Jejak-Jejak Razan
Oleh : Devita Andriyani
Pagi hari di Salatiga. Seperti biasa pada saat pagi mulai menjelang sudah menjadi kebiasaan Mas Razan sibuk membersihkan sampah-sampah, debu-debu di setiap ruangan di rumah. Diiringi suara-suara sepeda motor yang bersliweran di depan halaman rumah suasana pagi itu jadi tambah ramai. Tak ketinggalan suara seorang nenek yang berjualan snack jajan pasar dengan menggunakan tenongan ikut menghiasi waktu di pagi hari. Aktivitas yang dijalani Mas Razan sudah berlangsung selama berpuluh tahun. Mas Razan selalu bersyukur atas kehidupan yang dialaminya.
Tiap ruangan di rumahku menjadi tempat Mas Razan untuk menghabiskan waktu pada pagi hari. Debu-debu, sampah-sampah yang ada di tiap ruang rumah menjadi tanggung jawab Mas Razan untuk dibersihkan. Sekalipun tugasnya tak begitu berat hanya membersihkan rumah, Mas Razan melakukan itu dengan senang hati dan tidak sembarangan. Mas Razan ingin mengerjakan tugas itu sungguh-sungguh meski jarang ada orang memujinya. Kalau pun ada yang memuji paling hanya satu dua tetangga yang lewat depan rumahku saat melihatnya membersihkan halaman rumah.
Bagi Mas Razan tugas pekerjaan membersihkan tiap ruang di rumah adalah suatu pelayanan yang mulia. Meski yang dilakukan Mas Razan adalah pekerjaan sederhana, ia tak merasa pekerjaan ini rendah. Dengan tulus dan ikhlas Mas Razan melakukan pekerjaan itu.
Mas Razan memang bukan bagian keluargaku. Mas Razan hanya tetangga dekat yang diminta tolong oleh Ayahku untuk membersihkan halaman rumah dan setiap ruangan yang ada di rumah. Mas Razan tidak mendapat upah dari ia bekerja. Ayahku mempekerjakan Mas Razan karena ia tidak punya kesibukan bekerja. Mas Razan hanyalah seorang tunawicara yang tidak punya kelebihan dalam dirinya. Sebagai balas jasa karena sudah membersihkan setiap sudut ruangan di rumah, Mas Razan diberi beras untuk satu bulan dan makan secukupnya di rumah keluarga kami.
Terkadang aku kasihan melihat Mas Razan. Seorang tunawicara yang hanya menjadi tukang bersih rumah keluarga kami. Selain itu kondisi Mas Razan yang hanya ditemani neneknya yang sudah berusia 78 tahun. Saat ini neneknya dengan kondisi fisik mulai menurun karena usia masih bekerja berjualan nasi jagung di pasar Blauran Salatiga.
Baca Juga : [Cerpen] Aku Dan Depresi - Ainur Hasanah
Penghasilan dari neneknya pun tak banyak. Tak cukup untuk penghidupan sehari -hari. Dalam sehari rata-rata nasi jagung nenek Mas Razan hanya terjual antara 4 - 5 hingga bungkus. Namun tak pernah aku melihat raut wajah Mas Razan bersedih. Mas Razan selalu pandai menikmati setiap berkat yang Tuhan beri.
Sudah hampir dua tahun Mas Razan bekerja membersihkan rumah keluarga kami. Kehadiran Mas Razan membuat aku jadi akrab dengannya. Dalam berkomunikasi dengan Mas Razan aku menggunakan bahasa isyarat. Lama aku berhubungan baik dengan Mas Razan, neneknya tidak setuju dengan hubungan pertemanan ini. Nenek Mas Razan kerap menghalangi Mas Razan untuk bermain denganku. Hal ini karena aku adalah anak orang kaya. Sementara Mas Razan tidak. Sikap dari nenek Mas Razan inilah yang membuatnya kerap murung di rumah.
Tak hanya itu Ayahku sebetulnya juga tak senang jika terlalu akrab dengan Mas Razan. Alasannya adalah karena aku lahir dari keluarga kaya. Sementara Mas Razan hanyalah anak yang lahir dari keluarga sederhana. Keakraban di antara aku dan Mas Razan mulai sering diamati oleh Ayah akhir-akhir ini.
