PENCURI HIDANGAN
Karya : Maya Asytaqu Ilayk
Lasmi baru saja menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya. Sejak pagi buta, wanita yang belum setahun bergelar istri itu sudah sibuk di dapur. Dari mulai menyiapkan sarapan untuk suaminya, Bayu, yang akan berangkat ke ladang. Lalu melanjutkan pekerjaan rumah lainnya dan kembali lagi berkutat di dapur menyiapkan makanan untuk makan siang suaminya.
Setiap hari Lasmi mengantar makan siang untuk Bayu di ladang.
Setelah mandi dan bersiap-siap, Lasmi pun berangkat. Melewati petak-petak sawah di bawah terik matahari yang menyengat. Sesekali angin sejuk bertiup, menggerakkan anak rambut yang keluar dari bawah caping di kepalanya.
Saat ini Bayu bekerja di ladang milik Pak Trimo. Tanpa mengenal musim, lelaki 35 tahun itu tak kenal lelah menggarap ladang siapa saja yang mau mengupahnya. Tak hanya menanam padi, terkadang Bayu juga diminta oleh pemilik ladang untuk menanam jagung atau kacang ijo.
Apa saja akan ia kerjakan demi bisa makan. Selain itu, ia juga punya keinginan menabung untuk masa depan anak-anaknya kelak. Bayu sudah memikirkan itu semua, meskipun hingga menjelang setahun pernikahannya belum ada tanda-tanda istrinya hamil.
"Akang, ayo, makan dulu!" Lasmi memanggil suaminya dari atas gubuk.
Dari kejauhan, Bayu melepas caping dan melambaikannya pada Lasmi. Pertanda bahwa ia mendengar panggilan sang istri untuk istirahat.
Baca Juga : Curahan Pesan Moral Dari Film Kartun SING
Namun, hingga setengah jam kemudian Bayu tak kunjung datang. Hari ini Lasmi memang sedikit terlambat mangantar makan siang untuknya. Melihat cuaca cerah, ia tak menyia-nyiakan begitu saja. Jadilah ia mencuci pakaian terlebih dahulu sebelum urusan dapur.
Lasmi bangkit dari duduknya. Memanggil suaminya sekali lagi. Mendengar istrinya memanggil untuk kedua kalinya, Bayu akhirnya menghampiri.
Dari kejauhan tampak laki-laki bertubuh tegap berotot itu mengulas senyum. Berjalan melewati pematang sawah, membelah hamparan padi yang mulai menguning.
"Akang, kenapa lama sekali?" Lasmi langsung menghidangkan makanan di atas gubuk. Wajahnya tampak sedikit kusut karena lama menunggu suaminya yang tak kunjung istirahat.
Bayu tampak keheranan, di depannya tersaji makanan yang sama persis seperti makan siangnya tadi. Namun, untuk menjaga perasaan istrinya ia pun duduk bersila menghadap hidangan di depannya.
"Akang kira, Adek tidak datang. Jadi, Akang makan kiriman makan siang dari Pak Trimo tadi." Bayu menerima sepiring nasi lengkap dengan sayur dan lauk dari tangan istrinya. Untung saja perutnya sudah sedikit longgar setelah berjeda lebih dari setengah jam dari makan siangnya tadi.
"Kapan, Adek pernah nggak datang mengantar makan siang, Kang? Sabarlah sedikit, banyak yang Adek kerja di rumah." Lasmi menuangkan air panas dari termos yang dibawanya untuk menyeduh kopi. "Siapa yang datang mengantar makanan, Kang?" tanyanya lagi sambil mengaduk kopi.
"Akang tidak kenal. Baru kali ini melihatnya. Mungkin keluarga Pak Trimo," sahut Bayu sambil menguyuap nasi.
"Perempuan?"
"Iya," jawab Bayu singkat.
Semakin kentara raut kusut di wajah Lasmi. Sudah capek-capek masak, eh, suaminya sudah makan dari orang lain, perempuan pula.
Baca Juga : [Cerpen] Pulang - Laily Qadarsih
***
Keesokan harinya, Lasmi tak mau sampai terlambat mengantar makanan. Begitu suaminya bertolak ke ladang, dengan masih memakai daster semalam dan rambut yang dikuncir asal-asalan, ia langsung pergi ke warung untuk belanja sayur dan lauk pauknya.
Sebelum jam dua belas siang semua pekerjaannya sudah selesai. Lasmi segera ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Badannya sudah bau kecut dan lengket.
Guyuran air membuat badannya lebih segar. Lasmi pun bergegas ke ladang menemui suaminya.
Sesampainya di sana ia melihat suaminya duduk di gubuk. Lasmi mempercepat langkahnya. Ia berpikir pasti suaminya sudah menunggu makanan yang dibawanya.
Lasmi langsung menghidangkan makanan yang dibawanya dengan rantang bersusun.
