Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] Aksara Hati Sang Penyair - Dyramifth Dyra

Sumber gambar : https://pixabay.com/vectors/for-you-hearts-red-valentine-love-2198772/

AKSARA HATI SANG PENYAIR 

Penulis : Dyramifth Dyra 


Subuh itu masih remang, sang fajar masih terus berusaha berpendar terang. Masjid-masjid memutar murottal ayat suci Al-Quran. Menyambut adzan yang sebentar lagi datang. Pada sebuah pesantren, suara-suara santriwan kecil berlarian menuju tempat berwudhu, mereka ramai berebut untuk berwudhu lebih dulu. 


Dari kejauhan aku awasi mereka sembari menahan rasa kantuk yang masih tersisa. Aku terlalu asyik menulis puisi sampai larut. Hah, aku bahkan melewatkan tahajudku karena hobiku itu. Ampuni aku ya Allah. 


“Ustadz, tolong! Itu si Nizam jatuh,” adu salah satu santri yang ku kenali bernama Fuad bersama temannya, dengan wajah panik menghampiri, menarik tanganku. 


“Kebiasaan deh, gak pakai salam. Terus dimana Nizam sekarang?” tanyaku. 


“Ada di tempat wudhu Ustadz, lagi nangis,” tambah Amry yang juga sebagai dengan Fuad. 


“Ayo, mari kita lihat,” kataku ikut panik. 


Bagaimana tidak, mereka dititipkan oleh orang tua mereka disini untuk menuntut ilmu, jika ada apa-apa tentu tanggung jawabku sebagai seorang guru akan di pertanyakan. Menjaga dan membimbing mereka adalah amanah bagiku. Dan aku dengan senang hati melakukannya.

Baca Juga : [Cerpen] Tragedi Cinta Di Bumi Prambanan (Yohana Restu)


Ku dekati Nizam yang meringis menahan sakit, pada lutut kirinya yang mengeluarkan cairan merah terlihat kulit memar mengelupas.


“Abis, tadi Amin dorong-dorong Nizam. Jadi jatuh,” adu Nizam dengan masih dengan tangis sesegukan.


“Gak, orang dia jatuh sendiri kok,” elak Amin tidak terima. 


“Fuad tadi lihat kok, waktu Amin dorong Nizam,” timpal Fuad membela Nizam. 


“Gak.” 


Amin tetap tidak terima, akhirnya anak-anak itu riuh saling tuduh menuduh membuat kepalaku sedikit sakit. 


“Udah ya,” leraiku, “itu udah mau adzan, baris! Dan wudhunya gantian, jangan ada lagi yang dorong-dorongan!” tegasku. 


“Na'am, Ustadz Ali.” Akhirnya mereka patuh. 


“Amin, sengaja atau tidak kamu dorong Nizam tadi, ayo minta maaf,” titahku. 


Amin pun mau meminta maaf kepada Nizam, walaupun tadi mendorong Nizam karena tidak sengaja.

Baca Juga : [Cerpen] Membias Samar - Daypen


Bulan Februari yang hampir habis, kali ini aku harus menunggu Nada lagi, menunggu chat darinya untuk melanjutkan sambung puisi kami yang akan kami terbitkan bersama menjadi karya antologi. Padahal tubuh penatku seolah meronta meminta istirahat. 


Maklum, aktivitas ku lumayan banyak akhir bulan ini. Kegiatan kampus, kegiatan pesantren di Madrasah Diniyah tempatku mengajar juga lumayan membuatku harus pandai mengatur waktu. 


Sepertinya Nada tak menghubungiku lagi. Entah kemana dia. Aku putuskan untuk memeriksa naskah puisiku pada malam kemarin saja.


Pada malam berikutnya, akhirnya Nada menghubungiku kembali. Chat dari nya berisik berbunyi sejak tadi pada notifikasi ponselku.


Nada. 

[Malam ini, Apa kita akan lanjut, kak Ali?]


Aku membalas. 

[Lanjut kemana? KUA mau? Ayok!] 


Nada. 

[Bercanda mulu, entar ada yang marah loh, kak] 


Ku balas begini. 

[Haha, abis dari tadi gabut. Kelamaan nungguin chat dari kamu. Kemana aja gak ada kabar?] 


Nada membalas. 

[Gak tau apa. Orang kemaren aku sakit sampe dua hari] 


Aku ketik begini. 

[Orang gak kasih kabar, mana bisa tau. Aku lho nungguin kamu sampe ngantuk ketiduran di meja. Untung gak kejengkang] 


Nada

[Ya maaf,kak Ali. Kemarin gak sempet kasih kabar, karena harus bolak-balik ke dokter]


Aku. 

[Ya udah. Gak apa-apa. Oke, nanti kalo udah ngantuk bilang, ya] 


Nada. 

