TERINGAT DUKA SILAM.
Oleh: Putri Simba
Kala senja, di sebuah batu besar yang berada di tepi danau berdinding curam, seorang gadis berusia 19 tahun tengah duduk sambil memeluk kedua lututnya. Batu itu dikelilingi rumput pembohong yang merebah ke sana ke mari disebabkan oleh terpaan angin. Angin yang cukup kencang membuat kain kerudung yang dikenakannya turun sampai ke bahu. Langit pun mulai mendung dan membuat kulitnya merasakan udara dingin. Si gadis muda memandang kosong ke arah danau itu sambil menangis. Di tempat inilah dia biasanya menceritakan segala keluh kesah hidupnya. Segala kesakitan dan kepedihan itu meluap dan mengalir menjadi air mata, hingga matanya pun tak sanggup berkedip. Entah, ini baik atau tidak untuknya karena terlalu larut dalam kesedihan. Yang dia tahu hanyalah mencoba memahami kesedihan ini bersama hujan yang turun.
“Apa, hanya aku saja, seorang gadis yang menikmati hari Minggu ini dengan penuh kesedihan?” batinnya.
“Aku ingin mengabdi dan berharap air mataku memberi kenyamanan padaku setelah ini. Aku bisa menghapus kesedihanku seperti air mataku yang jatuh ke pasir dan kemudian mengering,” ucapnya lagi.
Tiba-tiba tiba saat dia berucap seperti itu, ada seseorang memanggilnya dari kejauhan, lalu berteriak.
"Nuuurrr, ayo kita pulang! Ini hujan, mengapa engkau tidak pulang? ” ucap seseorang sambil menghampirinya.
“Iya, Said, nanti, kamu pulang saja duluaaan! Jangan ke mari, biarkan aku sendiri di siniii!” ucap Nur sambil berteriak kepada temanya itu, takingin temannya menemui dan mengganggunya.
"Ayolah Nuuur, kita pulang, kelurgamu sudah khawatir dengan dirimu, jika kamu tidak pulang dan tetap di sini dengan cuaca hujan deras, kamu bisa sakit!" teriak Said lagi.
"Sudah kubilang tidak! Sana, pergi Said, biarkan aku sendiri di sini!" ucap Nur, gadis muda usia 19 tahun itu, sedikit kesal.
"Baiklah, aku pergi, kamu jaga dirimu baik-baik di sini," jawab Said sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Iya!" jawab singkat Nur.
Temanya itu pun terus meratapi Nur yang sedang bersedih, teringat apa yang terjadi kepadanya beberapa bulan yang lalu. Ia tak tega meninggalkannya sendiri. Namun, apa boleh buat, Said mau tak mau harus meninggalkan Nur sendirian walaupun terasa berat karena memang itu yang di inginkan Nur untuk meninggalkannya sendiri. Dengan berat hati, Said langsung pergi meninggalkan Nur sendirian di tempat dia menenangankan diri. Di saat Said pergi, wajah Nur tak menampakkan kebahagiaan sama sekali, dalam pikirannya, dia kembali mengingat semua yang terjadi di hari itu yang membuat nya benar-benar down dan hancur dalam kesedihan.
"Nak, minta tolong nanti bantu Bapak membereskan lab, ya," ucap Pak Guru meminta tolong hari itu kepadanya.
"Iya, Pak, siaap," jawab Nur dengan senang hati membantu Pak Guru.
Hari itu, Nur dengan cepat berlari ke kelasnya untuk menaruh buku juga hp, kado pemberian istimewa dari sekolah nya itu di tasnya. Setelah menaruh tas, Nur pun mulai berlari kembali menuju ruangan laboratorium, untuk membersihkan apa yang disuruh oleh gurunya itu. Setelah membereskan semuanya, Nur kembali ke kelas untuk mengambil buku mata pelajaran juga hp-nya itu. Namun, tiba-tiba dia mulai panik karena benda pemberian dari sekolahnya itu hilang.
"Aduh,di mana hp kado pemberian sekolahku? Mengapa tidak ada di tasku? Padahal tadi, pas aku tinggal, barang itu kuletakkan di tas dengan benar, lalu mengapa sekarang tidak ada?" ucap Nur gelisah sambil mencari hp pemberian sekolahnya itu.
Nur terus mencari di sekeliling kelasnya. Namun, masih saja tidak ketemu. Dia juga sudah beberapa kali bolak balik dari kelas ke lab, kurang lebih 6 kali, hasilnya masih juga nihil. Tidak ada! Saking paniknya, Nur pergi ke ruangan kepsek untuk menceritakan segalanya apa yang terjadi. Tiba di ruangan, Nur menceritakan kejadiannya dengan muka panik penuh kesedihan. Hingga sore hari, pencarian tidak menunjukkan hasil, meski para guru sudah dilibatkan, serta mengecek di tas siswa satu per satu.
Baca Juga : [Cerpen] Suatu Pertanda - Fukuda Maruyama
Dengan perasaan sedih mendalam dan perasaan hancur, karena kado terindah yang diberikan itu nihil tidak ketemu. Nur pulang ke rumah dengan muka yang tidak menampakkan senyuman sama sekali. Dia lalu menceritakan segalanya kepada Ayah dan Ibu. Kedua orang tuanya tidak bisa berkata apa -apa. Mereka terkejut mendengar segalanya mereka hanya bisa menenangkan Nur agar tidak larut dalam kesedihan. Walaupun kedua orangtuanya sudah menenangkannya, Nur tetap saja larut dalam kesedihan. Dia terus saja bersedih di kamarnya, tidak mau berbicara atau melakukan apa-apa karena kejadian di sekolah tersebut.
"Ya Allah, mengapa ini terjadi padaku? apakah aku tidak pantas untuk bahagia?" asunya pada Allah swt.
Lambat laun, dia berusaha mengikhlaskan benda miliknya itu dan mencoba sedikit tenang lalu tersenyum kepada semua orang. Berbulan- bulan lamanya, dia sudah bisa tersenyum bahagia kembali, mengikhlaskan segalanya. Namun, di hari minggu dia kembali mengenang kejadian itu lagi di tepi danau, tempat di mana dia biasanya menceritakan segala keluh kesah hidupnya.
"Aaa ..., aku rindu akan benda pemberian sekolahku!" teriknya dengan keras di danau itu tanpa ada yang mendengarkan.
"Di mana ia sekarang? bersama siapa? Apakah ia sudah dijual atau bahkan tidak? aku ingin sekali bisa memeluknya kembali. Apakah ia bisa kembali kepadaku?" ucapnya lagi sambil bersedih.
"Kenapa orang itu begitu tega kepadaku? Apa salahku kepadanya? Mengapa dia tidak punya hati nurani, begitu jahat, tega merampas hadiah terindah yang aku punya. Aku ini hanyalah orang biasa yang tak punya apa-apa, begitu teganya dia padak!" lanjutnya berucap seperti itu mengenang segalanya.
Baca Juga : [Cerpen] Kado Spesial Untuk Kak Aldi - Siti Khusnul Shoffiyah
Di sungai itu, tempatnya berkeluh kesah, ditemani hujan yang begitu deras petir bergemuruh keras dia teringat segalanya, lalu melampiaskan kesedihannya bersama hujan deras. Nur hanya berharap, orang yang begitu tega, keji kepadanya bisa mendapatkan hidayah, menyadari segalanya juga segara bertaubat.
Tamat.