Australia. Tidak
masalah menghapus pengetahuan umum tentang negeri kanguru. Hewan bertelinga
panjang dan suka melompat itu marak ditemukan di sana. Tidak hanya
mengenal satwanya, perluas lagi rasa
penasaran yang menggantung di langit-langit pembicaraan, ευκάλυπτος (Bahasa
Yunani - tertutupi dengan baik) adalah sejenis pohon Eukaliptus dari Australia. Ada
lebih dari 700 spesies Eukaliptus. Kulit pohon tinggi besar itu bak
noda-noda cat yang dihias oleh anak-anak. Goresan warna indah, mengingatkan
semua orang pada pelangi selepas hujan. Hutan nan jauh. Hati-hati dengan
keindahannya ….
Malam hari
menyelimuti bentang langit. Bintang-bintang terhempas ke setiap arah mata
angin. Indah, membekukan pancaindra. Karena sudah gelap, waktunya Mr. Lumber
Jack pulang. Ia menarik gerobak reot di belakangnya. Sedikit kepayahan. Gerutu
serta rapat giginya yang hampir terhalang jenggot cokelat kemerahan lebat,
mengeluhkan napas jengah.
Bulir keringat dihapus oleh punggung tangan. Laki-laki yang sedang menderek tumpukan ranting kayu Eukaliptus itu memutuskan berhenti berjalan. Terlihat jalan setapak samar dengan beberapa tanda ikatan tali pada setiap ranting daun. Di samping sabuk celana kulitnya, diletakkan alat sejenis kapak. Menebang pohon adalah aktivitas sehari-hari Mr. Lumber Jack.
Baca Juga : (Cerpen) Kebahagiaan Yang Tertunda - Cresensia Aprilia
Sesuatu terjadi! Mr.
Lumber Jack melihat perbedaan warna langit tepat arah Barat. Aura merah
membara, benar-benar menggambarkan pesona bunga mawar. “Apa itu?” tanyanya
dengan kerut dahi semakin dalam.
"Kebakaran hutan?”
Tidak biasanya bagi
Mr. Lumber Jack menyaksikan fenomena hutan terbakar. Mustahil penebang liar
membakar hutan sembarangan, sedangkan ia salah satu penebang pilihan
pemerintah. Tidak ada penebang lain sejauh ini. Ketika pandangan menengadah
langit malam, awan mendung bahkan tidak menyertai. “Mungkin karena sambaran
petir.” Jawaban batin yang bahkan ‘meragukan’ sang penebang pohon barusan.
Terpaksa Mr. Lumber
Jack mengikuti jalan pulang. Setidaknya opsi terbaik daripada tertelan
mentah-mentah perkiraan kebakaran yang belum tentu benar. Mengingat usianya
memasuki pertengahan, kadang Mr. Lumber Jack mengira dirinya sedang halusinasi.
Pengaruh lelah.
Di tengah jalan, si
pria kapak dihadang sekumpulan rubah merah. Berbekal kapal tajam miliknya, ia
berhasil mengusir binatang sejuta mitologi tersebut. “Selalu saja. Rubah-rubah
sialan!” keluhnya sambil memastikan tak satupun rubah tertarik mengikutinya.
Perjalanan berlangsung aman serta utuh. Usai meletakkan gerobak, barulah Mr.
Lumber Jack masuk ke dalam rumah panggung kayu. Lampu minyak sempat padam. Tanpa
repot-repot mengomel, laki-laki itu menyalakan sendiri menggunakan korek gas. “Mita,
jangan buat aku marah hari ini.” Sambil mendengkus sabar. Langkahnya terdengar
ramah begitu memijak anak tangga.
Lampu minyak di
dalam kamar untungnya masih menyala. Suasana kamar cukup sempit dan usang.
Mirip loteng satu jendela. Perabotan piring menjadi penghias tak berarti.
Kecuali, ketiadaan seseorang di sana. Mr. Lumber Jack menemukan sepucuk surat
basah. Pesan singkat dari Mita yang mengutarakan kejengkelannya pada sang suami
serta Erin, anak gadisnya. “Siapa yang peduli kalau kau tidur di dapur.