Baca Juga : [Cerpen] Harga Keluarga - Fathul Mubin
Lagi-lagi, Bayu kaget melihat masakan istrinya. Makanan itu sama persis dengan yang dibawa orang suruhan Pak Trimo, perempuan kemarin. Ya, Bayu sebenarnya sudah makan sebelum istrinya datang. Bukan karena ia sudah lapar sekali atau hal lain. Akan tetapi, karena ia penasaran. Mengapa masakan yang dibawa istrinya selalu sama dengan yang dibawa oleh perempuan yang mengaku sebagai saudara jauh Pak Trimo?
Untuk memastikan firasatnya tak salah, hingga sampai tiga kali Bayu sengaja menerima kiriman makanan dari perempuan itu.
Perempuan yang selalu datang memakai baju putih. Rambut lurus sebatas pinggangnya dibiarkan terurai begitu saja. Wajahnya cukup manis. Selain itu, orangnya juga ramah.
Sambil menemani Bayu menghabiskan makanan yang dibawanya, ia akan bercerita banyak hal. Kemudian, segera membersihkan dan membawa kembali bekas tempatnya membawa makanan.
Mengesampingkan rasa penasaraannya, tak bisa dipungkiri, Bayu cukup terhibur dengan kedatangan perempuan itu. Bagaimana pun juga, ia adalah laki-laki normal pada umumnya.
Baca Juga : [Cerpen] Kuterima Takdirmu dengan Ikhlas - Lusi Rahmawati
Pada hari ke empat, perempuan itu datang lagi ke ladang dan memanggilnya untuk makan siang. Bayu segera menghampiri seperti sebelumnya.
Kali ini bukan lagi untuk menikmati makan siangnya bersama perempuan berbaju putih itu. Melainkan karena ia sudah yakin akan firasatnya dan harus segera menghentikan semuanya. Ia tak ingin hal itu berlarut-larut yang bisa saja menjadi awal kehancuran rumah tangganya bersama Lasmi, wanita yang dicintainya sejak SMA.
"Akang, ayo dimakan. Aku masak sayur dan lauk kesukaan, Akang." Perempuan itu sibuk menyajikan makanan yang dibawanya dengan rantang bersusun seperti milik Lasmi.
Bayu melihat satu per satu makanan di hadapannya, kemudian menatap tajam pada perempuan itu. "Bawa kembali makanan itu! Aku sudah tahu siapa kamu, mulai sekarang jangan pernah datang lagi ke sini!" Bayu memperingatkannya dengan tegas.
Wajah perempuan itu pias seketika. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Segera ia bereskan makanan yang tadi sudah dihidangkannya. Perempuan itu pergi dengan raut ketakutan.
Tak selang beberapa lama, Lasmi datang. Wajah ayunya semakin terpancar di bawah terik matahari. Bayu mengagumi kecantikan istrinya dari atas gubuk. Melihat Lasmi berjalan di tengah-tengah hamparan padi yang menguning, seolah sedang melihat Dewi Sri, Dewi Padi dan Kemakmuran. Seperti yang pernah dibacanya saat masih duduk di bangku sekolah.
Baca Juga : [Cerpen] Teringat Duka Silam - Putri Simba
Lasmi senang suaminya sudah menunggunya di gubuk.
"Akang, sudah lama menunggu?
Maaf, pasti Akang sudah lapar, ya? Hari ini, Adek, masak ...."
"Sayur pucuk ubi, ikan kembung goreng, perkedel jagung dan sambal terasi." Bayu menyela ucapan istrinya.
"Wah, sejak kapan, Akang jadi cenayang?" Lasmi menatap suaminya keheranan. Ia tak menyangka sang suami bisa mengetahui masakannya padahal belum dihidangkan.
"Dek, sini." Bayu meminta istrinya duduk di dekatnya. "Mulai besok, sebelum mulai masak mandi dulu, ya, Dek. Rambutnya disisir dan diikat yang rapi," ucap Bayu sembari mengelus pucuk kepala istrinya.
"Kenapa harus begitu, Kang?"
"Beberapa hari ini, sebelum Adek datang mengantar makanan, perempuan itu selalu lebih dulu sampai. Setiap hari makanan yang dibawanya sama persis dengan yang Adek masak."
"Jadi, tadi dia datang lagi, Kang? itu sebabnya, Akang tahu apa yang Adek masak, ya?" Lasmi memastikan dugaannya. Bulu kuduknya meremang seketika.
"Iya, Dek. Perempuan itu dari kampung sebelah. Dia bisa 'mencuri' makanan orang yang tidak membersihkan diri sebelum mulai memasak. Abang pikir ini cuma dongeng sebelum tidur, tetapi ternyata benar. Abang mengalaminya sendiri," tutur Bayu kepada istrinya.
Sejak saat itu, Lasmi tak pernah menyentuh bahan makanan yang akan diolahnya sebelum mandi terlebih dahulu dan berdandan rapi sesuai perintah suaminya. Bukan hanya karena takut makanannya dicuri. Lasmi juga takut perempuan dari kampung sebelah itu mencuri hati suaminya.
TAMAT
Tarakan, 18 April 2024.