Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Puisi] Sonata Bagian Ke 14 : Kalah - Egi David Perdana

Sumber gambar : https://pixabay.com/illustrations/fax-white-male-3d-model-isolated-1889012/

Sonata bagian ke 14 - Kalah

Description :

Kumpulan puisi yang saya sendiri sebut Sonata. Puisi ini memiliki beberapa larik, dimana di tiap akhir larik selalu berkaitan dengan judul. Puisi ini memiliki berbagai variasi genre, tidak hanya genre tertentu saja. Sengaja saya acak urutannya supaya lebih membuat penasaran. Saat ini "Kalah" adalah bagian ke 14 dari Sonata. 

(*)

Kekusyukan menjadi lentara ketika kurajut doa tuk aku maharkan kepadamu. 


Tetapi keresahanku menelan setiap lafadz-lafadz yang kulantunkan itu. 


Aku menjemputnya, mencarinya diantara altar dan mezbah,

Tetapi doaku telah layu sebelum menjejakkan kakinya di bait Allah,

Dan ketika kutemui kekasihku,

Perasaannya padaku telah menjadi abu,

Aku kalah. 

(**) 

Lalu kuajak kawan lamaku berbincang sejenak di kota yang diterangi oleh pelita mati,

Kemudian kawanku itu memberiku sejumput corat-coret,

Kata berisi kidung-kidung yang sudah tak bisa bersenandung.


Aku kantongi apa yang akan menjadi hikmat itu, 

Katanya jagalah baik-baik itu sampai aku mati, 

Sebab itu demi kekasihku.


Tetapi esok harinya aku melihat hikmat itu tinggal tubuh tanpa nyawa,

Kesalahan terulang tuk kedua kalinya,

Abu tak mungkin kembali menjadi daging dan tulang belulang,

Aku kembali kalah. 

(***) 

Aku terus mencari cara, 

Cara tuk kembali menghidupkan kembali perasaannya padaku,

Segala kota ku datangi, segala penjuru ku masuki, segala sela-sela aku lewati.


Segala mantra-mantra aku ucapkan, segala keyakinan aku anut, 

Bahkan segala apa yang semua bisikan kepadaku aku percaya.


Tapi.... Tak kudapatkan hasil apapun juga.


Sakitnya... 


Jika aku mempunyai pilihan untuk melangkah kembali, 


Semua...


Semua langkah ku itu menuju jurang maut,


Dan maut akan dilemparkan ke dalam nyala api yang abadi,


Lagi-lagi aku kalah.

(****)

Aku takut sebelum semua lautan dikutuk menjadi anak darah dan anak darah mengering,

Aku sudah tak tercatat lagi di dalam kemah kediaman mu.


Dan mungkin sekarang aku menjadi orang paling penakut di dunia,

Sebab hatiku yang biasa kau kunjungi dan jejaki menjadi kosong,

Tidak berpenghuni bagaikan rumah hantu.


Aku menanti, 

Menanti roh dari perasaanmu,

Pulang mengetuk pintu rumahku yang sudah siap aku rubuhkan,

Jika ternyata kau tak datang.


Aku merasa kalah. 


(*****) 

Cintaku padamu itu bagai buah anggur segar yang sedang kau kunyah,

Kau tidak akan tahu kapan rasanya benar-benar akan habis,

Dan cintamu padaku layaknya rumput liar di tepi jalan,

Yang dengan sengaja orang injak-injak,

Memang mati tapi selalu hidup lagi,

Sampai seluruh isi bumi memutuskan perjanjian dengan gravitasi.


Begitu berbedanya kita, begitu jauhnya keserasian kita,

Karena itu kini aku siap menguburkan jasad yang sewaktu hidup adalah perasaanmu padaku.


Payah,

Untuk kesekian kalinya lagi-lagi aku...


Kalah.


Baca Juga Puisi Lain Di Penadiksi :
Diberdayakan oleh Blogger.