Selamat Datang di penadiksi.com | *Mohon maaf jika terjadi plagiat/copy karya kalian oleh penulis di web ini, segera laporkan ke penadiksishop@gmail.com karena kami bergerak dalam pengembangan penulis, baik untuk pemula atau profesional dan keterbatasan kami dalam penelusuran terkait karya, kami ucapkan Mohon Maaf🙏*

[Cerpen] 5 Years Choco - MPS

Cerpen 5 years choco
Cerpen tentang coklat.

5 Years Choco

Senja mulai merambat turun, menyapu langit dengan guratan oranye dan ungu lembut. Suara riuh rendah anak-anak yang tadi bermain di taman perlahan mereda. Sebagian besar telah pulang, menyisakan ketenangan yang dibalut suara dedaunan yang bergesekan halus ditiup angin.

Di salah satu sudut taman yang mulai temaram, sebuah ayunan bergoyang perlahan. Di sana duduk seorang gadis kecil, wajahnya tertunduk dalam, bahunya terguncang menahan tangis. Rambutnya yang hitam lurus tergerai berantakan, sebagian menutupi pipinya yang basah oleh air mata. Seragam sekolah yang dikenakannya sedikit kusut, dan pita yang harusnya menghiasi rambutnya tergantung lesu di tangannya.

Dia merasa sendirian. Dunia kecilnya, yang tadi dipenuhi tawa canda teman-temannya, tiba-tiba terasa seperti ruang kosong yang dingin dan penuh ejekan. Kata-kata itu masih menggema di telinganya "Lihat si gendut! Hati-hati, ayunan itu bisa patah!" membuat dadanya sesak.

Langkah kaki kecil mengusik keheningan. Seorang anak laki-laki mendekat, celananya sedikit belepotan lumpur, sepatunya sudah aus di bagian depan, tapi senyumnya lebar dan polos, seperti cahaya kecil yang menembus kabut.

Hei, kenapa kamu menangis?” tanyanya, suara ceria bercampur rasa ingin tahu.

Baca Juga : [Cerpen] Suzan : Cinta Ayra - Yantea

Gadis itu mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata merah sembap. “Pergi! Aku tidak mau bicara dengan siapa pun!” bentaknya, nada suaranya pecah di ujung kalimat.

Anak laki-laki itu tidak pergi. Dia justru mengambil tempat di ayunan sebelah, berayun pelan tanpa berkata-kata. Diam-diam, dia mengamati gadis itu, matanya yang besar penuh rasa ingin tahu.

Kalau kau tidak mau bicara, setidaknya makan ini.” Dia mengulurkan tangannya. Sebuah cokelat batangan kecil tergenggam di sana, kertas pembungkusnya masih utuh.

Gadis itu mengerutkan kening, menatap cokelat itu seperti benda yang mencurigakan. “Apa ini lelucon? Kau juga mau mengejekku karena aku gendut?” katanya, suaranya tajam meski gemetar.

Anak laki-laki itu tampak bingung sesaat, lalu tertawa kecil. “Aku nggak mengejekmu, sungguh. Aku cuma mau kasih cokelat ini. Kau nggak tahu, ya? Hari ini Valentine,” ujarnya ringan.

Valentine. Kata itu terasa asing di telinga gadis itu. Tapi ekspresi anak laki-laki itu—senyuman yang begitu tulus, tanpa sedikit pun tanda ejekan—membuatnya merasa sedikit bingung.

Baca Juga : [Cerpen] Yang Terbaik Untukku - Maya Nurida

Anak laki-laki itu bangkit dari ayunan. “Aku harus pulang sekarang. Kakakku janji mau bikin cokelat spesial untukku. Aku nggak sabar mencobanya!” katanya, wajahnya berbinar.

Dia melangkah pergi, meninggalkan gadis itu dengan cokelat di tangannya. Angin kembali berhembus, membawa suara langkah kecilnya menjauh. Gadis itu memandangi cokelat itu untuk beberapa saat. Perlahan, ia membuka pembungkusnya, mencium aroma manis yang menguar.

Mungkin, dunia tidak seburuk yang dia pikirkan.

Baca Juga : [Cerpen] Tragedi Cinta Di Bumi Prambanan - Yohana Restu Wilistya

****

Senja perlahan merambat turun, menyelimuti kota kecil itu dengan warna keemasan yang hangat. Di sebuah kelas sekolah menengah pertama, Bella duduk termenung di bangkunya, berusaha keras untuk fokus pada pelajaran yang diberikan gurunya. Namun, pikirannya melayang ke tempat lain, tepatnya pada seorang murid laki-laki di depannya.

