Oleh : Uli Nasifa
Rayyan dan Rizwan
Malam kian larut, hanya terdengar suara jangkrik. Angin malam berhembus kencang, menerbangkan dedaunan kering di bawah pohon tepi jalan.
Di ujung gang, nampak seorang pemuda dengan perawakan kurus tinggi yang tangah berdiri dan di sela-sela jarinya terdapat batang rokok yang menyala, Rayyan. Dan yang tengah duduk disampingnya, Rizwan. yang mendekap tas besar. Keduanya berniat, hendak berangkat kembali ke pesantren untuk melanjutkan belajar.
Sebuah boarding school yang terletak di daerah Jawa Timur, ialah tempat yang mereka tuju. Untuk sampai di tempat tersebut, membutuhkan waktu berjam-jam sehingga mereka harus merental mobil untuk bisa sampai ke sana.
Bersama dengan Giri, yang baru akan mendaftar masuk pesantren. Tentunya, ia akan diantar oleh keluarganya, yaitu Ibunya yang kerap di sapa Salma dan pamannya, Barish.
Giri dan keluarganya pun sama, tengah berdiri di ujung gang, menunggu kedatangan mobil yang sudah di pesan seniornya, Rayyan dan Rizwan.
Baca Juga : [Cerpen] Kuterima Takdirmu dengan Ikhlas - Lusi Rahmawati
Sudah satu jam lebih mereka menunggu, Om Barish, yang sudah terlihat bosan, dan letih menunggu lama, menghampiri dua sahabat yang tengah duduk di depan gang.
"Mas, mobilnya belum dateng, ya?" ucap Om Barish, menatap Rayyan kemudian berganti menatap Rizwan.
"Iya nih, Om," sahut Rayyan.
"Coba telpon lagi, Ray," ucap Rizwan sembari menyalakan ujung rokoknya.
"Oke."
Rayyan pun meraih ponsel pintarnya yang sedari tadi berdiam di saku celana jinsnya.
Jarinya menyalakan layar ponsel dan memasukkan kode kunci layar kemudian, mencari ikon gagang telepon. Mencari nama kontak supir rental mobil dan menekam tombol dial dan loud speaker.
Di ujung telepon, terdengar suara pemilik rental mengatakan bahwa 15 menit lagi ia akan sampai di tempat mereka menunggu.
"Ray, gimana sih kamu? Bisa nggak di ikutin!" ucap Om Barish dengan penuh penekanan.
"Anu, Om. Lima belas menit lagi," sahut Rayyan.
"Kok yo lama banget,"
"Maaf nggih, Om." Rayyan ngatupkan kedua tangannya di depan dada seraya menganggukkan kepala pelan, tanda sungkan.
Meski kedua sahabat itu sudah menjelaskan situasinya, namun Om Barish tidak menggubrisnya. Masih saja meracau tidak jelas. Ia memang terkenal dengan sifat kecongkakan serta kesombongannya. Sering memandang remeh orang yang dirasa, strata sosialnya di bawah dirinya.
Baca Juga : [Cerpen] Teringat Duka Silam - Putri Simba
Sifat buruk yang bersarang dalam hatinya menjadikannya jauh dari sifat kemanusiaan dan belas kasihan antar sesama.
Tak jarang, kata yang keluar dari mulutnya seperti suara gemuruh, menggelegar ke udara. Setiap berbicara pun tanpa disaring terlebih dahulu, tidak memikirkan apakah lawan bicaranya akan tersakiti hatinya atau tersinggung dengan perkataannya.
Satu jam sudah mereka menunggu kedatangan mobil yang dirental tersebut. 15 menit yang janjikan oleh sang pemilik rental mobil, tak ditepatinya. Om Barish semakin meradang, melayangkan cacian pada Rayyan dan Rizwan. Menurut dirinya, keduanya telah salah mengatue jawdal dan membuat dirinya menunggu terlalu lama.
Rayyan hanya terdiam mendengar racauan Om Barish. Dihembuskannya asap rokok yang keluar dari mulut serta hidungnya ke udara. Rizwan pun begitu, hanya tersenyum melihat tingkah orang yang akan mengantar Giri tersebut. Keduanya sudah paham dengan tabiat Om Barish.
Menikmati sunyi dan sepinya malam hingga datang mobil yang ditunggu tepat di pukul 24.00.
Baca Juga : [Cerpen] Secerca Harapan Dibatas Kesabaran - Starmutic_IR
Mobil hitam dengan kapasitas penumpang 8 orang masuk ke dalam mulut gang. Suara deru mobilnya berhenti di sana.
Seorang lelaki yang sebaya dengan Om keluar dari dalam mobil. Pak Sarga, ia lah pemilik rental mobil yang hendak membawa rombongan ke Jawa Timur tersebut.
