Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Hari Raya Di Kampung Halaman - Jean

Cerpen Hari Raya Di Kampung Halaman

[Cerita Pendek] Hari Raya Di Kampung Halaman

Penulis : Jean

Lebaran kali ini Jihan Lavina Denada atau kerap disapa Jihan masih tidak dapat pulang kampung, ini merupakan tahun kedua dirinya lebaran bersama teman di kostannya. Demi menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter kelak untuk membahagiakan kedua orangtuanya, Jihan rela berpisah dengan keluarganya yang ada di kampung halaman, di Garut Jawa Barat. Tapi Jihan masih terus berharap semoga ada rejeki agar dirinya bisa pulang kampung. 

Tiga hari lagi puasa akan segera berakhir, namun masih belum ada tanda-tanda bahwa Jihan dapat pulang kampung. Sedikit informasi, Jihan berkuliah di Malang karena mendapat beasiswa, itu merupakan kesempatan emas yang dirinya dapatkan. Seutas tali rindu yang Jihan rasakan kepada keluarganya benar-benar tidak tertahankan, biasanya di hari lebaran Jihan selalu memakan opor buatan Ayu, mamanya. 

Hujan membasahi kota Malang cukup deras malam ini, Jihan memandang ke arah jalanan melalui jendel kamarnya, dengan kedua matanya yang terpejam dia memanjatkan doa-doa untuk keluarganya di kampung. Tiba-tiba kedengaran suara ketukan pintu menandakan ada tamu, Jihan segera berjalan membukakan pintu. Tampak sosok Nayla teman akrab Jihan di kampus membawakan dua buah tiket kereta. 

“Ji! Ayo masuk dulu, gue bawa kabar bahagia!” pekik Nayla kegirangan. 

Jihan mengerutkan keningnya. “Eh bentar dulu, ada apa? Jangan buat gue deg-degan woy lah!” 

“Tenang aja, ini kabar bahagia pastinya lo seneng sih kalo tahu,” jelas Nayla. 

Jihan membelalakkan kedua matanya seketika saat melihat dua buah tiket kereta yang diberikan oleh Nayla. Jujur Jihan masih belum mengerti apa maksud Nayla memberikan tiket tersebut kepada dirinya. Jihan menaruh kedua tiket itu di atas kasurnya, wajahnya berubah menjadi sedih. Dia masih belum tahu bahwa salah satu di antara kedua tiket tersebut merupakan tiket untuknya, Nayla tersenyum melihatnya. 

“Kenapa sedih? Itu tiket buat kita berdua, mau pulang ke Garut ‘kan?” tanya Nayla. 

“Jangan bercanda lo, Nay. Dapet dari mana tiket itu?” Jihan menatap Nayla penuh selidik. 

Nayla tersenyum bahagia, “Gue yang beliin, kebetulan gue ada sedikit tabungan lumayan bisa kita pake pulang kampung,” jawabnya. 

“I-ini beneran? Ah tapi gue ga enak sama lo, gue jadi ngerepotin lo terus,” ungkap Jihan. 

“Jangan ngomong gitu, lo ga ngerepotin gue sama sekali. Kemas-kemas ya, Ji. Besok pagi kita berangkat,” pesan Nayla. 

Air mata Jihan tak dapat ditahan lagi, rindu yang selama ini dia tahan akhirnya bisa dilepaskan juga dengan kembali bertemu bersama keluarganya, terutama mama dan papanya yang selalu menanyakan kapan dirinya pulang. Setelah memberikan satu tiket kepada Jihan, Nayla segera pulang. Jihan tidak memberitahukan kabar tentang kepulangan dirinya, biarkan saja semua itu menjadi kejutan. 

Keesokan harinya, Jihan dan Nayla bertemu kembali di rumah Jihan. Mereka berdua sudah siap dengan barang bawaan masing-masing dan sudah yakin tidak ada yang tertinggal. Jihan bersyukur mempunyai teman sebaik Nayla, kebaikan Nayla tidak dapat Jihan balas sekarang ini. Namun Jihan berjanji semua kebaikan temannya itu akan dia gantikan berlipat ganda, Nayla pun layak mendapatkan itu. 

