Kepada QiN
Mungkin aku yang salah karena mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Aku tunanganmu dan mungkin juga kekasihmu. Kau paham itu. Dan berjauhan menimbulkan banyak pikiran hantu yang menyebalkan.
Storimu waktu berbuka puasa dengan mie ayam bersama beberapa temanmu kutonton sekitar pukul sembilan malam saat sedang berada di Kafe Azzahra, Gapura. Waktu itu langsung kukomen: siapa saja? Dan kau menjawab: Heppi, Ghufron, Maryam, Ika.
Aku menduga, itu bukber di luar asrama. Setelah ngomen beberapa storimu yg lain dan ternyata aku gakunjung paham, akhirnya kau berjanji menjelaskannya nanti.
Sepulang dari kafe, kita teleponan. Dan setelah ngobrol abcd lalu kau ngejelasin itu. Katamu itu bukber di luar asrama(dugaanku benar) pas usai kuliah (dan aku lupa alasanmu kenapa bisa bukber di luar). Yang kuingat, kalian berempat. Dua cowok dan dua cewek. Sepedaan. Saat itu, pikiran anehku muncul: kau boncengan sama siapa? Mungkin Maryam? Tapi kau tidak menyinggungnya sedikitpun. Obrolan mengalir ke hal-hal lain. Saat itu telah mulai ada denyut lain di jantung.
Larut malam, sekitar pukul 2, kau cerita soal Abi yang tidak membolehkanmu menyetir sepeda. Iya. Abi sebagai cinta pertamamu mungkin tampak terlalu mengekangmu. Dan sepertinya itu baik kok. Aku hanya bilang, "semoga cinta Abi yang begitu kuat tidak merugikanku kelak," dengan nada berkelakar. Kamu hanya tertawa.
Hampir pukul 3, tetiba pikiranku mendorongku untuk menanyakan yang tak kau ceritakan detail tadi. Aku mencoba menggunakan pertanyaan tidak langsung agar kau tidak kaget.
"O iya. Maryam bisa nyetir ya?"
"Katanya sih bisa. Tapi selama di sini kelihatannya gapernah nyetir deh," jawabmu.
"Loh. Terus tadi kamu boncengan sama siapa?" Daun telingaku gemetar.
"Sama Heppi," ucapmu polos tanpa sadar jawabanmu nyaris membakar telingaku.
Aku tahu, Heppi itu lelaki. Lalu kau cerita: sejak kemarin-kemarin kalau kau sedang keluar asrama dan harus berkendara, kau pasti boncengannya sama Heppi.
"Andi sebetulnya bisa nyetir. Tapi Ummi khawatir kenapa-napa kalau saya boncengan sama Andi," katamu. (Andi itu cewek).
Kamu bilang, tiap kamu keluar dan harus berkendara, kamu pasti nelfon Ummi. (Entahlah, saya tak tahu kamu jujur atau tidak soal ini). Bila ummi bertanya akan boncengan sama siapa? Kamu biasa menjawab 'yg biasa' seolah itu sudah kamu pahami bersama ummi. Dan ummi mengijinkannya.
Kamu minta ijin ke Ummi dan dengan itu kamu menganggap segala urusan selesai?
Tiba-tiba ada yang menyentuh dadaku. Seperti angin tapi tajam dan menyebarkan kesakitan.
Kau pergi bersama lelaki lain--bahkan dia adalah teman sekelasmu dan kau sudah pamit ke ummi setiap kali jalan-jalan ke luar asrama. Ya, setiap kali ke luar asrama (dan ini akan terjadi kembali di hari-hari mendatang yang kudoakan semoga tak lebih parah).
Padahal, kamu sendiri bercerita, salah seorang temanmu tengkar hebat dengan pacarnya karena boncengan dengan orang lain. (Apa tak kau dengar hati TUNANGANMU menjerit saat mendengar ceritamu?).
Terlebih, saya pernah cerita padamu, sepupu saya mendapat masalah besar dengan tunangannya sebab urusan boncengan dengan teman kampusnya. (Dan kamu tidak sadar, yang mendengar ceritamu ini adalah tunanganmu).
