Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Setengah Jiwaku Pergi - Fathul Mubin

cerpen setengah jiwaku pergi
“Stevanya, adikku. Aku terbayang-bayang tentangmu. Kakakmu masih menunggumu pulang. Bagaimana kabarmu? Aku harap baik-baik saja. Aku yakin kamu masih hidup. Aku rindu.
Dan kakak akan terus mencarimu.”

-Gress Sinca-

* * *

“Bun, nanti langsung pulang kan?” 

Ini aku. Gress. Anak perempuan bunda Cresylin. Baru menginjak usia 15 tahun. Kalian tahu rasanya gak sih? Jadi anak dari ibu seorang pengacara super sibuk? Seperti sekarang ini, aku duduk di mobil. Di sebelah bunda. Bahkan, ketika lampu merah, perhatian bunda tertuju pada gadget. Aku sebal sebenarnya. Pertanyaanku dijawab anggukan. Bunda enggan menatapku sebentar saja.

Aku berdengkus. Ikut otak-atik ponsel. Semua membosankan. Setelah bunda menjemputku di sekolah, selalu saja seperti ini. Mending aku tetap di sekolah, ketawa-ketawa bersama geng sahabat. Kalau bunda? Mendengar keseruan aktivitas sekolahku saja gak mau. Apalagi ketawa. Papa? Bunda sudah pisah sama papa tiga tahun yang lalu. Rindu sih sama papa. Papa orangnya humoris. 

Aku melamun. Bete membalas pesan chat yang gitu-gitu doang, Menyandarkan kepala pada kaca. Mengamati sekitar. Lampu merah lama sekali sih! Eh! Aku lihat pengamen cilik cantik menghampiri beberapa mobil. Seriusan? Pengamen cantik dan imut itu panas-panasan di jalan? Rambutnya pirang, dikepang indah. Kapan ya bunda mengepang rambutku seperti anak itu? Wah, ia mendekati mobil bunda!

Tok! Tok! Tok!

Anak perempuan itu mengamen menggunakan gitar ukulele pink. Lucunya. Aku mendengarkan nyanyian merdunya. Lagu yang aku suka, Memories – Maroon 5 . Sampai aku lupa kalau ia terus mengetuk kaca mobil arah bunda. Aku menoleh, Kaca mobil sudah bunda buka. Tampak bunda semringah, menyentuh pipi anak cantik itu. Aku iri.

Baca Juga : [Cerpen] Hamka dan Goresan Hati - Nurul Afifah

“Anak manis. Siapa namamu?” tanya bunda lemah lembut. Mengusap rambut pirangnya. Kalau aku pikir-pikir… anak pengamen itu memiliki warna rambut yang sama dengan bunda. Aku baru sadar.

“Stevanya.”

Nama pengamen cantik itu Stevanya. Nama yang nyentrik dan keren. Dari mana ia? Siapa yang menyuruhnya mengamen? Ia menatapku dengan bola mata berkilap. Pupil mata biru.

“Nama yang cantik. Seperti kamu. Nih, saya kasih seratus ribu ya. Mana teman-teman kamu?” Bunda perhatian sekali.

Stevanya geleng-geleng. Bunda terdiam maklum. Kata bunda, “Kamu tinggal di mana?”

Lama sekali Stevanya terdiam. Terus memainkan gulungan uang seratus ribu. Ia tidak tahu betapa berharganya mendapatkan uang sebesar itu. Aku aja cuman dikasih uang jajan tiga puluh lima ribu. Bunda pilih kasih! Kemudian Stevanya menunjuk seberang jalan. Aku dan bunda mencari tempat itu. Tidak ada apa-apa. Hanya toko-toko baju. “Di panti asuhan ujung jalan sana tante. Jangan ke sana tante. Orangnya galak.” Stevanya baru menjawab.

“Oh ya? Masa galak?” Malah bunda semakin tertarik.

“Iya tante. Terima kasih tante!” Senyum lebar Stevanya mengembang indah. Anak yang malang.

Respon bunda tersenyum. Aku bisa melihat tatapan iba dari bunda. Usai mengusap rambut Stevanya. Bunda siap-siap menginjak gas. Lampu merah selesai. Seluruh mobil melaju. Aku melihat anak itu lari kecil ke tiang rambu lalu lintas.

