar. Ada yang Clark pikirkan. Perasaan ketidakpuasan dan bingung.
***
Pagi hari – 06.00
Selesai menghabiskan malam bersama wanita bernama Dira yang masih punya suami, termasuk Clark yang masih mempunyai istri; sekarang mobil Clark meluncur ke tujuan lain. Didalam mobil, bukannya tenang setelah melakukan hubungan itu, Clark tampak gelisah. Perasaan semakin campur aduk. –“Apa yang kau lakukan kemarin Clark!” Berdecih frustasi. Kemudian, mobil Clark berhenti di samping pembatas rumah-rumah besar, terparkir diantara deret mobil disana. Suasana sekitar tampak ramai. Banyak anak-anak Sekolah dasar maupun baru memasuki bangku TK berjalan bersama orangtuanya menuju gerbang sekolah.
“Aku harap Clara ada disini…” lirih Clark memandangi anak-anak yang masuk gerbang sekolah beberapa meter didepan.
Tidak butuh waktu lama mengamati, Clark tersentak usai melihat Clara disamping gerbang sedang dirapikan oleh sosok wanita; tiada lain istrinya Rashel. Dugaan Clark benar. Tapi, dia merasa bukan saatnya menemui istri dan anaknya di jam sekarang. Bahkan, Clark masih belum siap mengatakan maaf kepada Rashel. Pilihan Clark terpaksa menunggu sampai Clara pulang sekolah atau sampai Rashel pergi meninggalkan sekolah. Sekitar 20 menit, Rashel masih mengobrol dengan guru perempuan meski Clara sudah masuk kedalam. Pembicaraan keduanya akhirnya selesai. Lalu, Rashel pergi menaiki taksi yang datang menjemput.
Selagi menunggu, Clark menghabiskan waktunya didalam mobil sambil makan burger keju serta bermain game pada ponsel. Akhirnya, dia sadar bahwa ini waktu yang tepat menjalankan rencana. Clark melihat jam tangan sebentar, kemudian turun dari mobil. Berjalan tenang mendekati sekolah Clara. Sesekali celingak-celinguk waspada.
“Papa!” Didepan gerbang, Clara berlari mendekati seseorang; tiada lain Clark yang langsung memeluk sekaligus menggendongnya dengan ekspresi bahagia. –“Anak Papa yang cantik! Bagaimana sekolahnya?”
“Seru!” Clara tertawa, apalagi Clark berkali-kali mencium pipinya.
“Perlu aku telpon Ibu Rashel?” Ternyata Clara keluar bersama sosok guru perepmpuan.
“Ah! Tidak perlu. Justru aku diminta istriku menjemput Clara. Eum, karena kami akan pergi liburan keluar kota. Jadi, maaf kalau kami harus membuat Clara meninggalkan sekolah sebelum jam pulang,” jelas Clark berbohong. Mencoba mencairkan ketegangan dengan tawa ramah yang dipaksa.
“Baiklah. Selamat menikmati harimu Tuan Clark.” Dengan mudah guru wali kelas Clara yang baru masuk kelas 2 SD itu percaya. Terlebih, dia memang belum tahu perihal pertengkaran antara Rashel dengan Clark.
“Pa, kita mau liburan?” Keadaan masih Clark gendong, Clara sangat bahagia mendengar kata liburan.
“Ya, benar sayang. Kita akan melihat pantai, membeli mainan. Kau senang?” Suara Clark diubah seperti kekanak-kanakkan demi menghibur Clara.
“Bersama Mama?” tanya Clara yang tidak tahu apa-apa.
“Ya, kita akan liburan bersama Mama. Jadi, ayo kita ke mobil.” Sekali lagi, Clark berkali-kali mengecup pipi Clara, respon Clara terus tertawa geli. Bersamaan, Clark mengucapkan terimakasih kepada guru wali kelas dan berjalan menuju mobil.