Ia melenggang ke arah Rayyan dan Zeidan dengan rasa sungkan, menjelaskan kepada mereka. Jika hari setelah lebaran ini mobil rentalnya sedang mengalami kelonjakan permintaan pengantaran perjalanan. Beberapa supir yang telah di sediakan pun sudah berangkat mengantar mereka yang sudah lebih dulu memesan jadwal perjalanan.
Pak Sarga datang terlambat untuk memenuhi janjinya dengan Rayyan dan Rizwan. Pasalnya ia sangat kesulitan mencari supir pengganti, hingga ia memutuskan dirinya sendiri yang akan mengantar kedua sahabat tersebut dan rombongan.
Mengingat hari yang sudah semakin larut, tanpa berbincang panjang lebar, mereka bergegas memasukkan barang ke bagasi mobil dan satu persatu dari rombongan masuk ke dalam mobil. Siap untuk melakukan perjalanan.
Baca Juga : [Cerpen] Diambil Hikmahnya Saja - Uli Nasifa
*
Mobil hitam yang membawa penumpang 6 orang itu segera melaju dengan kencang. Menembus malam-malam yang gemerlap indah oleh lampu jalanan.
Rayyan, Zeidan dan Giri tertidur lelap di tengah perjalanan. Hanya Pak Sarga, Om Barish dan Ibu Salma yang masih terjaga.
Om Giri masih saja bersungut-sungut menceritakan kejadian menunggu terlalu lama kepada sang supir. Ia menyalahkan Rayyan dan Rizwan yang tak bisa mengatur jadwal, sebab, keduanya mengatakan jika mereka akan berangkat jam 9 malam. Namun nyatanya mobil berangkat jam 12 malam.
Pak Sarga hanya manggut-manggut saja mendengarkan perkataan Om Barish. Dengan hati-hati ia terus menggerakkan setir ke kana dan ke kiri. Mengikuti petunjuk jalan yang terpasang di tepi jalan raya.
Baca Juga : [Cerpen] Sesal Di Ujung Perjalanan Waktu - Defras Espen
*
Setelah melakukan perjalanan panjang, satu rombongan tersebut sampai di tempat tujuan. Sebuah pondok pesantren yang cukup terkenal di daerah Jawa Timur.
Semua santri yang berada di area pesantren memandangi kedatangan mereka, beberapa diantaranya berhamburan menuju Rayyan dan Rizwan. Menyalami keduanya dengan penuh khidmat. Dengan senang hati dan senyum ramah Rayyan dan Rizwan pun menyambut salam mereka.
Dalam lingkungan pesantren, Rayyan ditugaskan sebagai pengurus keamanan pondok, sedangkan Rizwan sebagai guru di pesantren tersebut. Pamornya sudah terkenal baik hingga ke sudut pesantren, prestasinya yang bagus dan kualitas akhlaknya yang baik, yang mampu membesarkan nama mereka.
Baca Juga : [Cerpen] Saksi Sekejap - Egi David Perdana
*
Untuk menjadi bagian siswa di boarding school tersebut harus melalukan serangkaian tes tertulis hingga lisan, sebelum masuk ke sekolah formal maupun informalnya.
Giri, dengan bantuan Rayyan dan Zeidan menjalani tes tersebut hingga di proses akhir dengan seksama.
"Makasih, ya, Riz, Ray," ucap Bu Salma seraya mengulurkan tangan untuk menyalami mereka.
"Nggih, Bu," ucap keduanya kompak.
Ucapan terimakasih untuk Rayyan dan Rizwan, yang telah bersedia menemani Giri untuk melakukan proses pendaftaran hingga selesai. Sebagai tanda balas jasa, Ibunya Giri, mengajak Rayyan dan Rizwan untuk makan siang bersama di warung makan di area sekitar pesantren.
"Oh iya, Rayyan, nanti saya juga mau nitip Giri sama kamu ya," ucap Om Barish dengan rasa sungkan.
"Iya, Om." Rayyan manggut-manggut.
"Yowis, terimakasih banyak ya, Ray," tambah Ibunya Giri.
"Maafin, Om ya, Le," ucap Om Barish menatap Rayyan dan Rizwan yang duduk berdampingan.
"Kamu tuh, Rish, jangan sok marah-marah sama orang lain, jangan ngeremehin orang lain, kita gatau, kalo kita bakalan butuh bantuannya," ucap Ibunya Giri mencubit lengan kekar Om Barish.
Om Barish tersenyum sungkan, seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Maaf ya Ray, Om tadi sempat berpikir negatif sama kamu."
"Nggih Om, ndak apa-apa."
Baca Juga : [Cerpen] Perjalananku Bersama Hijabku - Lusi Rahmawati
Mereka pun tertawa riang dan berbincang layaknya sebuah keluarga yang harmonis.
End.
Brebes, 21 April 2024.