Enyahlah!” Membuang surat memuakkan baginya. Pintu kamar ia tutup, waktunya
istirahat panjang. Tangan serta kaki diregangkan, sekarang Mr. Lumber Jack
tertutup selimut kasar. Mata terpejam pelan.
Baru aja menutup
mata, tiba-tiba hujan deras mengguyur hutan. Suara tetes air serta bau khas
aroma alam yang disemai hujan mengurung niat Mr. Lumber Jack untuk tidur.
Pandangannya menjadi bulat tatkala tertuju jendela. Ekspresi yang
mempertanyakan ada hal aneh apa di luar sana. “Stevaaa ….” Terdengar bisikan
misterius. Mr. Lumber Jack berusaha abai. Semakin larut, makhluk-makhluk halus
yang kurang ia percayai selalu menghantui. “Steva, siapa?” batinnya tanpa sadar
terserang kantuk mendadak.
Baca juga: [Cerpen] Senandita-Amelia Sholehah
* * *
Pagi-pagi buta, Mr Lumber Jack bangun
karena mimpi buruk. Terngiang bisikan “Steva” semalam. Membuatnya segera
mencuci muka, apalagi jam dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Jam terbaik
mengambil manfaat kulit pohon Eukaliptus. Terutama ranting serta batang
pohonnya. Tanpa mempedulikan menengok Mita, sekalipun ingin. Apa boleh buat? Ia
mengenakan mantel tebal, bergegas keluar rumah. Pemandangan setelah hujan
selalu menyegarkan. Mr. Lumber Jack menghidu tajam aroma khas tanaman sekitar.
Bersama kapaknya, melakukan aktivitas menebang seperti biasa. Berjalan apa
adanya.
Gerobak reot
terkumpul beberapa ranting pilihan. Belum banyak. Lalu, Mr. Lumber Jack
tertarik menelusuri hutan lebih jauh lagi. Tak lupa meninggalkan jejak ikatan
tali maupun goresan menjorok pada pohon-pohon. Semakin mengumpulkan ranting,
rasa penasaran menumpuk sedari tadi. Sungguh ia teramat penasaran tentang aura
merah kemarin. Seperti ada dorongan pergi ke sana. Benar saja, Mr. Lumber Jack
membuang segala ketakutan, memilih mengecek jejak aura merah karena
tanda-tandanya kian jelas! Banyak pohon menjadi gundul, bekas terbakar.
“Oh, Tuhan ….”
Betapa terpaku
lemas Mr. Lumber Jack ketika sampai di tepi lubang kawah raksasa, seakan pusat
meteorit jatuh. Pohon sekitar kawah itu semuanya gundul, tanpa tumbang satupun.
Sungguh mencengangkan. Muncul suara membekas. Suara yang mengingatkan sang
laki-laki kapak pada anak gadis kecilnya sewaktu bayi. “Jangan-jangan!” Sambil
bersimpuh. Mempertajam penglihatan. Di tengah kawah, terlihat bayi perempuan
tanpa sehelai kain meronta-ronta dan menggeragap. Secara hati-hati, Mr. Lumber
Jack harus turun ke bawah.
“Bayi yang cantik!”
Bola mata berkilap haru. Tidak kuasa membendung air mata, seorang ayah penuh
kasih sayang menggendong bayi dengan rambut tipis pirang barusan. Suasana hati
Mr. Lumber Jack seperti hidup lagi. “Kenapa kamu ada di tengah kawah?”
Baca juga: [Cerpen] Sebuah Penghianatan-Depita Maharani
Sesampainya di rumah
….
“Bodoh! Bunuh saja
anak itu! Cks!”
“Dia kedinginan! Kita
rawat anak ini!”
“Selama ini kau
mengkhianatiku? Ini anakmu bersama wanita lain?”
“Jaga ucapanmu! Aku
menemukan bayi lucu ini di tengah kawah!”
“Pembual. Pemabuk!
Kau berkhayal seperti biasa, dasar laki-laki manipulatif!”
“Kunamakan bayi ini
Steva. Lihat rambut pirangnya. Pasti seseorang tak punya hati sengaja
membuangnya di hutan ini sebelum bunuh diri dan membakar hutan.”
“CUKUP! HENTIKAN!”
