Ilana Prameswari, gadis berusia 6 tahun itu berlari pulang ke rumah setelah mendengar ibunya pulang dari Jakarta. Sialnya kakak perempuannya sudah pulang duluan meninggalkannya yang masih piket. Bergegas mempercepat laju sambil membayangkan oleh-oleh apa yang akan dia dapat. Rumahnya yang cukup jauh dari sekolah membuat Ilana sedikit lelah karena terus berlari apalagi jalan menuju rumahnya terus menanjak membuat nafasnya kiah terengah-engah. Tapi tak apa dia akan segera bertemu ibu.
“Ibukk!!!!” Seru Ilana melempar tasnya sembarangan.
Ibunya melirik Ilana bertanya kabar anak keduanya, di sampingnya sudah ada Nuria Kakak perempuan Ilana yang tengah sibuk memilah baju oleh-oleh sang ibu. Ilana mendekat ingin ikut memilih baju untuknya.
“Kamu yang ini, ini sudah dipilih kakakmu.” Ujar sang ibu menunjukkan baju gamis berwarna biru.
Ilana menatap ibunya lalu melirik baju milik kakaknya yang tampak lebih cantik dari miliknya. “Ilana mau yang itu!”
“Nggak bisa! Ini punyaku lagian ini pasti terlalu besar dibadanmu.” Jawab Nuria sambil menjulurkan lidahnya.
“Sudah-sudah jangan ribut! Bajunya sama hanya beda motif dan warna saja.”
Baca Juga : [Cerpen] Mengendapkan Rasa - Septiani Suryani
Ilana menunduk lesu, sedikit kecewa karena dia tak suka baju biru ini. Tapi tak apa dia tetap mencoba tersenyum. Ilana beranjak menuju kamarnya untuk berganti baju., lalu segera makan perutnya sudah mendemo untuk segera diisi setelah tenaganya terkuras habis untuk berlari.
Di meja makan sudah ada ayah yang baru saja pulang dari kebun, ibu, dan kakaknya. Ilana segera menempatkan diri di sebelah Nuria, melihat menu makan siang yang cukup berbeda sedikit mewah dari biasanya yang dimasak bapak. Sayur bening bakso, ayam goreng, dan tempe serta sambal terasi yang menggugah selera. Setelah semua berkumpul masing-masing mulai memakan makanannya dengan tenang hingga selesai.
Minggu demi minggu berlalu, semenjak ibu pulang rumah jadi sering masak berbagai menu. Tapi ternyata itu hanyalah awalan karena setelah beberapa bulan semuanya mulai berubah menjadi menyakitkan untuk Ilana dan Nuria. Seperti pagi ini saat mereka hendak berangkat sekolah.
“Kamu ini taunya cuma duit terus! Lihat utangmu itu dimana-mana. Apa menurutmu aku ini tidak malu dengan tetangga setiap hari Bu Hartini menagih ke rumah!”
Ibu tak mau kalah, “ Menurutmu apa cukup uang segitu untuk kebutuhan rumah?” tanya Ibu berteriak “ Belum lagi Nuria dan Ilana juga perlu uang saku!” Lanjutnya
“Ilana dan Nuria uang saku 500 perak Bu ! Harusnya tidak perlu kita makan makanan mewah setiap hari.”
“ Halah sudahlah mas, beras perkilo sudah mahal. Kalau kamu tidak percaya kamu sendiri saja yang mengatur uang!”
“Maksudmu apa? Berani kamu sama suami?! Diam atau ku lempar gelas ini!”
Perdebatan masih berlanjut sementara Ilana dan Nuria memilih pergi sekolah tanpa sarapan dan berpamitan. Biarlah mereka tak mendapat uang saku dari pada harus membuat orang tua mereka semakin keras bertengkar. Ini sudah ketiga kalinya semenjak ibu pulang, rumah yang awalnya hangat setelah ibu pulang ternyata hanya bertahan beberapa bulan. Setelahnya ribut entah apa yang diributkan.
Baca Juga : [Cerpen] Hamka Dan Goresan Hati - Nurul Afifah
***
Ilana menghela nafas panjang saat ingatan 15 tahun silam kembali muncul di ingatannya. Melirik bayinya yang tertidur lelap, Ilana memilih untuk membuka ponsel mengirimi pesan suaminya untuk membelikan pampers Alena. Putri kecil Ilana dan suami, Yaa Ilana memang menikah muda saat umunya 20 tahun dan suami berumur 23 tahun. Beberapa bulan setelah menikah Ia langsung diberi titipan dan sekarang usia anaknya sudah 2 bulan.
Setelah menyelimuti Alena, Ilana bergegas menuju dapur. Sudah pukul 4 sore sebentar lagi suaminya akan pulang dan Ilana akan segera memasak. Menu Sayur bening kembali mengingatkannya pada memori masa kecilnya. Enggan melanjutkan pikiran Ilana memilih menyetel musik melalui headphone. Sembari memasak dan bersenandung membuat moodnya kembali bagus.
“Sayangg.”
