Sekolah Luar Biasa merupakan sekolah khusus yang diperuntukan bagi anak-anak yang memiliki hambatan secara fisik, mental, maupun kemampuan intelektual untuk mengikuti proses pembelajaran secara umum. Peserta didik yang belajar di SLB (Sekolah Luar Biasa) ini adalah anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan berbagai hambatan yang berbeda.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada hari Rabu tanggal 27 Juli 2022 yang bertempat di Sekolah Luar Biasa ABC Tunas Kasih 1, telah mengumpulkan beberapa informasi terkait SLB dan ABK. SLB ABC Tunas Kasih 1 terletak di Jl. Raya Karehkel No.9 Leuwiliang RT 001 RW 008, Desa Leuwiliang, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sekolah ini telah terakreditasi B dan menerapkan sistem kurikulum 2013. Kepala sekolahnya adalah ibu Nunung Djumaningsih dengan Operator Pendataan yaitu Bapak Erik Iskandar yang juga merupakan narasumber yang diwawancarai pada kegiatan observasi.
Jumlah guru SLB ABC Tunas Kasih 1 adalah 7 orang dengan rincian 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan (3 diantaranya merupakan PNS), dengan jumlah ABK 56 dengan rincian 36 laki-laki dan 20 perempuan. (data terbaru bulan Juli 2022). Hasil dari wawancara menunjukkan bahwa terdapat berbagai jenis ABK yang bersekolah di SLB ABC Tunas Kasih dengan jenjang usia serta tingkat hambatan yang berbeda, jenis ABK yang tercatat pada tahun ini adalah tunarungu, tunagrahita, autis murni, autis-hiperaktif, down syndrome, dan low vision.
Sebelumnya, kami mewawancarai dua orang tua murid SLB dengan hambatan autis hiperaktif yang berumur 11 tahun (kelas 5), dan orang tua anak dengan hambatan down syndrome yang berumur 15 tahun. Kedua narasumber tersebut menyebutkan bahwa untuk biaya di SLB Tunas Kasih terbilang standard, masih terjangkau, dan berbeda setiap tahunnya. Penerimaan siswa baru sudah dibuka dan terdapat keringanan untuk keluarga dengan berkebatasan ekonomi dan anak yatim. Daerah cakupan Tunas Kasih adalah Cibatok, Sadeng, Karehkel, bahkan Jasinga. Salah satu orang tua bercerita bahwa pertama kali hambatan tersebut diketahui adalah pada saat anak berumur 2 tahun dengan ciri anak yang tidak mau bicara dan kesulitan tidur, setelah dilakukan pemeriksaan psikologis di SLB tersebut akhirnya diketahui sang anak mengidap hambatan autis hiperaktif .
SLB ABC Tunas Kasih 1 telah berdiri sejak tahun 1998 dan merupakan SLB pertama di Kabupaten Bogor. Menurut sejarah, pendiri sekolah ini merupakan orang Belanda, maka dari itu namanya menjadi Tunas Kasih. Pada dasarnya sekolah yang dinaungi oleh yayasan ini bergerak di bidang sosial, terutama untuk menampung anak- anak dengan hambatan atau anak berkebutuhan khusus. Pada tahun – tahun awal berdirinya, SLB Tunas Kasih menyediakan asrama untuk anak – anak yang berdomisili jauh. Namun, hal ini dianggap kurang efektif karena keterbatasan jumlah guru dan pengurus.
Narasumber utama kami, Bapak Erik Iskandar menyebutkan alasan ditiadakannya sistem asrama disekolah juga dipengaruhi oleh salah satu kasus. Pada tahun 2008 terdapat salah satu siswa yang tinggal selama 5 tahun di asrama, namun hingga selesai SMALB tidak ada pihak keluarga yang menjemput anak tersebut. Hingga satu tahun, tidak ada jejak media maupun kontak yang dapat dihubungi. Bahkan ketika tempatnya dikunjungi, pihak keluarga tidak tercatat berada di lingkungan tersebut. Hingga akhirnya siswa yang juga memiliki penyakit bawaan itu meninggal di asrama dan dimakamkan di sana.
Kasus ini seolah membuka mata kita betapa pentingnya penerimaan ABK terutama di ruang lingkup keluarga. Stigma yang berkembang di masyarakat adalah anggapan bahwa orang gila adalah anak autis yang tidak disekolahan. Meski pada kenyataanya terdapat fakta demikian, terdapat hal yang perlu dipahami yakni bahwa hambatan mental dan gangguan mental adalah dua hal yang berbeda. Adanya stigma ini merupakan bukti nyata kurangnya kesadaran, pemahaman, dan toleransi terhadap ABK di masyarakat.