***
Sore hari – Pukul 15.40 –
Seharian tadi, Clark menghabiskan waktunya bersenang-senang bersama Clara. Mulai datang ke restoran, membelikan Clara boneka di toko boneka, membiarkan Clara bermain di taman kota, datang ke wahana kereta anak kecil di festival, dan mengajak Clara mandi bola. Sampai, terlihat Clara tidur sambil memeluk boneka katak di kursi sebelah Clark. Dimana, perasaan lega telah Clark dapatkan ketika bersama anaknya. Mobil lamborgini itu terus melaju melewati jembatan dengan pemandangan sungai disampingnya. Sejauh ini, semua berjalan baik-baik saja. Sesuai harapan Clark, yakni menghabiskan waktu bersanam Clara saja. Tanpa Clara sadari, Papanya telah berbohong kalau Rashel sedang menunggu di pantai. Karena tujuan perjalanan mereka adalah liburan ke pantai diluar kota. Mobil itu sudah sangat jauh dari sekolah dan rumah Clark, entah akan berhenti dimana.
Tiba-tiba, ponsel yang Clark letakkan diatas kendali mobil berdering. Atas nama “Rashel istri tersayang”. Meski terkejut, Clark belum mau mengangkat telepon. Pasti Rashel sudah tahu kalau Clara bersamanya karena informasi dari ibu wali kelas sebelumnya. Sengaja Clark, membiarkan telepon ponsel dari Rashel berhenti memanggil. Tapi, terus demikian beberapa kali yang tentu mengganggu fokus Clark menyetir. Mau tidak mau, Clark menghentikan mobil diseberang jalan, keluar dari mobil untuk mengangkat panggilan.
“Halo?” Lebih dulu Clark bersuara.
“KAU BAWA KEMANA ANAKKU?!” Tanpa basa-basi, Rashel penuh amarah melontar kata-kata keras.
“Bagaimana kabarmu?” Sedangkan, Clark menjawab tenang dan malah mengalihkan topik seharusnya.
“Clark. Aku tidak bercanda…”
Malah Clark tertawa cekikikan. –“Tenanglah, tidak perlu marah seperti itu. Clara aman bersamaku.”
“Clark! Kembalikan Clara kepadaku! Kau bawa kemana dia? Jawab!”
“Sebenarnya aku ingin bertemu denganmu. Aku melihatmu mengantarkan Clara di sekolah. Aku ingin menemuimu, Sungguh. Tapi, setelah berkali-kali kau menolak panggilanku dan sekarang meneleponku karena Clara ada bersamaku. Aku sedikit kecewa. Kau pikir aku penculik? Aku ayahnya!” protes Clark serius. Alisnya tertekuk tajam, merasa marah.
“Clara lebih aman bersama ibunya! Kau hanya laki-laki miskin yang beruntung menikah denganku!” Tidak disangka, Rashel bisa melontarkan kata-kata pedas seperti itu.
“Ouh. Maka, cari Clara jika kau bisa.” Terlanjur sakit hati dan tidak mungkin ada perdamaian. Seketika Clark mematikan telepon, memblokir sekaligus menghapus nomor istrinya karena mulai kehilangan harapan tentang Rashel. Satu-satunya penyemangat hidup Clark saat ini adalah Clara. Maka, Clark masuk ke mobil, menyalakan mesin.
Begitu Clark mengatur posisi duduk lebih nyaman serta rileks, ketika melihat Clara yang ternyata sudah terbangun. –“hei, anak cantik Papa? Kau mimpi apa tadi?”
Clara bergeleng sambil mengusap kotoran mata. –“Papa kenapa lama diluar? Sedang menelepon siapa?” Bertanya dengan wajah masih mengantuk.
“Tidak. Ada urusan sebentar tadi.” Mobil pun melaju meneruskan perjalanan.
“Pa, Mama masih di pantai kan?”
“Ya, sayang. Kita akan menemui Mama di pantai tujuan kita. Jadi, nikmati perjalanan ini.” Tangan Clark membelai rambut halus anaknya.
***
Malam hari – 18.20 –
Sejauh perjalanan berlangsung, Clark bahkan tidak mengunjungi pantai satupun. Beberapa kali mobil berhenti. Hari ini mengajak Clara makan pada restoran diseberang jalan tol sebagai tempat para supir istirahat sejenak. Beragam menu kelas atas disajikan diatas meja. Clark yang sudah terlalu lapar, mencicipi lauk-lauk seafood seperti lobster, cumi-cumi, dan sup kerang. Saking enaknya, Clark kurang begitu memperhatikan Clara didepannya. Pikirnya, Clara sudah mengunyah sebagian sajian, tapi Clark mulai sadar kalau Clara hanya memutar garpu diatas mangkuk sup. Dia belum mencicipi satupun menu kelas atas restoran.
