Pesantren adalah lembaga pendidikan berbasis islam yang saat ini masih terjaga eksistensinya, dengan tetap menjaga nilai – nilai 3 ukhuwwah (ukhuwwah islamiyyah, ukhuwwah insaniyyah dan ukhuwwah wathoniyyah), pesantren dapat bertahan terhadap dilematisme moral yang ada di masyarakat era modern ini. Melalui embel – embel “jihad” yang telah mengakar di pesantren, masyarakat yang ada di dalamnya telah memberikan suatu bentuk dorongan yang kuat sebagai support bila mana terjadi simpang siur attitude yang buruk. Pesantren juga memiliki harta karun tersembunyi yang tak ternilai yang berfungsi untuk menolak dilematisme moral. Harta karun ini tidak berbentuk secara meteri yang dapat dilihat dengan mata telanjang, melaikan seperti magnet spritualisme islam dengan dokrin menggunakan literatur ulama’ salaf yang mudawwar. Dari akumulasi itu semua itu tidak secara instan dapat di peroleh tanpa adanya aspek lain seperti akulturasi terhadap budaya sebagai bentuk manifestasi yang praktis sebagai pensuplay religious yang tersistem.
"Akulturasi jawa” kita sebut demikian. Dewasa ini, pesantren telah menjadi ikonik yang baik bagi masyarakat. Dalam buku islam jawa, kesalehan normatif vs aliran kebatinan yang menjadi tesis dari seorang peneliti dari barat, mark r. woodward ia mendeskripsikan tentang akulturasi jawa yang telah di alih maksudkan “islam di dalam masayarakat jawa merupakan adaptasi dari budaya buddhisme dan hinduisme yang mana ia lebih merefleksikan pengalaman spiritual dengan tuhan. Kedatangan islam yang di situ mampu ber akumulasi tanpa adanya sebuah percekcokan membuat islam juga berbaur dengan budaya hinduisme dan buddhisme dan seakan islamisasi di jawa lebih memilih ketenangan bathiniyyah yang di klaim sebaagai bentuk ta’abbut terhadap tuhan”. Setelah mengetahui keterangan di atas, maka akan di jelaskan bagaimana relasinya dengan pondok pesntren yang khususnya berdiri di tanah jawa?
Banyak dari sarjana islam jawa yang telah menghubungkan antara islamisasi jawa dan akulturasi pesantren sebagai bentuk pengakraban terhadap masyarakat. Kalau kita pernah atau atau mendengar “islam itu ketika berdakwah ibarat mengambil ikan tanpa membuat keruh airnya” artinya budaya buddhisme dan hindhuisme yang lebih menekankan pengakrapan terhadap masayarakat secara halus dan tersistem membuat islam yang di akui sebagai agama dan doktrin yang baru di bumi nusantara dapat ber akumulasi tanpa membuat keruh airnya (tanpa adanya perseteruan perbedaan keyakinan). Dan kemudian seiring berjalannya waktu akhirnya islam di jawa tersebar secara besar – besaran dan membuat para cendekiawan islam nusantara yang hidup di tempo dulu membuat suatu wadah agar masyarakat nusantara (jawa) untuk lebih focus dalam mendalami doktrinasi islam.
Tanpa di pungkiri ternyata akulturasi islam nusantara itu di adaptasi dari budaya hindu dan Buddha. Kedua budaya ini telah menjadi sesepuh, tinggal di bumi nusantara. budaya tersebut juga telah mengakar secara kuat tak mudah di hilangakan. Namun hal itu menjadi point plus bagi islam khususnya yanga ada di pesantren memilki alternatif yang baik dalam pengakraban terhadap masyarakat. Terbukti memang, kebudayyan hindu Buddha dapat menjadikan para tokoh – tokoh islam di pesantren dapat mengambil esensi yang strategis dalam intisyarul islam.
Namun di era sekarang akulturasi yang ada di masyarakat jawa telah banyak berakar menjadi berbagai macam aliran. Akulturasi jawa yang tempo dulu merupakan nilai tasamuh yang baik, sekarang menjadi baku hantam satu sama lain. Dari wadah lembaga pendidikan islam yang telah di sebutkan di atas “pesantren”, dapat menghilangakan menset aliran – aliran islam di jawa yang padahal tempo dulu merupakan satu kesatuan. Dan ini meruapakan suatu felling ulama’ islam jawa, mendirikan pondok pesantren adalah suatu prepare untuk melawan perpecahan budaya jawa yang terbagi atas radikalis ( aliran wahdat al wujud ) dan liberalis ( aliran islam modernis). Kita sebagai warga pesantren yang menempat di posisi mutawasith atau orang – orang islam yang berdiri di tengah dengan mengejawentahkan kedua aliran tersebut manjadi satu kesatuan. Di tuntut untuk nguri-nguri budaya jawa yang sejak tulu di kenal dengan keramahannnya dan strategis dalam berakumulasi dengan masyarakat dan tentunya tidak menafikan para literature ualama’ salam yang berbentuk kitab kuning dengan mengkajinya secara kaiadah dan logika yang sesuai dengan waqi’.
Dari pembahasan di atas telah kita ketahui bahwa jawa marupakan pulau yang kaya akan tradisi, melalui ajaran hindu dan Buddha jawa bisa menjadi pulau yang tenang tak ada peperangan. Hingga saat itu datangalah islam sebagai ajaran baru yang juga berkiblat pada ajaran kuno jawa dalam ahal pengakraban terhadapa masyarakat. Semakin lama islam di jawa kian tersebar hingga muncul berbagai firqah islam yang berbudaya ala jawa dalam bentuk radikal dan liberal dan pesantren yang saat itu Telah didirikan oleh ‘alim jawa akhirnya eksistensinya sangat penting dalam menanggulangi pergontokan antara aliran yang berbeda ideologi dan itu harus di terapkan oleh para warga pesantren yang harus mampu membaca situasi yang ada di masyarakat dengan berbekal kitab – kitab salaf.