Ingatkah kamu, tunanganku, Abi pernah bilang, kalau kamu boncengan dengan saya maka pertunangan ini akan diakhiri? Tak kau ingat ucapan itu, tunanganku?
Ah. Mungkin kau ingat. Atau biarin saja ingatan itu sebatas ingatan. Toh sekarang kau dituntut untuk berbuat yang seharusnya kau lakukan.
Segampang itu kamu bersama orang lain di tengah larangan keras dari Abi buatmu berbuat begitu bersamaku sebagai tunanganmu?
Oh tidak tidak. Aku tidak menuntutmu melakukan hal sama bersamaku. Aku pun mustahil menyalahkan kondisi sekitarmu yang menggiringmu semudah itu boncengan. Boncengan, sungguh pun tidak dilarang Abi, memang tidak akan kulakukan. Bahkan terhadapmu. Aku paham, itu tidak elok buat santri (aku enggan bahas agama dalam urusan adat begini).
Di titik itu, aku paham. Kondisi di tempatmu menuntutmu untuk lebih bebas dari dahulu. Boncengan. Mungkin, ummi mengijinkan itu karena sebuah desakan iklim.
Dan mungkin kau tidak salah. Kau hanya jadi paku yang dipukul kondisi sekitarmu. Kau tidak dapat menghindari tuntutan sosial yang mengharuskanmu berbuat begitu. Ya, itu mungkin bukan salahmu. Itu hanya kekeliruan adat sosial kita yang tak sama!
Mungkinkah kau, di momen setiap berkali-kali boncengan itu, kamu tidak mengingat keberadaanku, tunanganmu ini? Tak kau pahamkah seperti apa perasaanku? Setega itukah?
Bolehkah bila aku meniru pertanyaan Abi: bukankah boncengan dengan teman kampus yang bukan tunanganmu justru lebih ngeri? Separah itukah tanggungjawabmu?
Tapi tidak. Bukan itu kesalahaanmu. Aku tak bisa menyalahkanmu. Bagiku, yang benar-benar salah, adalah kau seolah melupakan kesakralan pertunangan ini. Kau merasa cukup dengan diizinkan ummi. Kami di sini merasa begitu tidak ada artinya. Kami paham bagaimana agama membentuk adat keluargamu.
Aku menjadi begitu heran, kenapa kau tidak pernah merasa bersalah ketika cerita soal itu kepadaku? Sebebas itukah pikiranmu hari ini tentang pahala dan sebaliknya? Aku tak sanggup membayangkan bagaimana kemarahan bapak dan ibu bila tahu tentang ini (tidak. Mereka tidak boleh tahu. Cukup aku).
Jujur, aku tak menyalahkan perbuatanmu. Sungguh. Hanya saja, bagiku, perlu kau ingat, aku lelaki yang sepertinya memang egois. Aku tak ingin kau bisa seenaknya di situ. Sementara aku harus tidak seenaknya di sini.
Atau mungkin kau menganggapku sama dengan temanmu yang tak perlu mahatahu?
Oke, mungkin aku yang salah karena mencintaimu dengan sungguh-sungguh dan banyak berharap dan sensian. Aku salah karena mencintaimu dengan sungguh-sungguh dan banyak berharap dan sensian dan berada di tempat jauh sehingga mikir macam-macam tentangmu.
Seharusnya aku tidak berharap kamu pamit kepadaku. Karena kenyataannya bahkan untuk sekedar memberitahuku, tak pernah kau lakukan. Mungkin, ini salahku sebagai tunangan yang meminta tanggungjawab berlebihan.
Tapi maaf, tunanganku. Larangan Abi kepadamu tentang menyetir motor tampaknya merugikanku. Setidaknya saat ini.
Dan harus kuakui, aku yang salah karena mengharapkan hal-hal yang kayaknya tidak perlu kau lakukan. Hanya saja, menerima diri sendiri bersalah atas perbuatan orang lain sangat berat untuk dilakukan lelaki keras kepala macam aku. Sekali lagi, maaf.
__________________________
Khairul Anam
Sumenep