Kotagu Hayatudin
MERINDU RIMBUN RIMBA PUISI
"Sejak melati ingkari wangi
Puisi-puisi memeras isi."
Tulis penulis di dinding digital.
____________________
Seorang penyair itu
telah lama merindu rimbun rimba puisi
Ia coba kembali sirami puisi-puisi
Pada ladang yang telah kristal
Tapi di depan gawai, Ia tak cukup piawai
Sebab digital memaksa imani yang khayal.
Lalu penyair itu mengutuk diri menjadi purba
Dengan ranting menulis di atas pasir
atau dengan arang menulis di atas batu
guna akal tetap normal menyangkal
perihal yang viral dan khayal
di era digital.
Belum cukup,
Penyair itu kembali mengutuk diri
kini menjadi pengembara bumi
Dari kaki pamir Tajikistan
lalu pundak pasifik Palung Mariana
Sampai pucuk ismail samani didatangi
Guna bisa kembali sirami puisi.
Sesekali,
penyair itu datangi pusat kota
Ada pemuda bersajak tentang gurun
tanpa buah zaitun, tanpa pohon kurma,
apalagi unta-
Namun sanggup antarkan
penyair itu ke Sahara
tepat ke tengah-tengah
dahulu Adawiyah mengais-ngais air
di Arafah.
Setelah iman merasa tebal
dan cukup akal juga bekal
hadapi digital
Penyair itu ingin kembali pada puisi
Tapi bukan pada puisinya
bukan juga pada puisimu dan puisiku
Apalagi pada puisi
yang masih mencari-cari diksi.
Lalu dicari-carinya puisi
di panggung-panggung bara api:
Puisi-puisi semakin runcing belati.
Dicari-carinya puisi
di meja-meja literasi:
puisi-puisi jadi tikai tanpa akademisi
Sengketakan perihal puisi dan bukan puisi.
Akhirnya penyair itu memilih mengutuk diri kembali
untuk yang ke tiga kali, tapi kini memilih menjadi petani
yang ingin menyemai kembali bunga melati yang wangi.
Majalengka, 27 Februari 2024.
Baca Juga Puisi Lain Di Penadiksi :