“Makasih banyak ya, Nay. Gue ga tahu harus bilang apa sama lo selain terima kasih, gue udah ga sabar banget ketemu keluarga gue,” ucap Jihan. “Tenang ya, Nay. Nanti biaya pulang kampung itu bakal gue gantiin kalo ada rejeki,” lanjutnya. 

“Ih apa deh kayak sama siapa aja lo, ga perlu diganti. Anggap gue kayak sodara lo sendiri ya? Jangan canggung sama gue,” pinta Nayla. 

Jihan menganggukkan kepalanya pelan kemudian memeluk Nayla. “Makasih banyak Nay, lo terbaik. Temen gue yang paling baik di sini, makasih sekali lagi Nay.” 

“Iya sama-sama, Ji. Udah ah jangan sedih, ayo berangkat biar cepet sampai,” bujuk Nayla. 

Jihan melepaskan pelukannya dari tubuh Nayla, keduanya saling melontarkan senyuman setelah itu mereka berangkat menuju stasiun kereta api, menunggu kereta api bagian mereka berangkat.

Baca Juga : [Cerpen] Aku, Kamu dan Lift RS - M. Yunus

***

“Assalamualaikum!” salam Jihan. 

Ayu dan Galih kaget melihat kedatangan anak bungsunya yang sudah cukup lama tidak bertemu dengan mereka. Ayu yang sedang memasak seketika melupakan masakannya, begitu juga dengan Galih yang sedang memperbaiki motornya seketika lupa dengan kegiatan yang dilakukannya. Kedua orangtua yang sudah sangat rindu dengan buah hati mereka menyambut kedatangan Jihan dengan bahagia. 

Jihan memeluk Ayu dan Galih berbarengan, mereka bertiga sama-sama menumpahkan tangisan dalam pelukan erat itu. Di hari raya ini Jihan bisa menikmati kembali opor ayam buatan Ayu, dan jangan lupa kue nastar buatan kakak perempuannya, Jasmine. Tak lama kemudian dari dalam rumah bercat hijau tersebut tampak seorang lelaki dengan wajah khas bangun tidurnya, Jefan namanya. Kakak laki-laki Jihan yang sudah lama tidak menjahili adiknya.

Baca Juga : [Cerpen] Kebahagiaan Yang Tertunda - Cresensia Aprilia

“Woy! Kak Jas! Sini woy, bocil balik!” teriak Jefan. 

Jasmine yang sedang bersantai di dalam rumah karena sudah libur bekerja, memelototkan matanya seketika. Masker kunyit yang dipakainya hampir saja retak jika dia tidak bisa menahan senyumannya. Sebelum memastikan bahwa Jihan benar-benar pulang kampung, Jasmine mencuci mukanya terlebih dahulu. Ternyata benar, adik kecilnya di hari raya nanti dapat berkumpul bersamanya kembali. 

“Wah! Ade aku balik woy lah! Cil sumpah dah aku kangen sama kamu!” Jasmine menarik Jihan ke dalam pelukannya. 

Jefan ikut merentangkan tangannya kemudian memeluk Jihan bersama Jasmine, “Kangen bat dah kita sama kamu, cil. Ayo dah masuk dulu kita cerita-cerita di dalam!” ajaknya. 

“Aku juga seneng banget akhirnya bisa kumpul sama kalian semua lagi.” Jihan menatap rumah masa kecilnya, tidak ada yang berubah. 

“Iya masuk dulu aja ya nak, biar adem juga. Di sini panas nanti haus, mana kita lagi puasa juga,” ucap Ayu.

Baca Juga : [Cerpen] Aku, Gadis Penuh Luka - Zakia

Pemandangan ini akhirnya dapat kembali Jihan lihat, dia berkumpul di ruang tamu yang berukuran tidak terlalu besar, dengan cat tembok berwarna kuning. Duduk bersama kedua orangtuanya dan kedua kakaknya. Galih duduk bersebelahan dengan Jihan, tangannya tidak bisa diam sejak tadi mengusap kepala anak bungsunya. Di dalam hatinya Galih banyak mengucapkan maaf sebab belum bisa memenuhi semua kebutuhan Jihan. 

“Gimana kuliahnya Ji?” tanya Galih. 

