Yang Telah Mati
Di atas layar beranda ini,
Jemeri lekuk menari-nari,
Mengoceh narasi,
Basa-basi,
Membangkitkan jiwa yang mati,
Di sana, di ruang pengadilan negeri,
Orang-orang kecil terus menitik air mata,
Orang kaya menunjuk air muka,
Segar bercengkrama,
Riang tertawa gembira,
Menyaksikan rusaknya moral bangsa,
0leh orang-orang yang berkuasa.
Yang telah mati,
Ialah keadilan di negeri ini.
Haruskah seorang petani ladang,
Menyandang gelar panjang,
Agar ia (petani) peroleh kasih sayang,
Dan tidak dikekang?
Kemarin seorang petani dihukum,
Diadili, dipenjara,
Walau tidak sesuai pelanggarannya.
Tetapi hari ini,
Koruptor ditoleransi,
Adilkah?
Bagi petani,
Keadilan sudah mati,
dikubur di bumi,
Bumi ibu pertiwi,
Demikian padi yang ditanam sendiri,
Tak mampu selamatkan tubuh di ruang pengadilan negeri.
Susah,
Di negeri entah-berantah,
Hukum kehilangan etika,
Yang adil bukan lagi hukum, tetapi uang semata-mata.
Malaka, 18 April 2024.
Puisi ini ditulis berdasarkan hasil pengamatan penyair dilingkungan sosial. Demikian kronologi kejadiannya, termaktub hukum sebab akibat, dan menyebabkan kerugian kedua pihak (korban dan pelaku) dalam posisi setara. Namun putusan hakim saat sidang di pengadilan tanpa memperhatikan kerugian baik dari pihak korban maupun pelaku.