Menanamkan mental pejuang sejak dini itu tidak sederhana. Ada banyak intrik yang bisa terjadi. Karna itu dibutuhkan kolaborasi dan sinergi dari berbagai pihak harus maksimal diupayakan.
Bukan hanya ayah dan ibu terhadap anak. Namun juga perlu ada upaya dari kakek dan neneknya. Berikut juga om dan tantenya. Bahkan orang-orang di sekitarnya yang bukan termasuk keluarga, pun ikut andil, seperti tetangga dan teman-temannya. Semua person perlu diarahkan pada satu visi yang sama.
Jika dalam mendidik anak terjadi perbedaan visi, maka sangat repot untuk mengulang-ulang pendidikan yang berbasis aqidah Islam pada sang anak. Apalagi pendidikan tersebut ditujukan untuk membentuk anak bermental pejuang Islam. Ketika orangtua di rumah sudah mengondisikan anaknya dengan visi Islam, ternyata terkacaukan dengan cara mendidik yang berbeda oleh kakek dan neneknya. Begitu pula ketika keluarga besar pun sudah satu suara dalam mendidik anak sesuai Islam, ternyata tetangga dan teman-temannya mengacaukan dengan suasana hubungan yang toxic.
Maka dari itulah, setiap kali sebelum dan setelah melakukan sesuatu perlu mengingat Allah. Memulai aktivitas dengan mengucapkan basmalah. Mengakhiri aktivitas dengan mengucapkan hamdalah. Paling tidak dengan mengingatkan asma Allah, menjadi ingat pula visi mendidik anak karena Allah agar bermental pejuang dinnullah.
Misalnya, setiap kali anak akan makan, maka harus kroscek halal dan thayyibnya makanan tersebut. Begitu juga ketika hendak minum. Bisa jadi makanan dan minuman halal, tapi ternyata tidak thayyib. Sehingga perlu berhati-hati.
Baca Juga : Guru Harus Tahu! Karakteristik Perkembangan Sosial Emosional Pada Anak Usia Dini
Setiap habis main anak juga harus membereskan kembali mainannya ke tempatnya semula. Perlu ditanamkan kepada anak untuk bertanggung jawab terhadap mainannya. Berantakan boleh, tetapi bertanggung jawab untuk membereskan kembali.
Anak perlu dibiasakan mengaji dan menghafal Al-Quran dengan semangat cinta pada Allah. Anak diajarkan dan dibimbing untuk melaksanakan shalat agar Allah ridho. Dan hal itu dilakukan anak bukan agar tak dimarah orangtua. Tetapi dibangun kesadaran utuh dan penuh, semua dilakukan karena Allah, dan keinginannya sendiri untuk meraih ridhonya Allah.
Anak diajak mengikuti kegiatan-kegiatan dakwah yang rutin dilakukan oleh ayah dan ibunya ketika belajar atau mengajar dalam kajian-kajian Islam. Dalam mengisi training-training keislaman dan kegiatan serupa, anak perlu dilibatkan. Disounding agar anak tertib dan mendengarkan isi kajian tersebut, tidak membuat gaduh di sepanjang acara.
Perlu ditanamkan pada anak bahwa belajar baginya bukan sekedar menulis abjad dan gambar sekenanya. Tetapi juga mengenal huruf hijaiyah yang kelak akan menuntunnya membuka berbagai khazanah ilmu Islam. Bercerita bukan sekedar asal bicara, tetapi memiliki alur dan ujung-ujungnya tentang Allah senang padanya karena ia sudah melakukan hal yang baik.
Baca Juga : Pendidikan Anak Berbakat
Anak menjadi takut maksiat dan neraka. Anak menjadi rindu kebaikan dan surga. Di sinilah kesadaran anak terbentuk.
Mendidik anak dilakukan sedini mungkin. Yakni sejak anak masih berada dalam kandungan, saat melahirkannya, dan sampai ia lahir. Kemudian ketika anak tumbuh, orangtua menemani proses tumbuh kembang tersebut. Semua lini perjalanannya dibersamai dengan visi awal yaitu hendak menjadikan anak sebagai anak yang dirindukan surga. Anak bermental pejuang Islam, yang tangguh dan tidak mudah patah, sehingga siap membela Islam di masanya kelak.
Baca Juga : Inkisyariyah (Jeniseri) Pasukan Legendaris Kesultanan Utsmaniyah
__________________________________