Puisi tentang ketidakadilan dan nasib wong cilik, untuk menyindir, baik kubu pemerintah maupun oposisi, atau kelompok yang biasa menyebar isu yang mengandung perpecahan serta keraguan demi kepentingan mereka sendiri. Intinya, pada akhirnya, rakyat lagi yang dirugikan.
(I)
Fajar ketika letupan meriam berkobar mengancamku,
Aku terdiam.
Sore ketika riuh atom meluluh-lantakan rumahku,
Aku tertidur.
Malam ketika pistol itu menempel di kepalaku,
Aku bersiul.
"Silahkan tembak pak,"
"Mati pun tak ada yang memperdulikan ku."
"Sebab aku dinilai sudah terlalu sinting untuk bertanya,"
"Bertanya,"
"Esok beras berkutu ini mungkinkah aku makan lagi?"
"Bertanya,"
"Besok kaki yang tak beralas ini akankah menginjak paku lagi?"
(II)
(II part 1)
"Nurani,"
"Benarkah nurani adalah tempat tinggal satu-satunya keputusan?"
"Satu-satunya rumah yang indah bagi setiap keadilan?"
"Lalu pak hakim,"
"Kenapa aku yang mencuri baju jemuran divonis mati?"
"Memang engkau hanya berkata 3 bulan penjara padaku,"
"Tapi tubuhku kurus kering,"
"Tubuhku gemetar kaku,"
"Aku belum makan selama berhari-hari,"
"Tiga hari saja di penjara aku bisa mati."
(II part 2)
"Ayolah pak,"
"Beri aku sebuah mesin ketik,"
"Untuk menuliskan kata-kata pengakuan dosa,"
"Akan ku kirimkan kepada Tuhan lewat perantaraan jasa titip,"
"Semoga saja tidak ada yang memonopoli isi suratku."
(II part 3)
"Kumohon, pak!
"Tahanan buncit itu saja di selnya ada koneksi internet,"
"Chatting dengan cewek genit yang membuat bapak kadang bertanya,"
"Saya juga nanti boleh cium-cium dikit kan?"
"Nah saya hanya minta mesin ketik,"
"Titik."
"Ya, sudahlah!
"Lebih baik aku mengetiknya di dalam hati saja,"
"Selain gratis sampainya pun dalam sekejap,"
"Dan dibaca langsung oleh Tuhan tanpa perantara,"
"Ingat akan ku ceritakan juga bahwa di sini,"
"Ada uang maka disayang,"
"Tak ada uang kemungkinan nyawa melayang."
(III)
Demokrasi?
Aku sama sekali tak tau artinya,
Hanya sering mendengar di radio butut milik tetangga,
Ada yang bilang demokrasi bagi orang berdasi itu bagi-bagi kursi,
Sedang demokrasi bagi orang seperti aku,
Artinya harus dicari sampai mati.
Entah.
(IV)
(IV part 1)
Ibuku lahir di tempat terpencil,
Tangis pertama ayahku pecah di tempat pembuangan akhir,
Dan aku mulai melihat dunia dari pinggir comberan ketika terjadi huru hara,
Betul betul peduli sekali ya anda pada kami,
Saking pedulinya sampai membuat aku ingin bertanya,
"Tak pantaskah kami untuk mendendam?"
(IV part 2)
Sore ini ibu bertanya,
"Pak rumput kata kambing enak,"
"Kenapa tidak kita coba saja?"
Bapakku kemudian menjawab,
"Rumput pun sekarang sudah dimonopoli"
Ya, kemana pun melangkah,
Tanah berumput kini hanyalah milik segelintir orang berdasi.
(IV part 3)
Tengah malam Bapak berkata,
"Bu punya bapak tegang nih"
Ibu menjawab,
"Main di kebon orang?"
"Rumah sempit!"
"Anak lihat bagaimana?"
"Tidur pak!"
"Tahan!"
Negeri ini untuk syahwat saja bapakku seolah orang yang dikebiri.
(IV part 4)
Kini bapak dan ibu telah dipanggil,
Dipanggil secara paksa,
Ditebas golok orang-orang munafik yang mengatakan demi nama Tuhan,
Padahal sesungguhnya Tuhan mereka adalah cukong-cukong,
Yang memberi mereka empan berupa restu,
Untuk mengkudeta negeri ini,
Dengan syarat jika dibutuhkan mereka harus siap,
Menjadi tameng lewat penafsiran palsu kitab.
(V)
(V part 1)
Kutu-kutu kecil melompat dari piring berisi penuh nasi,
Ada tiga sampai empat pikirku,
Kata mereka,
"Kami berlima!"
"Yang satu lagi hampir kau kunyah!"
"Terselip di gigi!"
Akhirnya kubuang nasi itu,
Aku tak mau perut terisi sedang mereka ada yang terbuang nyawanya,
Biarlah aku sendiri yang mati.
(V part 2)
Mereka memanggilnya Pak Sarwani,
Ia sedang tertidur,
Bajunya kekecilan hingga pusarnya terlihat,
Mulutnya menganga,
Bajunya kekecilan bukan karena tak mampu membeli,
Namun karena perutnya sudah terisi terlalu penuh oleh,
Sandang pangan yang seharusnya menjadi hak dhuafa,
Aku sumpahi si Sarwani cepat mati.
(VI)
(VI part 1)
Kami sudah berusaha sekuat tenaga melawan,
Namun tetap saja demokrasi versi kami seolah selalu tertawan,
Kalian paksa kami untuk mundur perlahan-lahan,
Bahkan di antara kami akhirnya ada yang menjadi kacung kesayangan kalian,
Apakah perlawanan kami sia-sia?
Kami berkata,
"Tidak!"
Kami tetap akan melawan hingga nanti dunia meregang nyawa,
Selama sang keadilan masih berkata,
"Lawan! Lawan!"
Perjuangan kami akan selalu ada,
Seperti kata sang pelopor yang menyadarkan tiada perlawanan yang berakhir sia-sia.
(VI part 2)
Kawan, kita butuh lebih dari sekedar revolusi,
Kita butuh lebih dari satu dua darah tertumpah,
Darah kita atau mereka.
Jika tetap begini mari rebut!
Dan kita jadikan Tuhan sebagai penguasa,
Karena Dia yang pantas memimpin kita!
Bukan manusia-manusia durjana!
(VII)
Sajak ketujuh ini amat sangat sederhana,
Hanya sebuah pertanyaan,
Apakah kalian para elit membaca sajak satu sampai keenam,
Dengan nurani?
Rekomendasi Buku Kumpulan Puisi Terbitan Penadiksi :