Ilana terkejut ketika sebuah tangan memeluknya dari belakang. Menoleh, Ilana tersenyum melihat wajah suaminya yang kini tengah mencium pipinya.
“Mas pulang kok aku nggak denger motornya.”
Alif terkekeh, “Ya jelas, kamu pakai headphone volume full sayangku.”
“Ah iya!! Aku bahkan sampai lupa.”
“Kamu ini, Oh iya masak apa hari ini? Harum sekali.”
Ilana menunjuk sayur bening yang sedang ia masak, Alif membulatkan mulutnya.
“Pampers Alena mana?”
Alif menunjukkan keresek, “Tara, aku nggak lupa yang, ini ada snack kesukaan kamu tadi sekalian soalnya lagi promo.” Ucap Alif
Ilana tersenyum, bersyukur suaminya sangat perhatian dan mencintaiku. Ilana melanjutkan memasak sementara suaminya pergi untuk mandi. Setelah beberapa saat semuanya siap, makanan sudah tertata di meja makan. Ilana kembali ke kamar melihat Alena yang masih tertidur, Ilana sudah mandi tadi jadi sekarang sambil menunggu suami selesai mandi, ia membuka ponselnya kembali ada pesan dari Nuria yang mengatakan Ibu semakin terlilit hutang. Ilana menghembuskan nafas kasar memikirkan keluarganya.
Baca Juga : [Cerpen] Jangan Tidur Waktu Asar - Pena Malam
****
Pranggg!!!
Suara panci berkelontang dari dapur disusul teriakan ayah.
“KAMU INI BENAR-BENAR! Aku kerja cuma jadi tukang angkut kayu di hutan Bu, apa kamu ini tidak bisa sedikit saja mengerti kalau aku hanya buruh?!”
“Mas! Aku hutang juga buat keluarga bukan untuk kesenanganku sendiri.”
Plakk!
Suara tamparan terdengar nyaring ketika tangan ayah melayang ke pipi ibu, Ilana melihat dengan jelas bagaimana ibu sampai menoleh saking kerasnya tamparan.
“Ayahh!!!Sudah kasihan ibu!” Seru Ilana mencoba memisah pertengkaran yang kesekian kalinya. Sementara Nuria menangis ketakutan.
“Jangan ikut campur kamu! Masuk kamar!” Bentak Ayah.
Ilana menggeleng kuat, mencoba berani. “Tidak yah! Aku akan tetap di sini samai kalian berhenti bertengkar!”
“Masuk kamar atau ayah akan memukulmu juga!”
Ilana tetap menggeleng, berdiri merentangkan tangan membela ibunya.
“Dasar anak keras kepala!” Ucap Ayah lalu melenggang pergi membanting pintu.
Setelah ayah pergi, ilana melihat ibunya menangis tak tau harus berbuat apa Ilana hanya diam menemani Ibunya. Perlahan Nuria juga mendekat ikut menemani.
Baca Juga : [Cerpen] Membias Samar - Daypen
Beberapa hari setelah itu, sepulang sekolah Ilana merebahkan tubuh di kasur karena lelah di sekolah dan jalan kaki ke rumah. Nuria kakaknya belum pulang karena Nuria berada di kelas 3 jadi akan pulang lebih siang dari Ilana. Saking lelahnya tanpa sadar Ilana tertidur lelap.
“Anak taunya Cuma tidur!” Seru sang Ibu
“Bangun!”
Ilana menggeliat mengucek matanya. “Ilana capek Bu nanti kalau Ilana sudah istirahat Ilana akan membantu.” Jawab Ilana sambil terpejam. Namun belum juga kembali tidur Ilana terkejut ketika tubuhnya ditarik kencang hingga terjatuh dari dipan.
Brukkk!!
“Aduh!” Pekik Ilana
“Kamu pikir yang capek Cuma kamu hah?!” bentak Ibu,
“Tapi Ilana memang capek Bu,”
“Jawab terus ya! Hah berani kamu ya sama orang tua?!” Teriak sang Ibu sambil menjambak rambut Ilana lalu membenturkan kepalanya ke lantai tanah.
“Ampun Bu sakit! Ampunn!!”
“Berani ya kamu sama ibu! Di suruh bangun saja ngejawab terus!” Teriak ibu sambik terus membenturkan kepala Ilana membuat Ilana semakin menangis kencang.
“Sakit bu! Hentikan!!” Namun ibunya seakan tuli mendengar teriakan anaknya, Ibunya melepaskan Ilana ketika suara Ayah terdengar.
“Diam kamu ya! Awas kalau kamu mengadu! Kalau kemu mengadu kamu mau ibu dibunuh ayahmu?!” ancam sang ibu membuat Ilana segera menghentikan tangisnya lalu masuk ke kamar. Ternyata Kakaknya sudah pergi mengaji, Ilana biasanya juga ikut mengaji tapi karena tertidur Ilana jadi tertinggal, rasanya Ilana menyesal tidur, kalau saja Ilana tidak tertidur pasti Ilana tidak akan dipukul.
Bersambung...
Rekomendasi Buku Kumpulan Cerpen Terbitan Penadiksi :