Perbedaan latar belakang kehidupan itulah yang membuat aku dan Mas Razan jadi jarang bertemu. Aku jadi sangat sedih dengan kondisi ini. Kenapa perbedaan latar belakang kehidupan keluarga menjadi alasan untuk aku tak bergaul dengan Mas Razan.
Siang hari setelah Mas Razan selesai membersihkan rumah dan mencuci pakaian, Ayah membentak aku dengan keras. Hal ini dikarenakan aku telah melanggar aturan. Kondisi itu membuat aku merasa tertekan.
Baca Juga : [CERPEN] Steva Oh Steva - Fathul Mubin
“Mesya. Jangan kamu terlalu dekat dengan Mas Razan !”
“Eh.. tidak Ayah. Mesya tidak dekat dekat dengan Mas Razan. Mesya hanya berteman biasa saja”
“Mesya kamu harus jaga jarak dengan Mas Razan. Mas Razan itu anak orang miskin. Mas Razan hanyalah seorang tunawicara. Ayah malu kamu terlalu dekat dengannya. Mas Razan di rumah ini hanya tukang bersih yang dikasi makan dan beras secukupnya. Mesya juga harus ingat jangan suka kasi barang-barangmu ke Mas Razan lagi !”
Bentakan Ayah saat itu membuat aku jadi anak yang lebih banyak mengurung diri di kamar. Terkadang sikap Ayah membuat aku jadi emosi. Aku jadi merasa sendiri tak ada teman seperti Mas Razan. Aku merasa ada bagian dalam hidupku yang hilang. Mas Razan bagiku sosok teman yang terbatas dalam komunikasi, namun aku senang dengan sikapnya. Keluguan dan kerendahan hati Mas Razan membuat aku tertarik dengannya.
“Ayah…sekarang banyak aturan saja. Mesya kan jarang main sekarang dengan Mas Razan akhir-akhir ini. Ayah sekarang kok jadi beda. Tidak seperti dulu.”
“Sudah..Mesya, kamu itu jangan terlalu banyak bicara. Ayah ingin Mesya nurut. Ayah tau yang terbaik buat Mesya. Jadi semua aturan demi kebaikan Mesya.”
“Iya Ayah …Mesya mau nurut. Mesya janji Ayah.”
“Ya begitu harusnya kamu Mesya. Ayah itu sayang sama Mesya. Kita ini orang yang hidup berkecukupan. Sebaiknya ya berteman dekat dengan orang-orang yang kehidupannya sama. Sudah kamu nggak usah terlalu perhatian sama Mas Razan. Nggak usah terlalu mikir kehidupannya. Mas Razan itu sudah dicukupi kebutuhannya dari keluarga ini.”
Semenjak Ayah memberi banyak aturan baru di rumah, aku jadi kehilangan sosok Mas Razan. Selama aku hidup hanya Mas Razan yang menjadi teman terbaikku. Teman-temanku SMP, mereka kerapkali tak setia saat aku susah. Mereka melupakanku. Bagiku sulit bisa mendapatkan sosok teman seperti Mas Razan. Mas Razan memang Tuhan kirim untukku. Kehadirannya bagai malaikat. Mas Razan adalah seorang teman yang sungguh berarti dalam hidupku. Mas Razan tidak pernah terlihat marah saat orang lain memperlakukannya tidak baik.
Baca Juga : [Cerpen] Dari Aku Untuk Kamu - Amitha Hidayanti
Sikapnya yang selalu baik pada Ayah meski kerap dibentak membuat aku bangga padanya. Di sinilah tampak kesabaran Mas Razan. Aku banyak belajar dari hidupnya. Dari kesederhanaannya yang selalu bersyukur. Mas Razan tak hanya terlihat sabar. Tapi Mas Razan selalu terlihat baik saat ada teman atau tetangga yang butuh bantuan. Pernah ada tetangga sakit stroke, Mas Razan langsung tengok. Mas Razan memang seorang yang mudah untuk berbagi dengan sesama. Meski hanya memberi senyum dan perhatian melalui bahasa isyarat.
Sejak Ayah membentak aku, rasa sedih sering menghampiri. Mas Razan mulai jauh dari hidupku. Meski kadang bertemu walau sebentar. Tapi aku jarang main dengannya. Keadaan ini sungguh tidak seperti biasa. Tapi apa boleh buat aku belajar untuk menerima keadaan ini demi mentaati aturan Ayahku.