Pertengkaran antara
suami istri berlangsung tegang di ruang jamuan. Mita kemudian duduk, menarik
napas dalam-dalam sambil meneguk segelas air putih sampai habis. Ia sangat
marah, dan menuduh bukan-bukan. Keadaan Mita pun menunduk, sementara kedua
tangan menyangga dahi. Tampak stres.
“Kau sudah tenang,
istriku?” Mr. Lumber Jack mengayunkan Steva yang terbungkus kain tipis di
ambang pintu. Sosok ayah yang masih sanggup menghentikan tangis bayi sekecil
itu.
“Berapa usianya?”
Dirasa sedikit tenang, Mita mulai penasaran tentang Steva.
Mr. Lumber Jack
bergeleng. “Entahlah, satu bulan?”
“Kau pikir, kita
mampu membesarkannya? Dia bukan dari darah kita!” cecar Mita berdiri. Menarik
kursi sampai roboh.
“Jika bukan kita,
siapa lagi? Erin akan sangat senang dengan kehadiran adik barunya.”
“Kupikir, aku sudah
gila.” Mita melipat kedua tangan di ceruk kaca jendela. Ia enggan menatap sang
suami beserta Steva. Yang dilakukan Mita hanya merokok. Tidak mempedulikan
penampilan, ditambah rambut orange
tergerai kusut. Tidak ada sepatah kata lagi. Mr. Lumber Jack menganggap Mita telah
sepakat merawat Steva bersama.
“Steva, oh, Steva. Ciluk Baa!” Saking
perhatiannya, tiada henti Mr. Lumber Jack menghibur Steva bayi. Suara tawa bayi
tanpa dosa itu turut menggoda Mita agar mau menatap. Tetap saja Mita menahan.
Mempertahankan ego.
Tiba-tiba terdengar
suara piring pecah di dapur belakang. Mengejutkan Mr. Lumber Jack bersama
istrinya. Bahkan, tangisan Steva menjadi-jadi. “Erin?” sebut ayah sendiri.
“Tuhan, cabut saja
nyawaku!”
Mita mengeluh
sepanjang hidupnya. Belum sanggup sabar menghadapi tingkah aktif Erin yang
masih anak-anak berumur delapan tahun, malah harus menanggung derita
membesarkan Steva.
Baca juga: Terhanyut dalam Pengajian-Aden Lailatul Qodri
* * *
Anggota baru hadir di tengah keluarga kecil yang selama delapan tahun
menempati hutan Eukaliptus Australia. Namanya Steva, anak kedua Mita sekaligus
adik angkat bagi Erin. Bukan tanpa alasan, sepanjang hari Mita melampiaskan
amarahnya terhadap Erin. Apa pun kesalahan kecil yang Erin lakukan, siap-siap
dicambuk tanpa ampun menggunakan sabuk kulit. Pemandangan menyedihkan setiap
Mr. Lumber Jack pulang adalah keadaan Erin selalu memar serta menangis. Erin basah
kuyup di kamar mandi.
“Ibumu
melakukannya lagi?”
“Ayah, tolong aku!” Badan Erin menggigil hebat. Terdengar gemelutuk
giginya. Ia menguatkan rangkulan pada kedua kaki yang ditekuk.
“Di mana Steva?” Sepertinya Mr. Lumber Jack telah bosan mendengar rengek
nyaring anak kandungnya sendiri. Erin tidak memberi isyarat apa-apa. “Terima
keadaan ibu angkatmu saat ini. Jadilah kuat!” Membungkuk sambil mencengkeram
erat pundak kiri Erin. “Argh!” Si anak
korban siksaan ibu angkat itu mengerang.
Esok hari. Menyadari ada sedikit kelembutan di hatinya, Mita memutuskan
membuka basement, tempat Erin
dikurung. “Bermainlah dengan Steva! Ibu hampir membunuh anak itu!”
“Ibu … jangan! Jangan bunuh Steva. Ia masih bayi!” Sigap Erin berdiri,
rambutnya tergerai hina dengan pakaian dress
bunga sama seperti hari-hari sebelumnya. Lama sekali Erin belum mandi. Akibat
dilarang ibunya dan dipaksa belajar matematika sendirian. Mita menjurus tatapan
jahat sambil menelisik keseluruhan fisik Erin yang semakin kurus.