Baca Juga : [Cerpen] Bakwan Kawi - Amelisa Suci Pernamawati

* * *

Esoknya. Seperti biasa, bunda menjemputku dari sekolah. Aku bersikap tak acuh. Hanya saja, ada yang aneh. Kenapa bunda lewat jalan baru? Masuk wilayah pasar. Pemandangan pasar yang ramai. Aku bergidik ngeri. Di sana kotor.

“Ke mana bun?” Kuputuskan bertanya. Sebenarnya gak mau ngomong apapun. Ya sudahlah.

“Ke panti asuhan Citra Melati,” jawab bunda menoleh sesekali. Fokus menyetir.

“Kenapa bun? Aku mau dibawa ke panti asuhan? Bunda jahat!” sergahku ingin menangis.

“Hush! Sembarangan. Bunda mau adopsi anak pengamen kemarin. Siapa namanya?” Kedua mata bunda mengerjap-ngerjap. Mengingat anak cantik kemarin.

“Stevanya.” Aku menjawab jengkel.

“Ya Stevanya. Supaya kamu gak sendirian di rumah. Punya adik perempuan. Bunda udah ngorek informasinya dari teman kerja bunda. Umur Stevanya delapan tahun. Kedua orang tuanya meninggal karena tragedi kecelakaan beberapa tahun yang lalu,” jelas bunda santai.

Kedua tanganku bersedekap. Bibir manyun menahan marah. Adik baru? Bunda lebih sayang Stevanya? Pengamen kebetulan cantik itu? Ini bukan mimpi kan? Aku cubit pipiku. Auh! Sakit.

Kami sampai di lokasi panti asuhan yang gak layak menampung anak-anak. Benar kata Stevanya, pemilik panti asuhan itu galak. Wanita seumuran bunda dengan tirus muka tajam. Mau-mau saja melepaskan Stevanya. Asalkan bunda memberikan uang lebih. Bunda menyetujuinya juga menandatangi berkas. Aku duduk di sofa ruang tengah. Beberapa menit lamanya menunggu bunda. Lalu, anak rambut pirang itu muncul. Bersama bunda! Merebut perhatian bunda dariku! Aku dengki melihatnya. Stevanya tersenyum. Aku balas muka judes supaya ia takut.

Selesai urusan dari panti. Kami melanjutkan perjalanan. Aku kegerahan. Huh! Bisa-bisanya bunda memintaku duduk di belakang agar bisa akrab dengan Stevanya. Aku gak tertarik bicara dengannya. Tapi, aku selalu gak tahan melihat paras cantiknya.

“Gress Sinca.” Terpaksa aku bersalaman dengannya karena desakan bunda.

“Stevanya,” jawab Stevanya balas bersalaman. Aku lekas tarik tangan. Tangan pengemis pasti kotor. Kemudian Stevanya menunduk dan asyik melihat kaca. Hari ini hujan rintik. Stevanya suka melihat bulir air dibalik kaca mobil.

“Stevanya. Mulai sekarang panggil tante dengan bunda ya!” seru bunda menatap Stevanya dari kaca gantung depan.

“Iya tante. Eh, bunda!” Meringis senang.

Baca Juga : [Cerpen] Tegalsari - Sega Dwi Ayu Pradista

* * *

Rumah bunda Cresylin. Kami bertiga masuk rumah. Stevanya terpukau melihat kemegahan interior ruang demi ruang. Aku kira bunda akan memisahkan kamar antara aku dengan Stevanya. Ternyata bunda ngotot ingin Stevanya satu kamar denganku. Astaga. Akan merepotkan.

Hari demi hari berlalu. Rupanya aku tidak semakin akrab dengan Stevanya. Setiap bunda pergi keluar setelah mengantarkanku pulang ke rumah bersama Stevanya, pasti ada saja ulah jahil Stevanya yang merusak barang-barang pribadiku. Mencoret kaca dengan spidol, merampas boneka beruang, memintaku membaca buku dongeng, menumpahkan gelas minuman, mencuci bajunya, dan sering menangis tengah malam. Anak aneh. Aku sudah mengadukan perilaku usil adik angkatku itu kepada bunda. Tapi… percuma! Bunda semakin sayang dengan Stevanya! Membelikannya pakaian overall mahal, bando merah, mengepang rambutnya, mengajarinya main piano, dan bermain boneka dengannya. Aku diduakan!

