Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Lari, Pa! - Fifa Lana S

edit by canva

Tama melihat ke jalanan yang lengang. Sisa rintik hujan membasahi kacamata tebal yang bertengger di hidungnya. Sore ini dia harus mengantar berkas milik papanya yang tertinggal. Remaja tanggung itu gelisah, melihat ke arah jam di tangan berkali-kali.

Ponsel yang berada di saku celana, bergetar tiba-tiba dan membuatnya terlonjak kaget. Dengan gugup dia mengangkat panggilan yang terus berdering. Sebuah nama tertera, itu nomor papanya. Tama segera menempelkan ponsel ke daun telinga.

"I-iya, iya, Papa?" jawab Tama gugup.

"Dasar anak bodoh! Cepat kemari, kenapa belum sampai juga? Kan Papa bilang, berkas itu penting! Kalau saja berkas itu tidak tertinggal di meja makan pagi tadi, Papa takkan membutuhkan bantuanmu!" Teriakan papanya dari seberang membuat Tama agak menjauhkan ponsel dari telinga. Lalu sudah, sambungan telepon ditutup begitu saja.

Tama menghela napas kuat-kuat. Lantas bergegas mencari alternatif tranportasi di luar perumahannya. Hujan deras kembali jatuh, mengiringi perjalanannya ke kantor sang papa. Semua itu takkan terjadi jika ojek online yang diordernya segera tiba. Nyatanya, ojek itu justru tidak datang, itulah penyebab dia terlambat datang.

Sandikala perlahan turun, membuat cuaca semakin gelap dengan semburat merah di ujung langit. Tama telah mengantarkan berkas yang diminta papanya. Bukan ucapan terima kasih yang didapatkan, malah omelan dan makian yang menyakitkan hati harus didengarnya.

Tama berjalan tertunduk setelah turun dari angkot. Dia menyusuri gerimis menuju arah pulang. Hatinya lelah, tubuhnya juga terasa penat.

Tama merasa hidupnya tidak berguna, sang papa tidak pernah menghargai apa yang sudah dilakukannya. Terkadang dia merindukan mamanya yang telah tiada. Mama sangat baik dan menyanyanginya.

Ciittt!

Tama terkejut dan terduduk di aspal yang basah ketika sebuah mobil berhenti mendadak di depannya. Rupanya dia menyeberang jalan tanpa melihat ke sekitar sehingga hampir saja tertabrak.

Tama terbelalak melihat seorang wanita yang turun dari mobil itu ... wanita yang sangat mirip dengan mamanya.

"K-au tak apa-apa, Nak?" tanya wanita itu, kemudian memeriksa keadaan Tama yang masih terpaku di tempat.

Tama terpana dengan kedatangan sosok wanita yang sangat dirindukannya itu. 

"Mama!!!" pekiknya gembira seraya memeluk wanita di hadapannya itu.

Wanita itu seketika membeku. Dia tidak mengenal remaja di hadapannya itu. Bagaimana bisa dia dipanggil mama sedangkan menikah saja belum? Namun, remaja itu terus memeluknya erat seraya menangis pilu.

"Mama, kemana aja, Ma? Tama rindu!" ujar Tama sesenggukan. Dia tak peduli jika dia dianggap cengeng karena dia merasa itu adalah mamanya. Dia berhak menangis seperti itu di pelukan mamanya, bukan?

"Em, maaf, dek. Tolong, lepaskan saya. Kayaknya adek salah orang," ucap wanita asing itu seraya melerai pelukan Tama. 

Dia lalu mundur dan merentang jarak. "Apa adek  kesasar atau sedang sakit? Ayo, saya antar pulang. Pasti keluargamu khawatir." Wanita itu memutari sisi mobil lalu meminta Tama yang berdiri kebingungan untuk masuk ke dalam mobil.