“Mandi dan makanlah. Ibu tidak ingin Steva menangis malam nanti.”
Melipat kedua tangan di tengah dada. Ekspresinya datar, terbungkus hawa
kebencian. Melihat ibunya pergi, Erin mengatur napas. Setidaknya, ia lega masih
diberikan waktu meladeni si kecil Steva.
Pelan-pelan, Erin masuk ke kamar khusus bayi. Melihat keranjang bayi di
sana. Hujan deras mengguyur malam itu. Petir maupun guntur menggelayuti
ketakutan Erin seorang diri. Daripada menunda mendekat meski harus menelan
ludah, tampaknya Steva tertidur tenang di keranjang gantung. Wajah Steva
meredakan kesedihan Erin.
“Syuu, syuu. Lucunya. Ibu gak marah sama kamu kan?” Sekarang Erin
menggendong sambil mengayunkan Steva penuh kelembutan. “Apa karena rambutmu?
Selalu bercahaya di malam hari? Pantas ibu tak kuasa memarahimu. Rambut
pirangmu … indah.” Entah sejak kapan rambut tipis Steva mulai tumbuh lumayan
panjang. Seharusnya tidak secepat itu.
Tugas merawat Steva dilakukan bergantian. Kadang Mr. Lumber Jack, kadang
Erin kalau sang ibu memberi izin. Memasuki hari kesepuluh, pertumbuhan Steva
meningkat drastis. Ia mulai bisa merangkak, berjalan, dan menyebut nama ayah –
ibu. Tidak dengan sebutan kakak. Setiap Erin membantu Steva mengeja sebutan
kakak, Steva malah tertawa riang. Sampai satu bulan kemudian, bukan hal wajar
anak sekecil Steva telah tumbuh menjadi anak-anak di usianya yang baru masuk
setengah bulan. Sejak awal, Erin menaruh curiga, bertahap ia mencoret dinding
yang terdapat bekas garis pertumbuhan.
“139 cm. Bentuk fisikmu sudah seperti
anak sepuluh tahun. Bahkan, lebih tinggi dariku!” Aneh memang, tapi Erin
tersenyum riang melihat adiknya sudah mampu bercanda ria. Secepat itu
pertumbuhannya. “Aku akan melaporkannya pada ibu.”
“Erin, aku akan terus tumbuh? Setinggi jerapah yang ada pada buku
dongeng?” tanya Steva enggan menyebut kakak. Penampilannya nyentrik, rambut
pirang yang dikepang dua dengan pakaian overall
biru, dalaman berlapis loreng merah muda.
“Panggil aku kakak.” Erin tersenyum kecut. Sudah lama ia menantikan
Steva memanggilnya dengan sebutan kakak. Sebuah panggilan yang mudah disebut.
“Erin.” Kekeuh Steva berkata demikian.
“Mungkin kamu butuh waktu, Steva. Belajarlah sopan santun. Jangan
pecahkan piring makan siang lagi. Kakak jadi repot menyatukan pecahannya. Ibu
selalu marah pada kakak soal perilakumu.”
“Barang-barang di sini, semua milikku. Hancurkan saja semuanya. Itu
mengasyikkan!” Malah Steva melompat girang.
“Jangan sampai apa yang ibu lakukan pada kakak, terjadi padamu.”
Mulailah Erin bersimpuh, memeluk sayang sosok adik. Nyatanya, Steva tidak mau
membalas pelukan.
“Apa yang ibu lakukan padamu?”
Sebelum menjawab, Erin tersenyum samar. Pelukan dilepas. “Tidak. Tidak
ada. Istirahatlah.” Bergeleng singkat, badan kembali ditegakkan.
Steva melunak. Akan tetapi, tidak dengan isi hatinya. Mumpung Erin pergi
untuk menyapu ruang tengah. Steva selalu punya rencana jahil terhadap kedua
orang tuanya. Setiap tindakan usil yang dianggap remeh Steva, berakibat buruk
pada Erin. Mita tidak akan segan menyiksa Erin jika ketahuan gagal menasihati
Steva.
