Suatu Pertanda
Karya : Fukuda Maruyama
Brak!
Sebuah tabrakan antara sepeda motor, dan mobil terjadi di sebuah persimpangan jalan Ahmad Yani, Jakarta Timur.
Kejadian itu terjadi begitu cepat, sehingga tidak ada seorang pun pengemudi dua kendaraan tersebut yang berusaha menyelamatkan diri. Beberapa orang yang melihatnya langsung bergegas menghampiri, dan membantu korban yang terluka. Dan, alhamdulillah tidak ada korban jiwa ketika kecelakaan itu terjadi.
Seorang pria pengendara mobil tidak sadarkan diri, dengan darah mengalir deras di keningnya. Sedangkan sepasang muda mudi tergeletak tidak berdaya di jalanan aspal. Keduanya juga terluka parah. Hanya saja, seorang gadis yang tadi membonceng temannya di belakang, masih sempat berdiri, meskipun kedua tangannya berdarah.
Dengan tenaga yang tersisa, seorang gadis yang ternyata bernama Senja tersebut, berusaha mengguncang-guncangkan bahu seorang pemuda yang sedang pingsan.
Baca Juga : [Cerpen] Senandita - Amelia Sholeha
Gadis berambut sebahu dengan mata sipit tersebut berusaha membangunkan kekasihnya yang kedua matanya masih tetap terpejam, sambil menangis, "Angkasa, bangun! Angkasa!"
"Mbak, ngak papa?" Seorang pria paruh baya yang berada di dekatnya, berusaha menolong Senja yang sedang terisak pilu, menatap kekasihnya yang masih tidak sadarkan diri.
Senja mendongak, begitu mendengar kata-kata seseorang di sampingnya, lantas berkata dengan nada tinggi, "Apa bapak tidak lihat saya dan pacar saya terluka?! Bapak bilang ngak papa?!"
Beliau pun buru-buru meminta maaf, ketika melihat Senja menangis. "Maaf, Neng. Bapak hanya khawatir, dan bermaksud menolong kalian berdua." Lelaki tersebut terdiam sejenak, kembali berkata, sambil membantu Senja berdiri, "Ayo, Neng. Bapak bantu. Nanti biar teman Neng di bawa ke rumah sakit untuk dirawat. Sebentar lagi mobil ambulance sampai di sini. Jadi, Neng tidak perlu khawatir."
Senja pun berkata lagi, dengan nada sopan, setelah menyadari kesalahannya "Te...rima kasih, Pak. Maaf ya, Pak, tadi saya membentak Bapak. Padahal, Bapak bermaksud baik."
"Tidak mengapa, Neng. Bapak ikhlas membantu Neng dan teman Neng. Semoga teman Neng bisa segera diselamatkan."
Baca Juga : [Cerpen] Aku Akan Berjuang! - Nurul Beauty Shafera
Senyuman pria yang ternyata bernama Widodo tersebut, membuat Senja semakin merasa bersalah atas sikapnya yang tidak ramah tadi. "Perkenalkan, nama saya Senja, Pak Widodo."
Pak Widodo pun terperanjat kaget, "Lho, neng tau nama saya?"
"Itu ada namanya di baju Bapak." Senja menunjuk name tag di baju beliau.
"Oh, iya. Saya lupa." Pak Widodo menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menyadari kesalahannya.
Hingga tidak lama kemudian, mobil ambulance tiba di tempat kejadian perkara, lantas buru-buru membawa korban kecelakaan ke rumah sakit, membuat perhatian Senja dan Pak Widodo teralihkan untuk sementara.
Baca Juga : [Cerpen] Jalan Memaafkan - Agus Mustain
Beliau pun dengan cekatan membawa kekasih Senja ke dalam mobil ambulance, bersama Senja yang juga ikut naik.
"Neng jangan khawatir. Semoga teman Neng baik-baik saja. Nanti biaya perawatannya biar Bapak yang tanggungjawab." Pak Widodo berkata ramah, sambil mengusap bahu Senja pelan, melihat gadis tersebut kembali menangis, dengan memegang tangan kekasihnya, berusaha menenangkan.
Begitu tiba di rumah sakit Sabda Usaha, para korban kecelakaan langsung di rawat di instalansi gawat darurat.
Terlihat sebagian besar orang berjalan keluar masuk rumah sakit. Ada yang menangis, dan sedang mengantri mengambil obat di apotek. Meskipun begitu, Senja berusaha mengabaikan mereka. Karena baginya, yang terpenting saat ini adalah keadaan Angkasa.
Korban kecelakaan yang tadi sedang menyetir mobil pun dirawat di ruangan yang berbeda. Beberapa dokter maupun suster hilir mudik memeriksa pasien yang terluka.
Senja pun hanya bisa terduduk di bangku penunggu di luar ruangan IGD. Gadis tersebut masih terisak pelan, sambil menautkan jari-jarinya khawatir. Dia menyesal sudah menerima ajakan kekasihnya pergi ke pasar malam jam sembilan malam tadi, sehingga Angkasa harus dirawat di sini.
