Pagar Karat
Tentara terakhir terus maju, meski sepatu bootnya ditelan lumpur serta tulang.
Jauh-jauh hari, genderang perang dilabuhkan. Seribu tentara tersisa satu saja.
Tidak ada garis depan selain garis kesadaran.
Perang bukan satu-satunya diinginkan.
Senjata dipegang, peluru-peluru berjatuhan.
Matanya tidak lagi tegang karena terus bergetar.
Inginnya berteriak menang, akan tetapi lututnya lemah.
Inginnya melepas senjata, namun negara mengatakan jangan.
Keluarga ditinggalkan, tebusan darah diganti getah.
Air mata dan darah. Tidak bisa membeli lupa tentang jiwa rekan-rekan sebaya.
Katanya, itulah pejuang.
Katanya, beginilah cara untuk menang.
Tidak. Bendera yang penuh keringat diterbangkan.
Hanya diberi hormat oleh mereka yang ingat.
Tidak, bendera yang dibawa menembus tikai rantai.
Hanya untuk disoraki dengan tawa dan maki.
Hidup memang tentang perjuangan.
Namun, janji itu tak bisa diteruskan apalagi dipegang.
Tentara yang terhalang pagar karat.
Dibunuh waktu atau negara semakin lumpuh?
Negeri Tanpa Tokoh Utama
Sejarawan bertempur menggunakan mulutnya bahwa hidup harus terus mengingat sejarah.
Sejarah yang terus diputarbalikkan oleh nahkoda di segala penjuru.
Mencintai mereka atau dibenci tanpa kira.
Permusuhan silih berganti karena orang-orangnya tidak pernah mati.
Puisi-puisi Ilahi dari Ruhi dan ulama sufi selalu manjur memanipulasi nurani.
Penjahat-penjahat negeri berjalan dengan muka berseri, mereka dijanjikan menang. Dijanjikan angan. Diikuti oleh setan-setan.
Sebagian orang baik hanya digelitiki, mereka pun pergi menyisakan gema-gema sapa.
Kapan - di mana penduduk terpencil, mencintai tanah kelahiran melebihi air mata Ibu yang menyapihnya.
Negeri telah dijanjikan menang, karena tokoh utama tidak pernah ada. Meski yang mereka bela dibayar hampa. Namun, pahala dari sang Ilah, pasti tiada putus-putusnya.
Negara Hati
Aku terlahir dalam keadaan tidak tahu menahu.
Aku bahkan tidak bisa menyebutkan "Ayah."
Aku bahkan tidak bisa menyebutkan "Ibu."
Aku terlalu kecil untuk siap mengetahui ilmu.
Aku bahkan tidak mampu memegang dagu.
Saat itu, waktu membawaku tumbuh.
Saat itu, guru datang mempengaruhi kalbu.
Aku mulai menemukan kebaikan bergiliran.
Saat itu, belum ada musuh.
Saat itu, bermain hanya sekadar mengisap kuku.
Aku menunjuk di sana, mereka mengikutinya.
Aku berhenti, mereka membelakanginya.
Aku menunjuk bendera, dan bertanya "Itu apa?"
Semuanya memberikan hormat, namun hatiku menolak.
Aku menunjuk tanah, dan bertanya "Di mana?"
Semuanya bergeleng, memintaku jalani saja.
Untuk mencintai negara, hatiku dituntut mengalah.
Sikap-sikap kekanak-kanakan, melekat berat.
Luka-luka dari mereka, masih terasa hangat.
Aku mengingkari kedamaian negeri.
Karena diri sendiri ingin menang sendiri.
Negara hati,
Sebutku karena di dalamnya tak bisa diprediksi.
Negara hati,
Sebutku karena jauh lebih luas dari tiga negara Pertiwi.
Negara hati,
Sebutku banyak yang menumpuk dan belum pergi.
Negara hati,
Selalu dipuji karena aku adalah negeri itu sendiri.