"Aku tidak mau dimadu, untuk itu aku melepasmu."
______________________
"Aku mau ngomong serius sama kamu." Ujar lelaki tampan, dengan senyuman manisnya, di tambah lagi lesung pipi yang semakin mempesona.
Hah, dia Suamiku, Allah mengirimkan nya untuk menjadi imamku. Nahkoda ku menuju pelabuhan syurga nya Allah.
Subuh ini seperti biasa, aku dan mas Gibran melaksanakan solat subuh berjamaah. Kegiatan rutin yang menjadi kesukaan ku, setelah menyandang status istri sah nya mas Gibran selama tiga bulan ini.
Diriku yang bagaikan jin iprit ini di jodohkan dengan sosok Muhammad Gibran Permana. Lelaki spek Malaikat yang masya Allah Idaman sekali.
Tak ada pacaran-pacaran seperti anak muda pada umumnya. Kami melakukan ta'aruf. Konon katanya tak kenal maka tak sayang, jika sudah sayang maka ungkapkan. Jika sudah terungkap maka langsung duduk di pelaminan hehe. Itu kata ku.
"Fatin?kenapa melamun?" Tanya lembut mas Gibran yang berhasil menarik ku untuk kembali sadar. Memang berat rasanya menatap manik kelam nan meneduhkan milik mas Gibran membuat ku mabuk kepayang seakan melayang.
"Hehe, maaf ya, mas Gibran selalu bikin Fatin jatuh cinta berkali-kali setiap detiknya. Jadinya bengong kek ayam gini deh." Tutur Fatin apa adanya. Ia tak bakat menyembunyikan kekagumannya akan sosok suaminya yang begitu lembut dan menenangkan ini. Nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan.
"Mas, mau berbicara serius." Ujarnya serius.
Entah kenapa perasaan Fatin sedikit takut, pasalnya wajah serius milik suaminya baru kali ini ia lihat. Dan sungguh sedikit menakutkan.
Apa dirinya melakukan kesalahan fatal?
Tanpa memberi jawaban apapun, Fatin seolah memberi tanda bahwa ia menunggu apa yang akan Gibran sampaikan.
"Boleh tidak mas menikahi Ukhti Fatimah?" Tuturnya pelan dan bergetar. Namun tersirat nada permohonan.
DEG!
Menikah lagi? Itu artinya berPoligami? Memang sih tak ada yang melarang. Tapi kan pernikahan mereka baru saja berjalan 3 bulan, konyol sekali bukan? Rasanya Jantung Fatin berhenti berdetak karena terhunus kalimat suaminya yang hendak menikah lagi.
"Menikah lagi? Dengan Ukhti Fatimah?" Ulang Fatin tak percaya, seolah menjadi mantra untuk menyakinkan dirinya bahwa ini hanya mimpi.
Lalu tak lama tawa Fatin pecah.
"Mas Gibran, ini masih pagi buta. Dan tanggal ulang tahun Fatin masih jauh. Kenapa suka sekali bercanda seperti ini." Fatin tak bisa lagi menahan tawanya. Suaminya ini benar-benar. Candaannya anti mainstream, hampir saja Fatin jantungan dan kejang-kejang di tempat.
"Mas, serius. Mas tak tega melihat ukhti Fatimah menjanda, di tengah hamil muda." Ujar nya lagi, membuat Fatin benar-benar membeku di tempat. Mungkin acara kejang-kejang nya sedikit di cancel.
Jadi ini serius? Lah? Ko jadi begini? Kisah kasih bak Keluarga sang nabi yang ia impikan kenapa jadi seperti ini?
Sosok habibi sang pemilik hatinya justru meminta izin untuk berpoligami.
Tapi kenapa harus ukhti Fatimah? Sosok wanita solehah cinta pertama nya mas Gibran.
Sudah satu bulan menjanda, karena suami Ukhti Fatimah mengalami kecelakaan saat hendak melakukan kunjungan sebagai ustadz pengawas hafidz di pesantren Riau sana. Meninggalkan Ukhti Fatimah dan sosok buah cinta mereka yang baru saja berusia 2 minggu.
"Fatin?"
"Mas, apa maksudnya? Kenapa jadi begini? Kayaknya mas masih ngantuk." Fatin berusaha setenang mungkin, di tengah Hatinya yang mendidih, bak air panas yang telah matang. Di tengah jiwa nya yang terasa di cabik-cabik menggunakan tombak.
"Fatin, mas serius." Tuturnya, seraya menggenggam erat tangan Fatin. Menatap dalam manik sipit sang istri.
"Mas." Lirih Fatin dengan mata yang sudah berkaca-kaca, bulir bening memenuhi pelupuk matanya.