"Maksudnya apa? Bukan mama? Lalu, siapa? Mama dimana? Mama!!" seru Tama histeris. Dia menggebrak kap mobil wanita asing itu, sehingga membuat pemiliknya terbeliak ketakutan dan buru-buru masuk ke mobil.

"Hei, tenanglah ... tolong, berhenti!" seru wanita itu dari balik kemudi. Dia segera menyalakan mobil dan hendak kabur dari tempat itu. Situasi menjadi tak terkendali, Tama berlari ke sisi jendelanya dan semakin histeris juga berteriak mengejar wanita itu.

Sementara, wanita asing itu dengan tangan bergetar berusaha memundurkan mobil dari jangkauan Tama. Dan ... berhasil! Dia membuat Tama hampir terseret saat dengan kecepatan penuh dia melajukan mobilnya dan meninggalkan deru suara gas yang ditekan dalam-dalam.

Tama mengejar mobil wanita asing itu dan berteriak memanggil mamanya. Ya, ya, dia ingat, hari itu Mama bertengkar hebat dengan Papa. Mama bergegas pergi dan melajukan mobilnya kencang sekali. Kemudian, di dekat portal sana, mamanya menabrak pohon besar di situ dengan sangat keras. Setelahnya, Mama tak pernah kembali lagi. Mama telah pergi di hari hujan persis seperti hari ini, enam tahun silam. Tama menangis sedih,"Mama, Tama rindu, Ma ...."

Dengan amarah yang menggelegak di dada, Tama menghapus air matanya. 

"Ini semua gara-gara Papa. Papa harus bertanggung-jawab!" Tangannya terkepal erat.

Tama melepas kacamatanya yang buram oleh titik air hujan dan sisa air mata. Dia berjalan menyusuri jalan dan kembali melanjutkan langkah kembali ke rumah. Wajahnya masih mengeras, penuh amarah. 

Baca Juga : [Cerpen] Gadis Pemilik Sejuta Mimpi - Lya

***

"Tuan, Mas Tama tadi pulangnya kehujanan. Sekarang, dia sedang demam. Dari tadi mengigau memanggil mamanya terus," adu Bu Siti–asisten rumah tangga di keluarga Tama–begitu membuka pintu.

Ario menghela napas, raut wajahnya sangat khawatir. Dia meletakkan jasnya di sofa lalu bergegas naik ke kamar Tama yang berada di lantai dua. Pintu kamar anaknya itu terbuka, Tama tergolek di ranjang menghadap pintu. Ario masuk dan memeriksa keadaan anak semata wayangnya itu.

Sungguh Ario menyesal, akhir-akhir ini dia bersikap berlebihan pada Tama karena tekanan pekerjaan. Dia menyentuh dahi Tama yang berkeringat. Suhu tubuh anaknya itu sangat tinggi. "Maafkan Papa, ya, akhir-akhir ini Papa bersikap kasar padamu," gumamnya seraya mengusap pergelangan tangan Tama.

Tiba-tiba Tama membuka mata, membuat Ario kaget. "Maaf, Papa jadi membangunkanmu, bagaimana keadaanmu, Nak?" tanyanya perhatian.

"Pa ... aku kangen Mama," sahut Tama lemah. Bibirnya bergetar, tetapi matanya berkilat-kilat, menyimpan amarah yang harus dilampiaskan.

Ario berpaling muka, lalu memeras sebuah saputangan dari baskom berisi air hangat. Dia menempelkan kain hangat itu di dahi Tama dengan penuh kasih sayang. "Tama, cepat sembuh, ya. Mamamu pastinya tidak ingin kamu sakit, kan? Jangan terlalu banyak berpikkr, Nak," jawab Ario lirih.

Ario menatap Tama lama sekali, ada secubit duka di hatinya melihat ke wajah anaknya itu yang sangat mirip dengan mamanya.

