Senyuman Terakhir
-alifiyani
"Kalau diberi waktu, bolehkah diberi kesempatan lagi?"
Tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya bahwa ramadhan kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Setiap orang berkumpul, berbondong-bondong menyusuri jalan. Namun aku malah terdiam di sini. Perlahan aku mengingat kehadiran dirinya saat menjelang hari raya tiba.
Sedih? Tentu, kehadiran dirinyalah yang membuatku merasa aman. Kemarin sempat berbincang dengan ku menanyakan kabar dan bagaimana kegiatan sekolah yang aku lakukan. Tak jarang dia juga memberiku nasihat, nasihat yang selalu aku tanamkan pada diriku. "Kalau mengejar pendidikan jangan mengejar yang lain, fokus ke masa depan. Masa mudamu gunakan sebaik-baiknya, tiru orang tuamu. Nanti kalau kuliah jangan semakin lengah untuk belajar, apalagi sekarang buat orang yang tidak punya untuk kuliah saja harus pupus di tengah jalan." Nasihat itu yang membuatku terus semangat dalam mengejar pendidikan.
Tidak luput dari senyumannya yang membuatku damai melihatnya. "Iya, Kek. Saya akan terus beruaha untuk fokus ke masa depan. Biar cerah seperti wajah Kakek." Ucapanku terkekeh, tetapi dia hanya menatap sendu dan mengucapkan kalimat yang membuat diriku merasa tidak enak.
"Jadi anak harus berbakti, jangan semaunya. Kalau kamu ga nurut ke orang tua, bagaimana kamu bisa lancar setiap urusan?" Kakek mengucapkan hal seperti itu membuat diriku tersentak. "Apa aku pernah melakukan kesalahan ya? Sampai kakek bilang seperti itu?"
"Tidak ada yang salah, Kakek bilang seperti itu karena takut nanti kamu salah jalan. Apalagi kamu hampir masuk ke jenjang kuliah, lingkungan berpengaruh sekali nantinya."
Baca Juga : [Cerpen] Fatin karya Maulidya
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum. Ucapannya terngiang, seakan wajahnya yang sendu itu berada di depanku persis di saat aku bercerita kepadanya.
Menyesal? Pasti. Aku menyesal yang terkadang tak mau mendengar ocehan darinya yang ternyata itu memang nasihat yang paling aku ingat sampai sekarang. Memori lama seakan berputar kembali mengingat dirinya yang sama sekali tak pernah marah. Selalu ingin tahu bagaimana hariku,
pelajaran apa yang didapat di sekolah, keadaan di sekitar, bagaimana lingkungan yang aku tempati. Banyak hal yang ingin dia tahu dariku.
Seandainya saja waktu bisa berputar kembali, maka aku akan terus terang bahwa hidupku semakin lama semakin membaik, Kek. Apalagi jika berasa di sampingku sekarang. Bercengkerama setiap saat.
Benar ya, setiap orang akan diingat saat mereka sudah tidak ada lagi di dunia.
"Nak, jangan melamun." Lamunanku buyar saat bapak memegang bahuku.
"Sekarang sudah ketiga kali hari raya, pasti Kakek rindu suasana ini kan Pak? Banyak orang yang datang ke sini hanya untuk mengunjungi rumahnya."
Baca Juga : [Cerpen] Faith karya Amerta Delavera Ardani
Bapak hanya bisa terdiam, aku mengerti posisinya sebagai anak sangatlah berat seperti kebanyakan anak pada umumnya. Siapa yang tidak sedih pada momen seperti ini?
Wajahnya memang tenang yang dia tampakkan, tapi tidak untuk hatinya.
Bapak tersenyum tipis. "Semua pasti rindu, apalagi kamu. Jangan sampai kamu tidak mendoakan karena kamu juga selalu disayang," ucapnya lalu masuk ke rumah.
Apakah kau tahu Kek? Hari-hariku selalu baik, aku sudah masuk ke perguruan tinggi. Lingkungan juga mendukung, aku harap kakek selalu tenang di alam sana. Semuanya baik di sini. Aku terus mengingat hal-hal baik yang telah kita lakukan sebelumnya. Kek, senyuman yang kamu tampakkan kemarin ternyata untuk terakhir kalinya. Hari ini sudah tak ada yang ingin tahu bagaimana tugas sekolah? Hasil raport? Kondisi? Semuanya.
Aku hanya ingin bilang, jika momen itu terulang aku akan menjawab dengan panjang Kek, semakin lama di bumi untuk mendengar cerita tak penting pada diri ini. Semoga tenang di alam sana.
Baca Juga : [Cerpen] Hari Raya Di Kampung Halaman - Jean
-Tamat-