“Lancar pa, doain ya aku juga sebentar lagi udah mau magang. Supaya nanti di akhir skripsian aku lancar,” pinta Jihan. 

“Ga kerasa ya, sebentar lagi kamu magang. Abis itu buat skripsi, terus lulus. Mama mau banget kamu jadi dokter nanti,” harap Ayu. 

Jasmine tersenyum mendengar jawaban Jihan. “Kerja yang bener nanti ya cil, jangan kayak kakak nih kerja ga seberapa gajinya. Tapi seenggaknya bisa lah bantu mama sama papa dikit-dikit.” 

“Tapi kalo udah sukses, jangan jadi kacang lupa kulit ye,” timpal Jefan. 

“Aku mana bisa kayak gitu kak Jef, kak Jas. Aku ga akan bisa kayak gini kalo ga ada mama sama papa, mereka yang selalu dukung aku buat ambil beasiswa waktu itu,” jelas Jihan.

Baca Juga : [Cerpen] Menjaga Hati Untuk Yang Tak Diridhoi - Siti Nurmaisah Nasution

***

Tibalah hari raya idul fitri yang dinantikan oleh seluruh umat muslim di dunia, Jihan bersama keluarganya melaksanakan sholat idul fitri terlebih dahulu sebelum mereka berkeliling ke rumah keluarga mereka, juga tetangga sekitar mereka untuk halal bihalal. Sholat idul fitri dilaksanakan dengan khusyu oleh para jemaah hingga selesai. Setelah melaksanakan sholat tersebut, Jihan bersama keluarganya berfoto di depan masjid. 

Kata maaf Jihan hanturkan kepada kedua orangtuanya dan kedua kakaknya, mereka saling meminta maaf atas semua kesalahan yang sudah dilakukan selama ini. Jihan menangis tersedu-sedu ketika sedang meminta maaf kepada Ayu maupun Galih, banyak kesalahan yang sudah dia lakukan. Belum bisa menjadi anak yang membanggakan, Jihan memeluk kedua orangtuanya erat melepaskan semua rasa rindunya, begitu banyak rasa rindunya. 

Selesai bermaaf-maafan, kini Jihan menyantap opor buatan Ayu. Rasa itu tidak ada yang berubah, masih sama seperti dulu. Di meja depan juga terdapat beberapa kue kerng buatan Jasmine kemarin, Jihan menyantapnya dengan santai. Waktu ini hanya terjadi satu tahun sekali, Jihan tidak peduli dengan komentar yang diberikan oleh Jefan ataupun Jasmine, kapan lagi dia bisa seperti sekarang ini. 

“Makan mulu cil, bagi-bagi dong,” komentar Jefan. 

“Tinggal ambil aja kak, apa susahnya si?” jawab Jihan. 

Ayu menatap anak-anaknya yang sedang berkumpul di ruang tamu dengan bahagia, senyumnya sejak pagi tak luntur. 

“Gimana rasanya nak? Hari raya tahun ini bisa kamu rayakan bersama keluarga di kampung halaman, senang bukan?” tanya Ayu. 

Jihan mengangguk cepat, “Enak sih ma, tapi gimana. Aku tetep aja sedih karena di sini cuma satu minggu, setelah itu aku harus balik lagi ke Malang,” ungkapnya. 

“Jangan sedih anak papa, semangat. Tahun depan papa yakin kita bisa kumpul kayak gini lagi, lebaran tahun depan kamu ga akan sendiri, oke?” nasehat Galih.

“Semoga ada rejeki ya, pa? Ma? Doain supaya aku cepet lulus, aku janji kalo aku udah jadi dokter dan punya penghasilan lebih aku bakal bawa kalian ke Malang.” Jihan menatap kedua orangtuanya bergantian. 

Jasmine mencubit pipi Jihan gemas. “Cukup sedihnya, lanjut makan biar kenyang. Nanti di Malang inget deh gimana lebaran di sini, dijamin si kamu bakal senyum-senyum sendiri.” 

Terima kasih ya Allah, aku masih bisa merayakan lebaran bersama keluarga. Sampai bertemu lebaran berikutnya, batin Jihan.

Diberdayakan oleh Blogger.