Di sebuah kota kecil, hiduplah seorang pedagang bernama Fadli. Ia dikenal sebagai pengusaha sukses, dengan toko kelontong yang setiap hari ramai pengunjung. Namun, kesuksesan itu tidak membuat hatinya tenang. Fadli selalu merasa kurang, setiap malam ia menghitung laba dagangannya, tapi bukannya bersyukur, ia malah gelisah.
"Bagaimana ya, kalau besok pembeli sepi? Bagaimana kalau ada pesaing baru yang lebih murah? Bagaimana jika aku kehilangan semua ini?" pikirnya dalam hati.
Fadli sangat mencintai uang dan hartanya. Baginya, kedua hal tersebut adalah segalanya. Setiap hari ia bekerja tanpa henti, tanpa peduli pada keluarga, apalagi pada waktu-waktu ibadah yang semakin ia lalaikan.
Suatu malam, ketika Fadli sedang asyik menghitung keuntungan hariannya, istrinya, Salma, menghampirinya dengan wajah cemas.
"Bang, aku rasa kita perlu membantu keluarga Pak Umar. Mereka hampir tidak punya apa-apa lagi untuk dimakan," ucap Salma lirih.
Fadli mendengus. "Kamu pikir uang ini mudah didapat? Kita sudah cukup sibuk mengurus diri sendiri. Jangan ikut campur urusan orang lain," balasnya tanpa menoleh.
Salma hanya menghela napas. Sudah sering ia melihat sisi keras suaminya yang satu ini. Ia tahu, Fadli sangat tidak suka jika uang dan hartanya diusik.
---
Kehidupan Fadli yang serba ada tiba-tiba terguncang saat tokonya mengalami kebakaran besar. Seluruh stok barangnya habis dilalap api. Tak ada yang tersisa kecuali dinding-dinding hangus dan abu yang beterbangan.
Fadli terduduk lemas di depan tokonya yang kini tinggal puing-puing. Orang-orang di sekitarnya mencoba menghibur, tetapi Fadli tak mampu berkata apa-apa. Baginya, hidupnya sudah berakhir.
Malam itu, Fadli menangis di rumahnya. Salma mencoba menenangkan suaminya. "Bang, mungkin ini adalah teguran dari Allah. Kita terlalu sibuk mengejar dunia, tapi lupa dan lalai beribadah," ucapnya lembut. Namun, Fadli tidak mendengarkan. Ia menganggap Allah tidak adil padanya.
---
Beberapa hari setelah kebakaran, Fadli bertemu dengan seorang tokoh agama bernama Ustadz Hamzah di masjid dekat rumahnya. Dengan penuh kesabaran, ustadz itu mendengarkan keluhan Fadli tentang kehidupannya.
"Ustadz, kenapa Allah begitu kejam padaku? Aku kehilangan segalanya. Apa gunanya bekerja keras kalau akhirnya seperti ini?" tanya Fadli dengan mata merah.
Ustadz Hamzah tersenyum lembut. "Fadli, Allah tidak kejam. Justru Dia sangat menyayangimu. Apa yang terjadi padamu adalah cara Allah menegur hatimu dari cinta dunia yang berlebihan."
"Maksudnya, Ustadz?"
"Fadli, Allah berfirman dalam Q.S. Al-Fajr ayat 20
وَّتُحِبُّوْنَ الْمَالَ حُبًّا جَمًّاۗ
Artinya: 'Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan."
Allah tahu bahwa harta itu bisa menjadi ujian besar bagi kita. Ketika kita terlalu mencintainya, kita lupa bahwa harta hanyalah titipan. Kita malah mencintai titipan lebih dari pemiliknya, yaitu Allah."
Fadli terdiam. Kata-kata itu seperti menampar wajahnya.
"Lihatlah ujian ini sebagai kesempatan untuk berubah," lanjut Ustaz Hamzah. "Cintailah harta sebagai bentuk cinta kepada Allah. Gunakan untuk kebaikan, bukan untuk kepuasan pribadi semata. Ketika harta itu menjadi jalan mendekatkan diri kepada-Nya, barulah ia benar-benar bernilai."
---
Malam itu, Fadli merenungkan kata-kata ustadz. Ia mulai sadar bahwa selama ini hidupnya hanya berputar pada harta, tanpa peduli pada hubungan spiritualnya dengan Allah. Ia teringat pada tetangganya, Pak Umar, yang dulu ia abaikan ketika memerlukan bantuan.
Esok harinya, Fadli mengambil sebagian tabungan yang masih tersisa dan pergi ke rumah Pak Umar. Ia membawa bahan makanan dan sejumlah uang. Pak Umar sangat terkejut sekaligus terharu.
"Pak Fadli, apa ini tidak terlalu banyak?" tanya Pak Umar.
"Tidak, Pak. Ini hanya sedikit dari apa yang Allah titipkan kepada saya. Semoga bermanfaat," jawab Fadli dengan senyuman.
Membantu Pak Umar memberi kebahagiaan yang tak pernah Fadli rasakan sebelumnya. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hartanya benar-benar berarti.
---
Seiring waktu, Fadli mulai menjalani hidup dengan cara yang berbeda. Ia membuka usaha baru, tetapi kali ini ia tidak lagi terobsesi untuk menumpuk kekayaan. Setiap rezeki yang ia dapatkan, selalu ia sisihkan untuk membantu orang lain dan untuk keperluan agama.
Fadli juga semakin rajin beribadah dan bersyukur atas apa yang dimilikinya. Ia sadar bahwa ujian kebakaran yang dulu ia anggap sebagai bencana, sebenarnya adalah rahmat tersembunyi yang membawanya kembali kepada Allah.
Kini, Fadli menjalani hidup dengan hati yang lebih tenang. Ia tidak lagi gelisah atau takut kehilangan harta, karena ia tahu bahwa segalanya hanyalah titipan. Cintanya kepada Allah membebaskannya dari belenggu cinta dunia.
"Allah memberiku rezeki bukan untuk aku tumpuk, tetapi untuk aku syukuri dan manfaatkan sebaik-baiknya," ujar Fadli suatu hari kepada Salma.
Salma tersenyum bangga melihat perubahan suaminya. "Bang, aku tahu ujian itu berat, tapi akhirnya membuat kita lebih dekat dengan Allah," ucapnya.
Fadli mengangguk. Ia kini mengerti bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang memiliki segalanya, tetapi tentang bisa memberi dan berserah diri kepada Allah.
---
Harta hanyalah alat, bukan tujuan. Ketika cinta kepada Allah lebih besar daripada cinta terhadap dunia, hidup akan terasa lebih damai. Sebab, kebahagiaan sejati terletak pada hati yang mampu bersyukur, berbagi, dan menyerahkan segalanya kepada Allah.
Tamat. Cerpen ini ditulis oleh ChatGPT dengan ide, pengawasan dan revisi dari Mushpih Kawakibil Hijaj.