Ia tak bisa, jika suaminya sedang becanda tolong hentikan sekarang juga. Ia benar-benar terluka secara nyata. Jika obrolan ini memang serius, tolong jadikan kisah ini bunga tidur yang tak kan pernah menjadi nyata.
Segelintir rapalan-rapalan dan harapan Fatin mengenai situasinya kini.
"Kamu tahu kan? Bang Ridwan udah pergi ninggalin ukhti Fatimah. Bukankah mengandung sendirian itu perkara yang tak mudah? Lagipula Poligami kan Sunnah nabi, nabi juga dulu menikah lagi karena niatnya ingin membantu." Terang panjang Gibran, berusaha membujuk istrinya yang sepertinya terkejut setengah mampus mendengar penuturan tak terduga nya.
"Mas, kamu bukan nabi, dan hati aku tak selapang hati para istri nabi." Bantah Fatin pilu. Ia tak rela sungguh, demi Allah ia tak rela. Apalagi sosok madunya Ukti Fatimah.
Wanita yang pernah begitu di puja oleh sang suami. Cinta pertama sang suami, wanita solehah, sosok bidadari Surga yang membuat Fatin merasa tak ada apa-apanya. Membuat Fatin merasa tak pantas untuk bersanding dengan sosok Muhammad Gibran Permana.
***
Hari itu, dimana Fatin menolak keras keinginan Gibran untuk berpoligami, Gibran berubah. Laki-laki itu, suaminya, imamnya, nahkodanya dalam bahtera rumah tangganya.
Lebih banyak mendiaminya. Menjadi sosok yang irit bicara, tak ada celotehan sebelum tidur, tak ada gombalan manis tiap harinya. Justru terasa suram makin hari dinilainya.
Tapi meskipun begitu, Fatin tetap menjalankan tugasnya, menyiapkan segala kebutuhan sang suami tanpa diminta. Bukankah memang begitu? Bahkan Fatin dengan berlapang dadanya melupakan permintaan poligami dari sang suami. Ia bahkan masih bisa tetap berfikir jernih dan menganggap semuanya angin lalu. Tapi kenapa itu tak berlaku bagi Gibran? Gibran suaminya justru sibukk mendiaminya, sibuk merajuk. Kenapa?
Hari ini, ia pikir semuanya akan membaik. Gibran mengajaknya ke rumah orang tua lelaki itu, untuk bersilaturahmi. Tak apa bukankah itu lebih baik daripada ia terjebak dalam Gibran yang merajuk karena tak boleh berpoligami.
Namun, bukannya Gibran mendapatkan tamparan, atau amarah dari ibunda lelaki itu, bukan maksud Fatin ingin melihat Gibran ditampar, hanya saja seorang ibu mana yang akan mengizinkan anaknya berpoligami.
Secara terang-terangan, dan tanpa rasa malu, Gibran meminta izin berpoligami dihadapan keluarganya. Tentu tanpa berdiskusi dengan Fatin, istrinya. Wanita yang telah sah menjadi istrinya. Padahal dengan jelas Fatin menolak keras. Tapi kenapa Gibran Ngeyel?
"Mas, Gibran, tapi kan Fatin gak setuju." Timpal Fatin dengan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. Tinggal satu kedipan lagi, maka air matanya meluruh.
Gibran tega mempermalukannya. Sudah jelas-jelas Fatin menolak, kenapa Gibran malah memperbesar masalah dengan melibatkan orang tua? Padahal Fatin sengaja tak menceritakan apapun perihal ini, menjaga nama baik Gibran, menjaga Marwah pernikahan nya.
"Kenapa Fatin gak setuju? Dimadu itu jaminannya surga." Sahut Ibu Salimah, mertuanya, ibu dari Gibran
Fatin menggeleng keras. "Tapi ibu, gak semua pintu surga didapat lewat poligami, masih banyak cara untuk meraih surganya Allah." Jawab Fatin tak terima dengan pernyataan sang ibu mertua.
Fatin Sadar, ia hanya wanita fakir ilmu, hijrahnya pun baru-baru ini, pemahaman mengenai agamanya tak sebaik ukhti Fatimah. Ia hanya wanita biasa yang kebetulan mendapatkan hidayah dari Allah. Hanya itu. Jika dibandingkan dengan ukhti Fatimah tentu kalah telak.
"Kenapa Fatin seperti itu? Niat Gibran sudah baik, membantu Fatimah, seharusnya kau sebagai istri mendukung nya." Timpal ayah Gibran, bapak Ishaq Permana.
Fatin hanya memandang sendu kedua mertua nya dan suaminya. Kenapa jadi dirinya yang terpojok? Kenapa jadi dirinya yang seolah tak memiliki rasa kemanusiaan?