Sore ini. Bunda pergi lagi. Ada urusan klien katanya. Tablet yang aku minta, belum bunda belikan. Sedangkan, bunda selalu ingat apa yang Stevanya inginkan.

Baca Juga : [Cerpen] Melankolis - Anwari Andeng

Entahlah, aku sedih sekali.. Air mataku tumpah ketika aku bermain ayunan seorang diri di halaman belakang. Menangis sesenggukan. Kurasa aku sudah menangis terlalu lama? Rasanya lelah. Kemudian, dorongan ayunan berhenti paksa. Aku menoleh belakang, melihat Stevanya di sana. Ia selalu tampil cantik. Rambut pirangnya bagai cahaya. Berkilau indah.

“Kakak kenapa? Main yuk!” ajak Stevanya.

Aku geleng-geleng. Terketuk sesuatu. Kenapa aku iri dengan adikku sendiri? Kakak macam apa diriku ini? Lemah sekali! Kecantikan Stevanya mengobatiku. Ternyata Stevanya dapat membuatku tersenyum manis. Selama ini aku hanya bisa membentak Stevanya tanpa bunda ketahui. Padahal Stevanya sudah hidup tanpa orang tua. Mendengarnya memanggilku kakak, aku mulai merasa memiliki saudara.

Akhirnya aku mengangguk. Mengajak Stevanya bermain jungkat-jungkit di halaman belakang. Kami ketawa puas. Ya… Meski tetap saja Stevanya jahil. Seperti mencoret tugas gambarku. Untungnya, aku mulai berlatih menerima keadaan. Mengajari Stevanya bermain drum dan bola basket supaya ia tinggi sepertiku.

Minggu pagi. Bunda pamit kerja. Memintaku menjaga rumah, tentu menjaga Stevanya sebagai kakak. Karena ini hari minggu, aku habiskan menonton drama korea. Bersama Stevanya. Semua baik-baik saja. Menyenangkan. Kemudian, Stevanya turun dari kasur. Tidak sengaja menginjak laptoku di bawah lantai sampai patah dua bagian. Aku syok! Sangat marah.

“STEVANYA! DASAR ANAK PENGEMIS JAHIL! LAPTOP KAKAK RUSAK!” bentakku menggebu-gebu. Stevanya cemberut sedih. Aku semakin marah dan segera menariknya keluar. Mengusirnya dari rumah. Setelah itu, aku enggan peduli tentang Stevanya. Aku menangis di kasur kamar. Begitu kering air mata, aku menyadari kesalahanku. Menyesal.

“Steva?” panggilku lirih sambil membuka pintu. Tidak ada Stevanya. Ke mana ia? Aku terus berkeliling sekitar rumah dan kompleks perumahan demi mencarinya. Sampai petang hari, Stevanya belum pulang. Bahkan, sekarang hujan deras. Kemudian bunda pulang, aku menjelaskan semuanya kepada bunda termasuk penyesalanku. Bunda memintaku tenang. Sejak saat itu, hari-hariku terus memikirkan Stevanya. Bunda pun demikian. Poster anak hilang atas nama Stevanya disebar. Polisi belum menemukannya. Beberapa tahun lamanya tidak ketemu. Sampai aku sudah berusia 25 tahun. Ini penyesalan terbesarku. Mungkin aku harus merelakan Stevanya pergi? Apakah Stevanya masih hidup?

Tamat.

Baca Juga : [Cerpen] Selembar Kertas - Amelia Anggi
_____________________
Penulis: Fathul Mubin
Wattpad akun : FathulMubin22
Email : Mubin5849@gmail.com
Instagram : calon_penulis_aamiin
Facebook : Mubin (Profil vector editor)

Baca Cerpen lebih banyak 👉👉👉

Diberdayakan oleh Blogger.