Hal yang paling mendasar dari ABK sejauh yang narasumber alami adalah kepercayaan diri. Anak- anak berkebutuhan khusus merasa berani dan bebas ketika di SLB karena merasakan kesetaraan. Mereka menganggap bahwasanya banyak orang yang seperti mereka di lingkungan tersebut, tetapi ketika mereka sudah terjun di luar lingkungan sekolah anak – anak berkebutuhan khusus cenderung menutup diri. Untuk itu, konsep pembelajaran yang dirancang oleh Bapak Erik adalah pembelajaran yang dapat membangkitkan interaksi anak – anak berkebutuhan khusus. Arah pembelajaran lebih menekankan pada pelatihan merawat diri, mengurus diri, menolong diri, menyelamatkan diri, dan membedakan mana yang boleh atau tidak boleh serta yang baik atau tidak baik.
Setiap hambatan memiliki program khusus, contohnya pada kasus tunarungu terdapat program bina komunikasi dan persepsi bunyi. Program bina komunikasi dan persepsi bunyi mendorong para tunarungu untuk memanfaatkan pendengaran dan suara yang masih tersisa, serta bagaimana para penyandang tunarungu dapat mengerti bahasa orang normal. Hal ini dikarenakan minimnya orang yang memahami bahasa isyarat. Untuk itu anak-anak dilatih untuk dapat mengungkapkan bahasa verbal atau lisan ketika mereka masih dapat bersuara. Sebagai contoh, apabila mengucapkan kata makan diharuskan untuk jelas dalam pengucapannya serta menggunakan gerak tubuh yang sesuai dan dapat dipahami.
Progres dari anak berkebutuhan khusus tidak dapat dilihat secara kasat mata. Pada pendidikan umum, dalam kurun waktu satu sampai dua tahun anak normal akan mulai mengenal kata dan kalimat. Namun di SLB capaian belajar juga dipengaruhi oleh tingkat dan jenis hambatan. Anak berkebutuhan khusus cenderung membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai kompetensi tertentu. Dalam 1-3 tahun terkadang untuk mengenal 4-5 huruf saja sulit. Maka dari itu pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus terutama tunagrahita, down syndrome, dan autis adalah pengembangan diri. Anak dengan hambatan ini tidak dituntut untuk mencapai pemahaman akademik tertentu, karena sampai kapanpun tingkat pemahaman akademiknya tidak akan maksimal.
Dalam jenjang SMA sekolah menekankan pada pengembangan keterampilan anak, hal ini juga dilakukan untuk menyiapkan anak setelah lulus dari SLB. Karena hingga saat ini anak berkebutuhan khusus belum memiliki wadah yang siap menampung mereka dalam dunia kerja, sehingga ABK dibekali dengan keterampilan khusus untuk menunjang kehidupan pasca sekolah. Bapak Erik menyebutkan bahwa 3 diantara ABK tunarungu baru saja selesai mengikuti seleksi atlet LPC (sebuah Lembaga di bawah naungan DISPORA yang menaungi atlit disabilitas), dan mendapatkan pelatihan selama 5 bulan di sana untuk perekrutan atlet Kabupaten Bogor. Hal ini membuktikan bahwa anak dengan hambatan juga dapat berprestasi sebagaimana anak normal.
Anak – anak dengan hambatan fisik, mental, emosional, bahkan intelektual perlu mendapat perhatian khusus, terutama dalam ruang lingkup keluarga. Setiap anak tidak dapat memilih terlahir seperti apa dan bagaimana, jadi sebagai keluarga, masyarakat, dan sesama manusia sudah sepantasnya kita mulai memahami keragaman tersebut.
Pengayaan SLB merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk mewujudkan bentuk kemanusiaan yang berkeadilan dalam pendidikan. Anak dengan hambatan masih dapat bersekolah, berprestasi, dan berpartisipasi dalam masyarakat dengan bekal yang diajarkan di sekolah. Untuk itu diperlukan wadah – wadah yang siap menampung keahlian dari para penyandang hambatan, karena pada dasarnya hambatan yang sering kali disebut sebagai kekurangan hadir bersama kelebihan yang tidak dimiliki orang normal. Tugas dari orang yang bergelut di dunia pendidikan bukan hanya menyampaikan pengetahuan umum kepada anak normal, tetapi juga ikut berpartisipasi dalam pengembangan keahlian anak berkebutuhan khusus untuk bekal dalam hidup mereka, yang hingga saat ini belum banyak mendapat perhatian.
Penulis : Rizka Awaliah.