Serpihan Kenangan
Aku merenung di sofa balkom kamar menatap gemerlap bintang yang berkerlap kerlip, ku sandarkan tubuhku pada sandaran sofa, ku tutup mataku sekejab dan ku rasakan angin malam menerpa wajahku serta menerbangkan beberapa helaian rambutku. Aku menghela nafas.
Baru kemarin kita bertanya sapa.
Namun, kini hadirmu sudah tak dapat di rasa.
Aku mengambil buku diary yang tergeletak manis di pinggirku, lalu ku buka halaman yang kosong, pulpen sudah tertengger nyaman di sela-sela jari-jari manisku. Ku tulis nama seseorang yang dulu selalu berbagi ruang dan waktu denganku.
Aruni puspita, aku mulai menulisnya.
Baca Juga : Menikmati Pemaknaan Dari Kenangan
Hai pita!!!
Apakah kamu masih mengingatku????
Orang ceroboh yang selalu kamu marahi!
Orang bodoh yang selalu kamu ajari tentang pahitnya kehidupan!
Aku harap kamu selalu mengingatku selalu pita, walau kenyataannya nanti kamu mendapatkan teman yang lebih baik dariku.
Baca Juga : [Puisi] Tentang Kita Yang Menjadi Kenangan - Theo Kiik
Pita, terima kasih karena telah memberikan ruang untukku.
Sebuah ruang yang mengajarkan arti sebuah pertemanan.
Sebuah ruang yang mengajarkan arti sebuah ketulusan, ketulusan yang tak semua orang menyikapinya dengan benar.
Juga terima kasih karena telah memberikan waktumu selalu.
Waktu yang setiap detiknya menciptakan kenangan yang tak terlupakan.
Baca Juga : [Puisi] Terimakasih Kenangan - Siti Khusnul Shoffiyah
Waktu yang sempat mempertemukan aku dan kamu hingga menjadi kita adalah teman.
Dan untukmu semesta.
Terima kasih karena sempat menghadirkan ruang dan waktu di antara aku tak pita walau hanya sementara hingga kau ambil ruang dan waktu itu kembali menjadikan kini aku dengannya tak lagi bersama.
Ku tutup sudah buku diaryku dan ku pejamkan sejenak mataku, menghalau sesuatu yang berdesakkan ingin keluar dari pelupuk mataku.
Aku bermonolog.
Baca Juga : [Puisi] Usai oleh Mutawarudin
“jadi begini ya rasanya kehilangan seorang teman. Sungguh aku tak menyesal bertemu denganmu dan tak menyesal pula pernah mengenalmu”
Aku beranjak dari sofa menghapus perkara bening yang sudah membasah pipiku. Kulangkahkan kakiku menuju kasur lalu ku matikan lampu kamarku dan bersiap menjemput mimpi yang telah menanti.