Keinginan mencegah atau menasihati sebagai seorang kakak, tetap saja memiliki celah. Pada akhirnya, Steva selalu menang. Steva tidak kapok menjahili ibu sendiri. Paling parah, membakar rambut ibunya saat terlelap, hingga Erin terpaksa berbohong kalau ia pelaku tindakan ceroboh itu. Steva bersembunyi di kolong kasur. Nasib Erin pun harus tidur di depan rumah sampai larut malam. Setidaknya sampai sang ayah pulang, membukakan pintu.
Baca Juga : (Cerpen) Broken Home - Dwi Lailatul Karimah
*
* *
Dua bulan berlangsung. Berbeda dengan Erin yang masih anak-anak,
ternyata Steva mencapai pertumbuhan usia remaja. Panggilan kakak seakan tidak
berlaku lagi terhadap Erin, bahkan Erin menyayangkan percepatan tumbuh kembang
adiknya dengan alasan kalau Erin kesulitan mengajak Steva bermain. Steva mulai
hobi dandan, bernyanyi, dan seenaknya masuk kamar orang tua. Mengambil sisir
atau pakaian gaya klasik yang tersimpan di lemari.
“Steva!” tegur Erin karena Steva membanting keranjang pakaian kotor. Isi
pakaian terlempar berantakan.
“Stevanya. Panggil aku Stevanya ….” Sepatah kata Steva masih berlanjut.
“Kakak?” timpal Erin masih dengan harapan lamanya.
“Erin! Bukan kakak!” Seketika Steva berlalu masuk kamar. Sekarang kamar
Steva terpisah. Atas permintaan Mr. Lumber Jack tanpa alasan jelas.
“ERIN! Bereskan jemuran pakaianku di halaman belakang! CEPAT!”
Belum lama Erin melamun, menatap keranjang pakaian tadi, terdengar seruan Steva dari dalam kamar. Mau tidak mau Erin menyanggupi. Napasnya terhempas sesak.
Baca Juga : (Cerpen) Harga Keluarga - Fathul Mubin
Malam dengan tandan bulan hampir memasuki musim hujan. Diam-diam Mr.
Lumber Jack membuka pelan pintu kamar Steva. Tersenyum beringas ketika melihat
Steva tidur menghadap arah sebaliknya. Kesempatan bagi Mr. Lumber Jack
mendekat. Mendadak ia ingin melampiaskan hasratnya. Selagi sepi dan bentuk
tubuh Steva sangat menggoda.
“Steva, lakukan sesuatu untuk ayahmu ….” lirih Mr. Lumber Jack duduk
miring di tepian ranjang anak angkatnya sendiri. Sebenarnya Steva sudah menebak
sikap aneh ayahnya hari-hari ini. Bahkan, Steva pura-pura terlelap.
“Steva ….” Tangan Mr. Lumber Jack mengusap selimut dari atas hingga
meraba paha Steva. Kedua mata Steva melotot. Dibalik tangannya yang tersembunyi
di dalam selimut, si gadis pirang itu menggenggam sesuatu.
“Steva … Ayah tidak tahan lagi! Berikan tubuhmu, STEVA!” Secara kasar,
seketika Mr. Lumber Jack menindih tubuh Steva setelah menghadapkan badan
anaknya agar terkapar.
“BODOH!”
Saat itu juga Steva menggeligat, tangannya menerjang wajah sang ayah.
“AH!” Serangan pukulan batu pada kepalan tangan Steva berhasil melukai mata
kiri Mr. Lumber Jack. Sosok ayah bertubuh besar itu mengeluh sakit. Ia terjatuh
di bawah. Disaksikan Steva dengan tempo napas panik. Darah bercucuran melalui
bekas pukulan mata.
“Ayah? Apa maksud semua ini?”
“Steva … jangan beritahu siapa pun tentang kejadian ini. Termasuk ibumu.
Ugh!” Badan Mr. Lumber Jack bergetar. Steva bergeming tidak paham. Jika mau, ia
akan mengadukan perilaku bejat ayahnya barusan.
“Apakah ibu sudah tidak menarik lagi bagi ayah?”
“Steva … kau berbeda! Kau berasal dari mana?” Terlanjur ketahuan, Mr.
Lumber Jack menangis sesenggukan sebagaimana bayi. Ia terus memohon supaya
Steva merahasiakan kejadian memalukan hari ini.