[Iya kak Ali. Kalo gak bales ya berarti ketiduran] 


Lalu dia mengirimkan emoji meringis dan tertawa kepadaku. Aku pun membalas lagi. 


[Gak boleh tidur sebelum ada kata pamit] 


Nada membalas. 


[Ngah! Pamit. Nah itu udah pamit] 


Aku. 

[Ya maksudnya. Kalo mau tidur tuh bilang. Biar aku gak nungguin] 


Nada kembali mengirimi aku emoji tertawa lebar. 


[Iya, iya. Jadi berasa ngerjain orang nih aku. Oke, sampe jam setengah sembilan aku masih kuat melek kok]


Aku.

[Oke, ayo mulai. Aku duluan, deh]


Kami pun melanjutkan berbalas puisi hingga beberapa waktu, kali ini waktunya lebih pendek mengingat Nada yang belum benar-benar sehat.


Bulan di langit ku mulai menyapa

Setenang rindu yang kau sampaikan 

Meski tak harus selalu ada

Akan selalu ku usahakan untuk tidak membuatmu kecewa 


Apapun yang kau sampaikan

Aku terima dengan kekaguman

Terima kasih untuk hal-hal baik yang diberikan

Semoga selalu diberi ketabahan, untuk setiap rindu yang mencekam.

Baca Juga : [Cerpen] Cincin yang Berbicara - Lalitya Nandini


Aku dan Nada sama-sama pernah menunggu, aku dan kesibukanku yang menggunung ini sama-sama sering izin pada proyek antologi kami. Aku yang masih berstatus mahasiswa sebuah kampus, kegiatanku mengajar di Madrasah Diniyah sebuah pondok pesantren, belum lagi organisasi lain yang aku ikuti. Itu membuatku harus pandai mengatur waktu, bahkan tak jarang hal itu membuat ku bisa sakit karena kelelahan.


Tapi aku selalu optimis, proyek antologi ini akan selesai pada waktunya. Meskipun kami tak selalu bisa membuat puisi bersama. Dan aku berharap hubungan persahabatan kami tetap berjalan baik sampai kapanpun.


Sore itu ada yang katanya datang menemuiku. Tapi entah siapa aku belum tahu.


“Afwan,Ustadz Ali. Ada ukhti mau bertemu antum.”


Pak Dullah, tukang kebun pesantren tiba-tiba memberi tahuku. Saat itu, aku sedang duduk bersantai dan mendengar sholawat pada ponselku.


“Ukhti? Perempuan pak?” aku meyakinkan.


“Na'am Ustadz, ukhti nya nunggu di depan pesantren, di warung mbok Nah. Mungkin kenalan antum Ustadz,” terang pak Dullah. 


“Kenalan?” 


Aku kembali mengingat. Namun tak mengingat siapapun ukhti yang ku kenal.

Baca Juga : [Cerpen] Fatin - Maulidya


“Oh, anu Ustadz. Tadi ukhti ya sempet nyebut nama. Namanya. Aduh, saya lupa. Na… na… aduh siapa ya?” Pak Dullah berusaha mengingat.Namun juga sulit dan gagal. 


“Na… Nada, pak?” 


Pikiran ku langsung bisa menebak jika yang datang adalah Nada. Pasti dia sudah tak salah lagi. Tapi kok tadi malam dia tidak bilang mau menemuiku.


"Sepertinya iya Ustadz.” 


Bergegas aku menuju warung yang di maksud Pak Dullah, aku tak membawa apapun lagi saking senangnya.


Sesampainya, senyum santun menyapaku dengan lembut. Suaranya sangat indah bagi pendengaranku. Masyaallah. Subhanallah. Aku terpaku sejenak.


Dia bukan orang yang ku maksud. Dia bidadari. Bidadari hatiku. Astagfirullah. Mengapa aku sampai begini memandangnya. Ampuni mataku yang nakal, larut memandang sebelum mahram. 


“Afwan, kak Ali. Nafa gak ngabarin kalo mau datang. Abis pulang kondangan dari rumah teman. Kok tiba-tiba kepikiran kesini,” terang Nafa padaku. 


“Gak apa-apa. Mampir aja. Nafa sama siapa kesini?” tanpaku. 


“Sama Aysha. Tuh dia duduk di pojokkan,” tunjuk Nafa pada teman yang menemaninya.


Aku tersenyum kearah Aysha. Aysha juga membalas senyumku. 

Baca Juga : [Cerpen] Masa SMA - Nisa Habibah Ramadhani


“Tapi aku gak bisa lama. Aku harus balik karena nanti kesorean,” terangnya. 


“Ya, ya aku paham.”


