HASHWEH OMAR
"Boooom!" Kembali terdengar suara menggelegar ke udara.
Kebulan asap kelabu membumbung tinggi menutupi langit-langit cerahnya. Rumah serta bangunan yang terbuat dari bebatuan yang kokoh kini ambruk seketika, puingnya berserakan dimana-mana. Suasana yang mulanya tenang menjadi riuh, bersahutan, semua orang yang tengah bertransaksi dipasar, berlalu lalang menarik diri ketempat yang dirasa cukup melindungi.
"Omar, Omar, Khalisa, Khalisa!" Bola matanya berputar liar melihat sekeliling. Tak tampak lagi dua buah hatinya yang sedari tadi sedang memilah buah jeruk.
Seorang laki-laki berkumis tebal yang mengenakan shall berwarna hitam di leher, berjalan menyusuri tiap lorong. Langkahnya gontai tidak beraturan. Matanya terus meneyerjap menyusuri tiap balik dinding kokoh yang terbuat dari bebatuan.
"Abu!" Gadis kecil berambut pirang ikal sebahu memanggil. Disisinya seorang anak laki-laki menggenggam erat tangannya.
"Kita harus keluar dari pasar, cepat!" Titah ayahnya menggendong Omar. Beranjak dari kolong meja kayu yang berisikan tumpukan buah zaitun.
Ketiganya berlarian menghampiri kerumunan orang berpakaian seragam lengkap, sepatu buds hitam, dan mengenakan topi baret. Membawa jauh mereka dari tempat kepulan asap, nyala yang menari-nari melahap tiap apa yang ada di depannya serta suara dentuman yang terus menerus terdengar. Tak hanya mereka bertiga, beberapa orang memang dikumpulkan menjadi satu rombongan evakuasi.
Rombongan dibawa semakin menjauh dari lokasi pasar, perlahan gaduhnya sudah tak terdengar lagi. Sesaat bisa bernafas lega dan bercengkrama kembali. Ada senyum getir di wajah mereka. Tangis pilu kehilangan satu sama lain kala mengingat apa yang baru saja terjadi.
Baca Juga : [Cerpen] Mimpiku Bersama Sahabat - Siti Khusnul Shoffiyah
Derai air mata meratapi kehilangan. Tergambar di wajah kuyu mereka, seorang anak kehilangan sosok untuk bernaung, di sisi lain, satu pasang hati kehilangan buah hati mereka. Satu belahan hati yang kehilangan belahan hati lainnya.
Hembusan angin sayup-sayup menerpa kain berwarna putih lusuh bertulang besi yang menancap ke tanah. Seorang anak kecil menatap langit cerah biru berhiaskan awan putih. Menyandarkan bahunya ke tiang penyangga.
Sesekali dirogohnya saku jaket coklat tebal yang membalut tubuh. Selembar foto seorang wanita cantik, ia keluarkan dari dalamnya. Dipandangi begitu lekat.
"Kamu merindukannya Omar?"
Khalisa, mengatupkan kedua tangannya ke dada, berjalan mendekati anak lelaki berusia lima tahun itu. "Langitkan saja doa mu untuk um yang lebih dulu gugur dari kita." Ucapnya, lebih tegar dari Omar.
Wajahnya menoleh mencari sumber suara. Kemudian kembali menatap foto. Ia memasukkan foto wanita cantik berpenutup kepala warna hitam ke dalam saku. "Aku merindukan hashweh buatan um saat berbuka puasa, aku bosan dengan makanan kaleng disini."
Baca Juga : [Cerpen] Buka Puasa Bersama - Uli Nasifa
"Kamu menginginkannya?"
"Hmmmmm." Kedua matanya berkaca-kaca. Mengangguk pelan.
"Tunggulah disini aku akan mencarikannya untuk mu."
*
Khalisa berjalan melewati jejeran tenda. Mendatangi tempat dimana biasa dibagikannya makanan untuk dirinya dan teman lain yang tinggal disana. Menemui seorang juru masak. Dan meminta untuk dibuatkan satu porsi nasi lengkap dengan daging giling serta rempah-rempah yang harum. Hasweh, yang merupakan makanan rumahan khas negara yang terkenal dengan simbol buah semangka.
Tepat suara adzan maghrib mengalun indah, suara sirine mobil-mobil tim penyelamat masuk ke lokasi tempat bernaung. Membawa kembali mereka yang gugur, tubuhnya terbujur kaku berderetan terbungkus kantung tebal.
Gadis bertulang hidung tinggi itu kembali ke tenda tempat Abu, Omar dan dirinya beristirahat. Mirisnya tak ditemui seorang pun disana. Dibawanya satu mangkuk hashweh terus berkeliling tenda. Hingga datang seseorang yang menemuinya tiba-tiba memeluk erat dan menangis.
"Abu dan yang lainnya pergi mengambil kembali barang yang masih bisa dimanfaatkan di tempat tinggal mereka yang sudah tinggal puing reruntuhan, setelah dinyatakan aman. Namun mereka tidak mengikuti petunjuk dengan baik. Omar yang saat itu tak ingin ditinggal sendiri pun ikut bersamanya."
"Dentuman itu kembali terjadi. Dan mereka tak sempat menghindari." Ujarnya lagi.
Gadis kecil yang berusia tiga tahun lebih tua dari Omar berlari ke arah sumber suara sirine. Kedua tangannya tetap memegang erat mangkuk hashweh. Di cari nya satu persatu yang telah gugur disana. Dari satu tenda ke tenda lainnya.
Kakinya tertekuk lemas, tangisnya pecah tumpah ruah. Saat dua orang berbaju putih dengan mulut tertutup masker tengah mengeluarkan tandu, disana terbaring wajah seorang lelaki tampan, dengan perawakan gagah tinggi, yang selama ini menjadi pelindung bagi dirinya dan disampingnya wajah mungil yang tak berdosa.
Baca Juga : [Cerpen] Aksara Hati Sang Penyair - Dyramifth Dyra
Ia berlari meraih tandu yang mulai di letakkan masuk berkumpul dengan yang lain. "Bangun Omar, aku bawakan hasweh untuk mu!" Tangannya menyodorkan semangkuk makanan. Bulir-bulir bening masih terus membasahi pipi manisnya.
"Kamu memintanya bukan?"
Suaranya kian melemah. "Omar, Omar bangun!"
"Omar!"
"Abu, katakan pada Omar, aku membawakan hasweh untuknya!" Khalisa mengguncang-guncang badan yang tak mampu lagi bergeming.
"Abu, Omar!"
Dan lagi. Air matanya terus mengalir deras. Ia mengusapnya sendiri. Tubuhnya terduduk kaku, tatapannya kosong di hadapan abu dan Omar yang tak lagi berdenyut nadinya. Satu mangkuk makanan berisikan nasi dan daging giling beserta rempah harum, terjatuh dihadapannya.
Bunga kembali berguguran, setelah um, abu dan Omar entah kapan giliran dirinya. Itu dalam sekejap bisa saja terjadi. Tidak mengenal waktu. Pagi, siang dan malam. Tidak mengenal peristiwa. Mereka bisa merenggutnya kapan saja.
Baca Juga : [Cerpen] Gambar Diri Yang Merusak - Bundo Milanisto
"Apapun yang terjadi, aku takkan meninggalkan bumi Palestina!" Tekadnya dalam hati. Tempat dimana ia lahir dan juga bagian dari jiwanya berguguran.
End.
Brebes, 15 April 2024