Hari ini sekolah diliburkan, saat anak anak yang lain menghabiskan waktu liburan untuk bermain lain halnya dengan Dimas yang harus membantu orangtuanya berjualan di pasar. Yah, ini memang sudah menjadi rutinitas bagi Dimas sepulang sekolah maupun saat libur sekolah, semua jajanan yang akan dijual sudah diatur dan disusun dalam sebuah keranjang dan siap di bawa ke pasar.
Meskipun baru kelas 3 SD Dimas sangat mahir dalam berjualan, dagangan mereka pun habis terjual. Saat kembali ke rumah terlihat Ayah Dimas yang baru pulang dari bekerja melepas sepatu usang yang sudah penuh dengan bekas jahitan benang warna warni, tali sepatu yang warna warni tak senada,dan sepertinya memang sudah tak layak untuk digunakan.
Ayah Dimas bekerja sebagai buruh bangunan yang penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari hari, kadang ia juga tidak pergi bekerja karena kakinya sering lecet dan luka akibat sepatu usang tersebut. Dimas yang memang berniat membelikan sepatu baru untuk Ayahnya terlihat sangat bersemangat berjualan, ia menyisihkan sedikit uang hasil berjualan ia sangat senang karena sedikit lagi uang yang di kumpulkannya bisa membeli sepatu bagi sang Ayah.
Baca Juga : [Puisi] Kalah - Egi David Perdana
Hari itupun tiba Dimas mengajak ibunya untuk menemaninya membeli sepatu untuk Ayahnya,dengan rasa gembira dia memilih sepatu yang cocok dan bagus.
"Bu, sepatu ini bagus untuk Ayah warna kesukaan Ayah Cokelat." seru Dimas.
Ibunya hanya mengangguk sambil tersenyum melihat Dimas yang sangat bahagia bisa membelikan sepatu untuk Ayahnya.
Setibanya dirumah hari sudah gelap tapi sepertinya Ayah Dimas belum pulang karena lampu di rumah belum dinyalakan, Dimas pun duduk di teras sambil memegang sepatu baru berwarna cokelat muda sembari menunggu sang Ayah.
Tak lama kemudian ada seorang yang berdiri di depan pagar rumah mereka itu bukan Ayahnya tapi Om Hendra teman Ayah Dimas.
"Bu..bu Andin!" suara Om Hendra terdengar panik! .
"Ya kenapa,? Ada apa?" sahut Ibu Dimas dari dalam rumah.
"Bu Andin, Ayahnya Dimas bu, Ayahnya Dimas dibawa ke rumah sakit! Tadi dia jatuh dari lantai 3 bu! Sekarang dibawa kerumah sakit!" sontak piring yang ada di genggaman Ibu Dimas lepas jatuh berhamburan. Dia jatuh ke lantai tak kuasa menahan air mata betapa terkejutnya ia dengan berita tersebut.
Dimas terdiam sejenak dipegangnya dengan erat sepatu yang baru saja dibelinya.
"Bu ayo kita lihat ayah bu, Om Ayah dimana om, Om bisa antar Dimas dan Ibu?" suara Dimas terdengar gemetar menahan tangis.
Baca Juga : [Cerpen] Fatin Karya Maulidya
Sesampainya di rumah sakit Ayah Dimas berada di ruang ICU, tak lama kemudian dokter keluar dengan raut wajah sedih dan dengan berat hati berkata kepada Dimas dan Ibunya bahwa Ayah Dimas telah meninggal dunia.
Tangisan Dimas pecah saat itu juga dia beronta ronta memanggil Ayahnya sambil tetap memegang sepatu coklat muda hasil jerih payahnya hadiah untuk sang Ayah, namun takdir berkata lain.
Sungguh maut tak dapat disangka datang dengan tiba tiba tanpa ada peringatan. Sepatu usang yang sehari hari digunakan Ayah Dimas kini telah diganti dengan sepatu baru berwarna coklat muda namun tak dapat lagi digunakan dan tak akan mungkin di gunakan oleh Ayah Dimas.
Dimas mungkin punya banyak kesempatan untuk dibahagiakan oleh sang Ayah namun saat ada kesempatan baginya untuk membahagiakan sang Ayah maut malah merenggutnya.