Ukhti Fatimah menjanda ditengah hamil muda! Dan kenapa harus Fatin yang berkorban?! Laki-laki didunia ini bukan hanya suaminya! Ingat itu. Rasanya Fatin ingin menjerit-jerit, merasakan betapa kejamnya dunia.
"Ibu, kalau suami ibu menikah lagi apa ibu rela?" Tanya Fatin menatap sendu Ibu mertuanya berharap ibu mertuanya mengerti tujuannya, paham akan dirinya.
Salimah, ibu mertua Fatin menatap tak percaya pertanyaan Fatin. "Apa maksudnya? Tentu -
"Itulah yang aku rasakan ibu, Fatin gak rela dimadu, apapun alasannya." Ujar Fatin memotong jawaban sang ibu mertua, tak sopan memang, tapi ini kan unek-uneknya. Enak saja ia disuruh berkorban begitu saja.
"FATIN." Teriak Gibran marah
Setelah beberapa Minggu ini tak mendengar namanya dipanggil Gibran, akhirnya Gibran memanggil namanya walaupun dengan teriakan amarah, tak apa. Setidaknya Gibran masih mengingat dirinya.
"Kenapa kau sangat keras kepala! Apa kau tidak kasihan pada ukhti Fatimah? Dimana hati nurani mu hah!" Bentak Gibran marah.
Hati nurani? Apakah Gibran pernah terpikirkan sedikit saja, bagaimana perasaan Fatin, saat Gibran meminta berpoligami? Membandingkan Fatin dengan istri para nabi, tentu berbeda kasusnya, tak sama, Fatin hanya manusia biasa, hatinya tak selapang hati para istri nabi.
Membawa sunnah-sunnah nabi, Sunnah nabi bukan hanya perihal poligami saja! Fatin sadar, ia hanya wanita fakir ilmu, tapi apa memang harus dibodohi seperti ini?
"Mas, kalau emang mas Gibran sangat ingin menikahi Ukhti Fatimah, ayo kita cerai saja." Ujar Fatin membuat suasana hening.
"Allah memang membenci perceraian, tapi bukankah Allah tak suka orang yang munafik?" Sambung Fatin tak gentar.
Tak apalah ia menjadi janda. Setidaknya ia tak hidup dalam rasa iri dan cemburu. Adil? Rasanya mustahil, adil dalam hal apa nantinya? Perasaan tak sama seperti materi yang bisa dibagi dua.
"Kau perempuan egois Fatin, niat ku sudah baik, mempertahankan mu, tapi kau sendiri malah ingin bercerai. Harusnya emang sejak awal kita gak perlu nikah." Ujar Gibran tanpa merasa bersalah.
Fatin hanya terdiam, jadi apalagi alasan Fatin untuk bertahan? suaminya saja menyesali pernikahan mereka. Fatin mengalah disebut egois? Sadar gak sih, yang egois disini itu Gibran!
"Kamu gak bisa menggenggam erat dua gelas sekaligus mas, kamu harus relain satu gelas lain pecah. Aku gak bisa ikhlas, maka dari itu aku mau melepas."
Semuanya terdiam.
***
Lima bulan sudah berlalu. Hari ini, hari yang istimewa untuk Gibran, dan ukhti Fatimah. Mereka akhirnya resmi menikah, setelah Ukhti Fatimah melahirkan bayi laki-laki.
Mas Gibran langsung melamar nya. Menjadikan Ukhti Fatimah ratu dihatinya.Tak apa, Fatin sudah menyiapkan diri, dan mental untuk hari ini.
Ikut hadir di pernikahan mantan suami tidaklah mudah. Fatin melewati lima bulan yang tak mudah, tiap malam menangis. Tiap ingin tidur melamun. Fatin kira Gibran akan menahan dirinya untuk tak cerai, nyatanya Gibran malah melepaskannya dan mengejar Ukhti Fatimah.
Biarlah, Fatin melepaskan Gibran, ia tak bisa dipaksa ikhlas, karena didunia ini tak ada yang benar-benar ikhlas, kecuali nabi yang menuntun umatnya, dan seorang ibu yang menyanyangi anaknya. Tak kan ada yang bisa ikhlas seperti dua hal itu.
Fatin hanya berharap, semoga kedepannya ia mendapatkan sosok yang bukan hanya sempurna dari agamanya saja. Tapi sosok yang begitu mencintai dan menghargai nya. Itu saja. Selebihnya ia pasrahkan segalanya pada Allah SWT, karena sebaik-baiknya penentu hanyalah Allah. Sebaik-baiknya suratan adalah suratan takdir Allah.
______________________
Maulidya
Bimbingan dan Konseling Islam
Institut Ummul Quro Al-Islami Bogor
Jl. Moh Noh Nur No. 112 Leuwiliang Bogor
maulidyafitriani@gmail.com