Sebelah mata Steva tertutup. Bibir atasnya naik, menunjukkan gestur jijik. “Keluarga menyebalkan. Ayah pikir bisa menikmati tubuhku sepuasnya? Enyahlah!” Mulailah Steva meletakkan kakinya. Menginjak muka sang ayah. Membiarkan Mr. Lumber Jack menghidu bau wangi kaki putih indahnya itu. “Sementara, ayah hanya kuberikan telapak kakiku saja. Jangan menangis seperti perempuan."
Baca Juga : (Cerpen) Lari, pa! - Fifa Lana S
*
* *
“Matamu
kenapa?”
Mita terheran memandangi muka bonyok Mr. Lumber Jack kala sarapan pagi.
Steva duduk di kursi terpisah. Begitu pula Erin. Steva tersenyum culas menatap
nasib malang ayahnya. Mengetahui Steva sedang menatapnya, buru-buru Mr. Lumber
Jack meraup sesuap bubur panas. Ia batuk-batuk.
“Ayah sepertinya tidak enak badan?” Erin menuangkan air ceret ke dalam gelas.
Meminta ayahnya minum secara rileks air teh hangat.
“Tidak. Luka di mata ini, karena ayah kejatuhan batu tebing.”
Semua terdiam. Bukan pemandangan pertama menurut Mita kalau suaminya
kadang pulang membawa luka akibat resiko pekerjaan. “Steva sudah waktunya
sekolah. Ia tumbuh sangat cepat. Kita masukkan TK atau SD?” Mita membuka
percakapan.
“Ah, persetan dengan sekolah. Jika Erin tidak sekolah. Biarkan Steva
tidak sekolah juga. Sebagai ibu, ajari anak-anakmu dengan benar.”
“Tapi ayah! Aku ingin sekolah!” seru Erin menunggu pembahasan sekolah
sejak dulu.
“Aku tidak mau,” tolak Steva berdiri dari kursi. Tertarik pergi keluar
rumah untuk menyegarkan pikiran. Kepergian Steva menjadi fokus perhatian ketiga
keluarga kecil di meja makan.
Setibanya Steva di luar, ia memandangi langit mendung. Ricuh guntur tak
kunjung lepas dari gendang telinga. Lambat waktu, hujan turun sangat deras.
Steva tersenyum lebar, menari-nari menerjang hujan. Pertama kalinya ia bermain
air hujan. Badannya boleh remaja, tapi ia masih ingin mengeksplorasi dunia
sekitar. Salah satunya tertawa bersama hujan.
Blaaaaarrr!
Sambaran petir mengincar pesona rupawan wajah Steva. Meledak sudah kepalanya. Segala isi daging berhamburan dengan asap panas mengepul pekat. Tarian gemulai gadis rambut pirang itu berhenti. Namun, tidak bisa mati.
Baca Juga : (Cerpen) Pulang - Laily Qadarsih
Berkisar belasan menit, sang adik terdengar tertawa riang menyambut
hujan. Erin senang mendengarnya dari dapur. Toh, ia tidak bisa menemani adiknya
karena harus mencuci piring. Banyak piring kotor menumpuk. Ibu dan ayahnya
sedang mengobrol sebentar di dalam kamar. Erin masih menikmati aktivitasnya,
lalu seseorang berkali-kali mengetuk pintu depan. Alis Erin bertaut curiga.
Siapa?
“Stevanya, jangan lama-lama main air hujan. Nanti sa—“ Betapa Erin
terkejut, ketika membuka pintu, kehadiran adik kandungnya menyulut raut takut
serta syok.
“AAHHHHHHHHHHHHH!!!”
Erin menjerit histeris! Steva berdiri di ambang pintu dalam keadaan
tanpa kepala. Enteng melambai memberikan sapaan.
“ERIN! Ada apa?!”
“Astaga!”
Mr. Lumber Jack bersama Mita tertarik keluar kamar. Mereka berdua sama
terkejutnya. Kecantikan wajah Steva yang dengan susah payah dibentuk sang ibu,
tinggal leher dan tulang. Mengerikan.
“APA YANG TERJADI? OH, TUHAN!” teriak Mita sampai tidak kuat berdiri.
