REVIEW BUKU: Sekolah Itu Candu Karya Roem Topatimasang
Buku ini pertama kali memikat saya dengan
judulnya yang terdengar ikonik ‘Sekolah itu Candu’. Saya sudah membayangkan
betapa luar biasanya buku ini hanya dari judulnya, pasti buku ini berisi
sanjungan kepada tempat bernama sekolah. Namun, ternyata pemikiran saya salah
besar.
Buku ini pertama kali diterbitkan pada 1998
oleh penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Buku ini sempat menjadi buku
terlaris pada masanya, dan berhasil dicetak ulang hingga edisi ke 8 di tahun
2023. Buku ini masih oriental dengan pemikiran dan narasi penulisnya yaitu Roem
Topatimasang, meski ada beberapa tambahan bab di cetakan ulangnya. Namun, hal
ini malah menjadikan buku ini semakin menarik.
Di lembar awal, buku ini sudah memberikan
label ‘kritik pendidikan’. Praktis, buku ini berisi segala macam pro-kontra
yang berkaitan dengan Pendidikan.
Penulis mengemas setiap bab dengan narasi
yang jenaka dan santai, berhasil membuat pembaca menampilkan ekspresi geli di
akhir setiap bab atas anekdotnya. Buku ini juga menyajikan berbagai potret Pendidikan yang
terjadi di Indonesia, mulai dari jalanan sekolah yang rusak dan sulit ditempuh, bangunan yang rapuh, dana
Pendidikan yang membengkak namun tak terlacak arah pengeluarannya, dan segala macam permasalahan yang menunjukkan
kurangnya kualitas Pendidikan Indonesia.
Pembaca juga diajak merenung, akan
keberadaaan sekolah yang saat ini ada, apakah memang sepenting itu? Lantas
kenapa masih ada saja pengangguran?
Beberapa narasi terkesan memprovokasi,
namun sangat patut untuk dijadikan renungan. Maka pada sisi ini, pembaca perlu
bijak dalam mengambil pelajaran dan melihat dari berbagai sisi terkait
permasalahan yang disajikan.
Salah satu bab yang saya kira menarik dan
patut untuk dipikirkan, berhasil membuat saya mengangguk-anggukkan kepala, dan
berkata dalam hati “benar juga ya? Apa iya?”
Bab mengenai para ahli yang menganalogikan
sekolah dengan berbagai hal. Gene Bylinsky menyebut sekolah semestinya seperti
oasis, Julius Kambarage Nyerere menyebut sekolah sebagai kebun yang diamini
oleh para akhli pendidikan lain seperti Maria Montessori, Friedrich Frobel, dan Jean
Piaget. Bahkan Ki Hajar Dewantara – bapak Pendidikan Indonesia – menyebut
sekolah sebagai taman. Singkatnya sekolah seperti tempat untuk manusia tumbuh dan berkembang dengan segala ilmu yang dipelajarinya.
Namun, dengan ringan penulis menyebut sekolah itu
pasar! Karena tempat ini melahirkan para lulusan yang dibutuhkan di dunia
kerja, selayaknya permintaan dan penawaran. Sekolah saat ini menyiapkan siswa sesuai dengan kualifikasi yang diinginkan di dunia kerja, ia lulus untuk bekerja. Cukup menguras pikiran, karena ada
benarnya, tapi tidak begitu juga. Menurutmu bagaimana?
Diantara sekian banyak kelebihan buku ini,
ada beberapa hal yang kurang nyaman untuk saya pribadi. Hal ini
terletak pada redaksi yang disajikan penulis, kata yang dirangkai terkadang
terkesan berbelit dan cukup membingungkan untuk anak milenial. Padupadan ejaan
dan kata juga terasa begitu kolot, tidak jelek, namun membuat saya bingung dan
terkadang harus membaca ulang paragraph yang sudah dibaca sebelumnya. Hal
lainnya adalah karena buku ini merupakan cetakan lama, saya pikir beberapa
permasalahan tidak lagi relevan dengan zaman sekarang. Namun, memang masih ada
permasalahan-permasalahan serupa. Jadi perlu lebih bijak dalam membacanya. Hal ini sekaligus membuka mata kita bahwa permasalahan dalam pendidikan belum teratasi juga hingga kini.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya,
buku ini sangat bagus dan saya rekomendasikan untuk dibaca. Cocok untuk para
anak muda, para pendidik, dan masyarakat yang berusaha melihat hal secara nyata
dengan pemikirannya yang kritis. Namun seperti yang saya katakana sebelumnya,
setiap narasi atau opini yang tersaji perlu dipikirkan secara matang, jangan
sampai terprovokasi. Pendidikan Indonesia sudah berkembang pesat, namun permasalahan dalam pendidikan masih belum teratasi semua.
Oleh
Rizka Awaliah
____________________
Baca juga karya penadiksi lainnya:
- Review Buku Teman Duduk Karya Arshy M