“Sayang, makan. Kenapa bermain-main dengan garpu?” tanya Clark sedang mengunyah.
Dengan perasaan jujur, Clara bergeleng lesu. –“Tidak lapar.”
“Kita belum makan malam ini. Kau harus makan. Ayo.” Malah Clark menukar mangkuk sup Clara dengan lobster bakar. –“Cobalah, ini enak.” Merobek daging lobster dan memberikannya diatas piring kosong untuk anak cantik satu-satunya.
Air mata Clara mengalir. Dia menangis. Mulai sesenggukan ketika Clark baru saja menelan lauk. Melihat putrinya menangis, Clark meletakkan garpu. Sedikit mendekatkan badannya sambil kedua tangan terlipat. –“Hei, apa ada yang kurang dari menu makanan ini? Katakan pada Papa?”
“Aku rindu Mama…” Tanpa dibantu sang Papa, Clara mengusap air matanya. Tetap menangis.
Ekspresi Clark mencoba mengerti, dia berdiri. Mendekat ke Clara. Memeluk erat dan menenangkan anaknya dengan mengusap punggungnya. –“Jangan menangis. Anak Papa itu kuat. Mama pasti datang.” Melepaskan pelukan, sementara jemari Clark menyeka air mata anaknya penuh kasih sayang. –“Papa sudah mengeluarkan semua uang demi makan malam ini. Jika anak Papa tidak mau makan, kita bisa membawanya pulang. Bagaimana?”
Jawaban Clara menggeleng. -“Aku akan makan.”
Merasa senang mendengar ucapan Clara, senyum simpul Clark terpampang. –“Ceritakan pada Papa tentang Mama.” Kembali Clark memegang garpu, meraup daging kerang pada mangkuk sup.
“Mama itu luar biasa.” Eskpresi Clara masih diliputi sedih, tapi dia mulai mengunyah daging lobster perlahan.
“Kalau Papa?” tanya Clark ingin menghibur Clara juga menghapus keheningan makan malam.
“Papa pemarah.” Demikian, Clara menjawab jujur. Ada wajah tidak suka padanya.
“Ouh.” Membuat Clark terbatuk-batuk. Lalu, mengambil tisu disampingnya. Membersihkan bekas minyak sekitar bibir. –“Pemarah? Sejak kapan Papa memarahimu?” Tersenyum lebar.
Clara menunduk, malah mengaduk-aduk sup didepannya. –“Itu kata Mama.”
“Mama? Kapan Mama mengatakannya?” Kali ini Clark ingin mencari informasi hasutan apa yang Rashel berikan untuk Clara tentang dirinya.
“Kemarin. Kata Mama, Papa tidak sayang pada Mama. Dan tidak sayang padaku.” Ucapan Clara terdengar jujur. Sangat jujur, mengetahui Clara hanya anak-anak polos yang mudah dipengaruhi kata-kata di umurnya itu.
“Sayang. Perkataan Mama itu salah. Papa sayang padamu.” Telapak tangan kanan Clark menyentuh lembut pipi Clara, mengusapnya. –“Lihat, Papa sudah membelikanmu pakaian baru dan boneka. Kau mau mainan lebih banyak? Kita bisa membelinya besok, di semua toko mainan.”
Cerocosan Clark berhasil membuat Clara tertawa lepas. –“Semua toko mainan?” Juga karena kalimat ajakan Clark yang terdengar sungguh-sungguh.
“Ya, Papa janji.” Aura bahagia mengembalikan semangat Clark di malam itu. –“Makanlah. Habiskan.” Tentu, Clara semakin lahap menikmati hidangan.
Malam berlalu, mobil Clark berhenti pada villa penginapan ujung kota, hampir ke perbatasan kota. Keadaan Clark sungguh lelah, sedangkan Clara lebih cepat terpejam daripada dirinya. Namun, pada akhirnya, Clark tertidur pulas sambil memeluk sang anak. Di sampingnya, tergeletak buku dongeng setelah dibacakan kepada Clara.
“Terbang!”
“Papa! Kencang sekali!”