“Sudah ayah duga. Steva bukan manusia. Si rambut pirang yang kita
besarkan ini adalah hantu! Erin, kurung Steva di basement! Sekarang!”
“Steva ….!” Erin sepenuhnya menolak. Berharap apa yang ia saksikan
sekarang hanyalah mimpi panjang. Sebenarnya siapa Steva?
Baca juga: Berapa Lama Kebiasaan Baru Terbentuk?
*
* *
Semenjak
melihat Steva tanpa kepala, apalagi masih hidup … diduga Mr. Lumber Jack melarikan
diri dari rumah sejak jam dua siang. Sementara, waktu memasuki tengah malam.
Rona mimik takut menghiasi wajah ibu serta si anak pertama. Mita duduk
gemetaran di atas kasur, sedangkan Erin bertugas menjaga basement. Meskipun berkali-kali ketukan pintu sosok Steva yang
dikurung membuyarkan rasa kantuknya.
“Steva?” Erin bangkit usai memposisikan tidur terlentang di alas kayu
tanpa sehelai selimut.
Muncul dorongan kuat di benak Erin agar membuka kunci pintu, tempat
Steva dikurung. Erin benar-benar membuka pintunya. Selama itu pula ia berdiri
menatap Steva di depan. Tidak terjadi apa-apa. Steva tidak banyak bertingkah
apalagi mengomel karena hidup tanpa kepala. Musibah hari ini menjadi keuntungan
tersendiri bagi Erin.
“Ikut Kakak ke kamar, ayo!” Mencekal kuat tangan Steva. Hati-hati mengajaknya naik tangga menuju kamar.
Baca Juga : (Cerpen) Setengah Jiwaku Pergi - Fathul Mubin
Berkat ditemani Steva, maka Erin dapat dengan mudah mengerjakan tugas
matematika pemberian sang Ibu. Selagi Erin duduk di kursi meja belajar, Steva
pun diberi tugas melipat baju. Tidak biasanya Steva menurut. Mau membantu meski
kekurangan anggota wajah.
“Seandainya kepalamu masih ada, pasti kamu akan menyebutku sebagai
Kakak, kan?” Menoleh belakang. “Steva, aku tidak peduli apakah kamu hantu atau
hanya imajinasiku saja. Kecantikanmu sangat nyata sekalipun tanpa kepala.
Sungguh.”
Erin sadar, mana mungkin Steva menjawab. Itu yang membuatnya sedih,
lagi-lagi ada saja halangan ikatan saudara antara mereka. Ditelan waktu,
perlahan Erin menutup mata. Tenggelam di alam mimpi.
“Auh, sakit.”
Merasa ada yang salah pada anggota badannya, sensasi perih berdenyut itu
membangunkan Erin yang tanpa sadar ketiduran di atas meja belajar. “Kenapa
sakit sekali?” Mengedipkan mata berkali-kali. Rasa sakitnya baru terasa luar
biasa ketika Erin sadar seutuhnya.
“TIDAK!”
Pantas begitu perih, rupanya kedua lengan tangan Erin tidak ada. Seperti habis dipotong. Pelakunya sudah jelas, berdiri sosok Steva di sampingnya sambil memegang pisau buah. Sekujur badan Steva berlumuran darah. Erin tercekat, kesulitan berkata-kata.
Baca Juga : (Cerpen) Gadis Rambut Pirang - Fathul Mubin
Entah apa yang sudah Steva lakukan pada Erin beberapa menit setelahnya,
sekarang Steva berjalan keluar rumah. Menerjang hujan lebat. Bekas merah darah
pakaiannya, luntur sedikit demi sedikit. Lalu, petir kedua kali menyambar,
menargetkan Steva yang langsung hilang ditelan asap. Petir ketiga menyambar
atap rumah hingga terbakar ganas. Di dalam rumah, tersisa Mita seorang. Tanpa
henti berteriak, menyaksikan rambutnya berubah warna menjadi pirang di depan
kaca kamar.
Berhari-hari
Mita hidup di basement, hanya memakan
bangkai tikus.
Tamat.
______________________
Email
: Mubin5849@gmail.com
Wattpad
akun : FathulMubin22
Instagram
: calon_penulis_aamiin
Facebook
: Mubin (Profil vector editor)