Baca Juga : [Cerpen] Gadis Rambut Pirang - Fathul Mubin

Tama menatap papanya tak berkedip. Lelaki itu hendak membenahi sapu tangan di dahinya ketika tiba-tiba Tama nekat bangun dan berteriak histeris. Tangannya menyelusup ke bawah bantal, dan menarik sebua pisau besar yang berkilat diterpa lampu kamar.

"Pa, lari, Pa!" jerit Tama seraya menghunus pisau langsung ke perut Ario yang tidak siap. Ario refleks menghindar, dia menjatuhkan tubuh ke lantai. Pisau Tama hanya mengoyak tepi ranjang.

Ario terbelalak dan berusaha bangkit, di saat yang sama dia sibuk menghindari serangan Tama yang segera menyerangnya lagi.

"Tama, apa-apaan kamu? Hentikan! Kau bisa membvnuvh Papa! Tama, stopp!"

Ario berteriak panik dan mati-matian menahan hujaman Tama yang membabi-buta. Lengannya tergores, demikian juga pahanya, membuat Ario mengaduh seraya menyeret tubuhnya mundur.

"Gara-gara Papa, mamaku ma ti! Sekarang giliran Papa, Tama benci Papa!" jerit Tama kalap. Dia menyerang Ario yang gelagapan berusaha menyelamatkan diri.

Bu Siti yang berada di dapur, terkejut mendengar teriakan riuh dari kamar Tama. Dia bergegas naik, dan terkejut mendapati Tama sedang menyerang papanya yang sibuk menghindari serangan. Bu Siti mengangkat sebuah bangku di dekatnya dan sekuat tenaga dia melemparkan bangku tersebut ke punggung Tama.

Braaakk! 

Tama roboh, pisaunya terpelanting. Dia kalap melihat Bu Siti yang berdiri ketakutan. Gegas Tama bangun dan berbalik menyerang wanita separuh baya itu. Namun, Ario lebih dulu tanggap. Dia memukul tengkuk Tama dengan keras, sehingga anaknya kembali roboh. Pingsan.

Ario mendelosor di lantai dan mendekati Tama yang pingsan. Dia meletakkannya kepala anaknya di pangkuan, dan menangis tergugu. Dia memeluk Tama sepenuh hati, seraya berbisik maaf berkali-kali.

Bu Siti ikut menangis dan menyesalkan kejadian itu. Lalu, dia keluar kamar dan mengambil kotak obat.

Ario merasa bersalah karena pertengkaran itu membuat Tama kehilangan mamanya selamanya. Sebuah kebenaran yang disembunyikan Ario sejak enam tahun silam, mungkin sudah waktunya diungkap.

Dulu, Tama terlalu kecil untuk memahami semua yang terjadi, hingga Ario memutuskan menyembunyikan kebenaran di balik alasan mendiang istrinya yang memutuskan pergi malam itu. Sayangnya, Tama melihat langsung kejadian dimana Mamanya meninggal di tempat, usai menabrak pohon setelah melaju dengan kecepatan tinggi malam itu.

Baca Juga : [Cerpen] Setengah Jiwaku pergi - Fathul Mubin

Tama mengalami trauma dan menjadi pribadi yang tertutup dan sangat pendiam. Namun, dibalik semua sikapnya yang tertutup itu, rupanya Tama masih belum bisa menerima sepenuhnya kejadian enam tahun silam. Dia hanya tahu mamanya pergi dalam keadaan marah setelah bertengkar dengan sang papa.

Kebenaran yang Ario sembunyikan suatu saat nanti memang harus dibuka, tetapi harus menunggu hingga Tama sudah siap. Kini, Ario tahu, sikap Tama yang agresif barusan bisa menjadi akar masalah baru apabila tidak segera ditangani secara benar. Dia tidak ingin menjadi pengkhianat kepercayaan bagi Tama, seperti yang sudah dilakukan mendiang mamanya Tama kepada dirinya. Pengkhianatan pada ikatan cinta mereka.

Diberdayakan oleh Blogger.