Pagi tiba, dalam keadaan sudah rapi siap berpergian. Clark berlari sambil menggendong Clara dibelakangnya, bermain ala superman. Clara terus tertawa, karena tingkah sang Papa. Perlahan, langkah Clark berubah pelan. Memilih berjalan biasa melalui satu jalan diantara deretan penginapan sekitar.
“Pa, kita mau kemana?”
“Ke pasar. Kita akan beli permen kapas disana. Mau?”
Dengan cepat Clara mengangguk. –“Mau!” Tertawa geli.
Lokasi pasar memang tidak terlalu jauh, dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Butuh tiga belokan untuk sampai ke pasar tujuan Clark. Sesampainya di pasar, mata Clara berbinar senang melihat segala warna mainan disana. Banyak penjual menjajakan jajanan manis. Seperti biasa, pasar selalu ramai oleh para pembeli.
“Pa, disana. Permen kapas!” tunjuk Clara masih belum mau turun dari gendongan.
Clark terkekeh gumam. Berjalan menemui Si penjual permen kapas. Barulah, Clara meminta turun. Menerima dua permen kapas besar dari sang penjual.
Ketika Clark mengeluarkan dompet, hendak membayar; tidak sengaja dompet kulit miliknya jatuh ke tanah. Tangan kiri Clark berusaha mengambil dompet. Tiba-tiba, ada tangan lain memegang tangannya. Tangan Clark ditahan oleh tangan seseorang disebelah kiri.
“Apa-apaan!” Clark menampar pegangan tangan orang tersebut sampai terlepas. Lalu, sosok bersergama biru tua itu menodongkan pistol kepada Clark. Disaksikan Clara yang sontak menjerit takut. –“PAPAA!!!”
“Angkat tangan! Jangan bergerak!” laki-laki pembawa pistol barusan adalah anggota polisi. Dia tidak sendiri, ternyata tiga polisi sudah mengepung Clark. Masing-masing menodongkan pistol.
“Sialan…” Terpaksa Clark mengangkat kedua tangan. Dibelakang Clark, dua orang polisi membekuk dirinya dan menjatuhkannya ditanah. Selagi terkapar, kedua tangan Clark langsung diborgol kebelakang. –“Apa yang terjadi?” tanya Clark menggeram ketika kedua polisi sibuk mengunci borgol.
Datang satu polisi lagi, menggendong Clara saat itu juga. –“PAAPAAA!!!” Clara menjerit sejadi-jadinya, terlalu lemah melepaskan diri dari gendongan orang dewasa.
“CLARA! Lepaskan anakku! Lepaskan!” Keadaan berdiri, gerakan Clark ditahan oleh kedua polisi tadi. Memegang pundaknya cukup kuat.
“Oh, Anakku!” Seorang wanita langsung berlari keluar dari mobil polisi; sekitar satu detik baru tiba dilokasi. Dia Rashel. Menangis lega bisa menggendong putrinya lagi.
“Rashel?” Betapa Clark dibuat terkejut. Pandangan Clark juga melihat sekitar, semua orang di pasar diam menyaksikan penangkapan oleh pihak kepolisian.
“Kau baik-baik saja?” tanya Rashel meraba wajah sang anak, takut ada tindak kekerasan.
“Ma! Papa kenapa?”
“Tenanglah Clara. Sudah Mama bilang, jangan percaya Papa.” Kembali menidurkan Clara pada pundak. Clara terlalu kecil untuk mengetahui apa yang terjadi. Jadi, Rashel menenangkan Clara sebisa mungkin.
“Rashel! Beraninya kau!” Kedua polisi berjalan mendekati Rashel. Mereka akan membawa Clark masuk ke mobil polisi. Tapi, langkah Clark berhenti. Penuh amarah menatap wajah sang istri. –“Dia anakku!”
Mata Rashel pun berkaca-kaca. –“Kau ingin menjauhkan dia dariku. Kau telah menculik anakku!” Kalimat tinggi Rashel tidak berlangsung lama, karena kedua polisi memaksa Clark melanjutkan langkah. Rashel hanya melihat Clark yang dibawa masuk kedalam mobil. Diikuti beberapa mobil yang lebih dulu tancap gas meninggalkan pasar.
“Syukurlah…” Berkali-kali Rashel memberi kecupan kasih sayang kepada Clara.