Aku dan Nafa pun ngobrol sebentar sambil makan bakso Mbok Nah. Aku tiba-tiba merasa bingung untuk memberi apa padanya, setelah jauh - jauh dia menyempatkan waktu untuk datang menemuiku. 


Ku raba saku baju, hanya menemukan sebuah pena. Pena yang biasa untuk memberi nilai para santri ku. Pena yang biasa menulis aksara puisiku. 


“Apa yang bikin kamu pengen datang kesini?” tanyaku. 


“Ya gak tau tiba-tiba pengen kesini aja gitu” 


“Gimana dengan kita? Apa kita masih?” 


“Iya masih,” Jawabnya dengan suara yang ragu bercampur malu, “Masih temenan kita,” tambahnya seraya tersenyum. 


“Teman hidup.”


Nafa hanya diam. Namun dari wajahnya yang memerah aku tahu isi hatinya. Hatinya mungkin adalah diriku. Kusodorkan padanya pena yang sejak tadi kugenggam. Dia mengernyitkan dahinya. 


“Untuk apa kak penanya?”


Aku menghela nafas sejenak sebelum bicara. 


“Tolong, simpan pena ini. Semoga bisa untuk terus menulis namaku di hatimu. Kalo nanti aku tiba-tiba mengecewakan dan gak pernah datang ke rumahmu, anggap ini sebagai kenang-kenangan,” ungkapku sungguh. 


Nafa tercekat  sebentar lalu menutup mulutnya. 

Baca Juga : [Cerpen] Suatu Pertanda - Fukuda Maruyama


“Aku belum ngeh,” balasnya. 


“InsyaAllah, suatu hari aku akan menemui Abimu,” kataku.


Nafa hanya mengangguk malu-malu padaku. Tanpa mengucapkan apapun. Absurd sekali aku ini memang, mengungkapkan suka hanya dengan sebuah pena. Harus nya beli bunga, boneka, booking tempat mewah. Ini malah di warung bakso.


“Yakin. Mau ketemu Abi? Kalo Abi galak gimana?” Nafa senyam-senyum terselubung. 


“Ya. Gak masalah Abi galak. Kan dia jagain kamu, yang penting anak nya gak galak sama kakak,” ujarku menyakinkan. 


“Seyakin itu?”


“Ya, insya Allah yakin. Bismillah aja,” 


“Serius banget sih kalian? Kok aku yang jadi baper ya?” Aysha menyela pembicaraan kami sambil duduk di samping Nafa. 


Sore itu hatiku sungguh berbunga, seraya pulang menuju area pesantren aku mengantongi harapan baru. Suatu hari nanti aku akan memiliki pendamping wanita soleha. Nafa. Ya, dialah orangnya. 


“Ngapain,  Pak Dullah nyusulin kesini?” 


Pak Dullah menghentikan langkah saat kami berpapasan. 


“Ya, saya mau mastiin, Gimana Ustadz? Udah ketemu sama ukhti yang tadi nyariin antum?” tanyanya. 


“Udah. Ukhti nya udah pulang barusan,” jawabku. 


“Cepet amat, gak di ajak shoping dulu gitu.” 


“Ya kali. Saya berjalan beriringan sama yang belum muhrim, apa itu baik?” 


“Ya, rada aneh sih. Antum kan Ustadz.”


“Nah, iya. Itu juga yang saya jaga.” 


“Makanya, cepet Bismilah. Halalin tuh, keduluan pengagum lain baru tau rasa,” timpal pak Dullah. 


“Wah, saya masih butuh modal banyak pak. Bukan hanya sekedar Bismilah doang.”


Mulai hari ini aku akan yakini, bahwa semua yang kini terjadi adalah ketetapan Sang Maha Membolak-balikan hati.

Baca Juga : [Cerpen] Steva oh Steva = Fathul Mubin


Tapi, Ya Allah. Bolehkah kupinta kokohkanlah ketetapan hati ini pada Nafa. Jadikanlah kami perantara atas tanda-tanya kuasaMu. Amin. 


Kau jaga slalu hatimu 

Saat jauh dariku…. 

Tunggu aku kembali… 


Lagu milik seventen ini, rasanya sangat pantas mengiringi hatiku yang berbunga. Ya, bunga yang penuh harapan. 


Tamat


Bionarasi :

Dyramifth Dyra adalah seorang wanita sederhana yang mulai menekuni hobi puisinya sejak di bangku Mts. Sejauh ini pernah menyumbangkan karyanya untuk beberapa buku antologi. Diantaranya adalah antologi puisi : Tentang Hujan (2023), Pinasthika Laksamana Kumpulan Puisi Akrostik (2024). Antologi Cerpen : Ada Cinta Dalam Cerita Kita(2024). 

Facebook : Dyramifth Dyra.

Diberdayakan oleh Blogger.