Baca Juga : [Cerpen] Tragedi Cinta Di Bumi Prambanan - Yohana Restu Wilistya
Tetapi, suara langkah kaki seseorang membuat perhatian Senja teralihkan. Terlihat seorang wanita dan lelaki yang berumur sekitar tiga puluh tahun. Raut keduanya terlihat sedih, lantas menghampiri Senja yang langsung berdiri.
"Anak keras kepala! Apa yang kamu lakukan kepada Angkasa? Kenapa dia bisa sampai kecelakaan?" Lelaki yang bernama Pak Ridwan mengguncang bahu Senja keras. Dia terlihat marah.
Senja yang ketakutan, hanya bisa menunduk takut, dan berkata, "Maafkan saya, om."
"Maaf maaf maaf. Apa hanya kata itu yang bisa kamu ucapkan? Sedangkan, anak saya di dalam ruangan IGD sedang berusaha melawan sakit." Melihat Senja hanya terdiam, membuat Ayah Angkasa bertambah murka, dan kembali berkata keras, "Bukankah tadi saya sudah melarang kalian pergi?"
"Maafkan saya, om." Kini, Senja menangis keras, tidak tahan mendengar bentakan Om Ridwan.
Melihat wajah ketakutan, dan isakan Senja, Ibu Cahaya pun mencoba menenangkan suaminya. "Ayah, sudah. Senja sudah minta maaf. Lagipula, tidak ada yang salah dalam kecelakaan ini. Kita tidak ada yang tau, kapan musibah akan menimpa keluarga kita."
Pak Ridwan pun perlahan melepaskan kedua tangannya dari bahu Senja yang masih menangis.
Baca Juga : [Cerpen] Suzan : Cinta Ayra - Yantea
Mendengar keributan di depan ruangan IGD, Pak Widodo segera menghampiri Senja, dan sepasang suami istri tersebut, setelah kembalinya lelaki tersebut dari bagian administrasi, melunasi pembayaran perawatan Angkasa.
"Lho, ada apa ini? Senja, kamu ngak papa?" Pak Widodo berusaha menenangkan Senja yang sedari tadi masih terisak pilu, tanpa berani menatap wajah Pak Widodo.
Senja pun menjawab pertanyaan Pak Widodo pelan, "Senja ngak papa, Pak. Senja hanya khawatir dengan keadaan Angkasa."
Pak Widodo tanpa ragu memeluk Senja untuk menenangkan kegundahan hati gadis tersebut, hingga beberapa kemudian seorang dokter keluar dari ruangan IGD, tempat Angkasa di rawat.
Mereka berempat pun langsung menghampiri dokter tersebut penasaran, ingin tahu bagaimana keadaan Angkasa.
Baca Juga : [Cerpen] Senyuman Terakhir - Alifiyani
Dengan sangat menyesal, Dokter tersebut menyampaikan kabar duka ini. "Mohon maafkan saya, Bapak dan Ibu sekeluarga. Nyawa pasien sudah tidak dapat tertolong. Pasien sudah meninggal. Permisi."
Setelah mengucapkan itu, Dokter tersebut meninggalkan mereka berempat, bermaksud melanjutkan tugasnya, memeriksa pasien yang lain.
Tangisan pilu itu terdengar mengiris hati bagi siapa pun yang menyaksikan kejadian duka tersebut. Senja, dan kedua orangtua Angkasa langsung masuk menghampiri Angkasa yang sudah terbujur kaku.
"Angkasa... Tidak mungkin. Kamu jangan ninggalin aku, Angkasa." Itu suara Senja yang sedang menangis sambil menutup mulutnya yang tidak percaya dengan semua ini.
Baca Juga : [Cerpen] Fatin karya Maulidya
***
Keesokan harinya, bendera kuning mulai dipasang di ujung gang rumah Angkasa dan keluarga, sebagai tanda kalau ada salah satu anggota keluarga mereka yang sedang meninggal.
Langit pun seolah ikut mengantar kepergian Angkasa kembali ke surga-Nya Allah swt, dengan warnanya yang sudah berubah kelabu. Dan, dalam hitungan detik hujan mulai turun, membasahi tanah, tempat Angkasa dikuburkan.
Kedua orangtua Angkasa pun tidak berhenti menangis sejak dari rumah mereka sampai di sini. Hanya ada gurat kesedihan di wajah orang-orang yang ikut menyaksikan prosesi pemakaman Angkasa sampai selesai. Bahkan, sampai mereka pergi pun, Senja masih setia berjongkok memegang papan nisan Angkasa, sambil terisak keras, menyalahkan diri sendiri, dan takdir yang membuat kekasihnya meninggal di usia dua puluh lima tahun.
Senja baru menyadari kalau mungkin larangan Om Ridwan sebagai tanda kalau akan terjadi kecelakaan, dan membuat Angkasa pada akhirnya harus meregang nyawa di rumah sakit Sabda Usaha.
Yogyakarta, 1 April 2024.
Rekomendasi Buku Kumpulan Cerpen Terbitan Penadiksi :