3 Bulan kemudian. Kantor kepolisian.
“Silahkan…” Bapak polisi membuka sel kurungan, mempersilahkan Clark berbaju orange tahanan berjalan ke tempat adminitrasi. Lalu, sel kembali dikunci. Disana ada dua orang laki-laki ditahan dalam satu sel yang sama.
Ternyata, Clark diminta menemui seseorang. Yaitu istrinya sendiri, sedang duduk berwajah serius menunggu Clark. Maka, Clark bungkam seribu bahasa, dia hanya duduk menunduk. Ada satu polisi menjaga Clark tepat belakang.
“Kenapa? Kenapa kau mengunjungiku?” Wajah Clark kosong.
“Aku telah mencabut tuntutan.” Mengejutkan untuk Clark ketika Rashel berkata sudah mencabut tuntunan.
Sebenarnya, Clark mau bertanya lebih banyak. Tapi, mulutnya keluh. Dia melongo bingung.
“Ya, aku serius.” Dibarengi anggukan dari Rashel.
“Kenapa?”
“Jujur saja. Clara membutuhkan sosok ayah.” Tatapan Rashel berubah sayu.
“Bagaimana denganmu?”
“Aku terlalu egois. Aku sadar, semua bisa berubah. Aku membutuhkanmu. Dirimu yang dulu.” Terucap serius oleh lisan Rashel.
“Maaf…” Mata Clark berkaca-kaca. –“Atas semuanya…” Menjadi cengeng dihadapan wanita. Menangis sesenggukan. Sangat merasa malu.
Rashel melihatnya secara iba. Dia tersenyum tulus. –“Kita akan memulai ini kembali. Kau siap?”
Tanpa jawaban lain selain Clark mengangguk sanggup. –“Aku mencintaimu.”
“Aku mencintamu juga,” lirih Rashel menciptakan blush di pipinya. Dia memegang tangan Clark, tangan keduanya bersentuhan saling menguatkan. –“Besok kau bebas. Aku akan mengajak Clara.”
Wajah Clark merah sembab. Tersenyum senang. Tidak menyangka ada kebaikan dari Tuhan untuknya.
Sesuai keputusan kepolisan, akhirnya Clark dibebaskan dari penjara di pagi hari. Disana, datang Rashel sedang menggendong Clara, datang juga kedua orangtua Clark, ayah dan ibu mertua. Clark pun bersimpuh meminta maaf. Mereka terharu sekaligus telah berdamai. Perjalanan rumah tangga Clark dengan Rashel siap dimulai dalam kesempatan kedua.
Saat perjalanan pulang, tepatnya mencapai waktu siang. Satu keluarga duduk tenang didalam mobil yang dikendarai oleh ayah mertua alias ayah kandung Rashel. Pada kursi paling tengah, Rashel dengan Clark duduk. Mereka mengajak Clara bermain boneka. Sementara kursi paling belakang adalah tempat duduk kedua orangtua Clark. Awalnya, perjalanan berlangsung baik-baik saja. Karena ini adalah sukacita keluarga setelah mengalami keretakan.
Lalu, ponsel Rashel terdapat notifikasi. Diam-diam Rashel membuka isi pesan dari nomor tidak dikenal. Isi chat orang asing itu adalah mengirim beberapa foto ketika Clark tidur bersama wanita lain di sebuah hotel. Mata Rashel terbelalak, dia mendesah dan langsung membungkam mulut; mengejutkan semuanya.
“Ada apa?” tanya Clark bingung.
“Kurang ajar!” Seketika Rashel menampar Clark. Semua pihak melihatnya. Wajah Rashel merengut marah, hampir menangis. –“Kau mengkhianatiku!” Sambil melempar ponsel ke arah Clark.
“Rashel ada apa?” Tanya ibu kandung.
Clark masih terjebak diam. Mulai mengambil ponsel Rashel barusan. Clark tidak percaya bahwa foto-foto saat dirinya bersama Dira tidur dihotel dikirim dari nomor tidak dikenal. –“Ya. Tuhan.” Ekspresi Clark menjadi syok. Dia telah membuat kesalahan paling fatal.
Tamat.
__________________
Penulis: Fathul Mubin
Wattpad akun : FathulMubin22
Email : Mubin5849@gmail.com
Instagram : calon_penulis_aamiin
Facebook : Mubin (Profil vector editor)