Laki-laki itu adalah murid pindahan yang datang beberapa minggu lalu. Wajahnya yang teduh dan matanya yang kerap menatap kosong keluar jendela membuatnya tampak berbeda dari anak-anak lainnya. Bella mengenalnya, atau lebih tepatnya pernah bertemu dengannya lima tahun yang lalu. Saat itu, dia adalah anak laki-laki yang memberinya cokelat di hari Valentine, hari yang tidak pernah ia lupakan.

Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Sikapnya yang murung, tatapannya yang seolah menahan beban yang tak terlihat, tidak mencerminkan anak laki-laki ceria yang ia ingat. Bella bertanya-tanya apa yang telah terjadi padanya selama lima tahun terakhir.

Di belakang Bella, suara bisikan beberapa murid perempuan membuyarkan lamunannya.

Bagaimana persiapan cokelat untuk Valentine?” tanya salah satu dari mereka.

Oh, aku sudah menyiapkannya sejak seminggu lalu! Kau tahu, aku harus membuat yang spesial untuk seseorang,” jawab temannya dengan nada ceria.

Percakapan itu membuat Bella memikirkan satu hal: cokelat. Selama ini, dia tidak pernah membuat cokelat Valentine untuk siapa pun. Tidak pernah ada orang yang cukup spesial untuk diberi cokelat. Tapi kini, laki-laki itu kembali. Meski ia tidak yakin apakah dia masih mengingatnya, Bella merasa seperti memiliki hutang cokelat padanya.

Baca Juga : [Cerpen] Kuterima Takdirmu dengan Ikhlas - Lusi Rahmawati

Ketika bel tanda akhir pelajaran berbunyi, Bella dengan cepat membereskan peralatannya. Ia sudah memutuskan. Ia akan membuat cokelat untuk laki-laki itu di ruang tata boga di lantai dua. Ruangan itu biasanya sepi, apalagi dengan rumor menyeramkan yang menyelimutinya—rumor tentang seorang murid perempuan yang tewas di sana bertahun-tahun lalu saat membuat cokelat Valentine.

Bella berjalan menyusuri lorong-lorong sekolah yang mulai lengang. Udara terasa dingin saat ia membuka pintu ruang tata boga. Ruangan itu gelap, namun sinar matahari yang tersisa menembus jendela besar, menciptakan pola bayangan di lantai. Bella menyalakan lampu, meletakkan tasnya, dan segera memulai pekerjaannya.

Saat ia tengah mencampur bahan-bahan untuk cokelat, suara langkah kaki menggema di lorong luar. Awalnya pelan, kemudian semakin keras. Bella berhenti, menoleh ke arah pintu. Jantungnya berdegup kencang, namun ia mencoba mengabaikan rasa takutnya.

Tiba-tiba, pintu terbuka dengan keras, membuat Bella terkejut. Di ambang pintu berdiri seorang gadis dengan wajah merah dan napas tersengal. Bella mengenalinya sebagai salah satu kakak kelasnya.

Maaf kalau aku mengejutkanmu,” kata gadis itu sambil tersenyum lemah. “Namaku Vivi.”

Bella balas tersenyum, meski masih merasa sedikit gugup. “Aku Bella.”

Vivi melangkah masuk, membawa tas besar yang ia letakkan di meja terdekat. “Kau membuat cokelat untuk seseorang?” tanyanya dengan nada penuh rasa ingin tahu.

Bella tersenyum malu. “Bukan untuk seseorang yang spesial. Lebih tepatnya, ini... balas budi.

Vivi terkekeh kecil. “Begitu semua kisah manis biasanya dimulai,” katanya. Ia membuka tasnya, namun kemudian tampak panik. “Oh tidak, bahan-bahanku tertinggal!”

Baca Juga : [Cerpen] Jejak - Jejak Razan (Devita Andriyani)

Saat Vivi bersiap untuk kembali mengambil bahan-bahannya, Bella menghentikannya. “Gunakan saja bahan-bahanku. Berlari bolak-balik dari lantai dua itu berbahaya.

Vivi terlihat ragu sejenak, lalu tersenyum hangat. “Terima kasih. Kau sangat baik.

Mereka pun mulai membuat cokelat bersama. Bella merasa nyaman dengan kehadiran Vivi, yang ternyata sangat terampil dalam membuat cokelat. Waktu berlalu tanpa mereka sadari hingga langit di luar berubah menjadi gelap.

Cokelat ini sempurna!” seru Vivi, memandangi hasil kerja mereka dengan penuh kepuasan.

Bella tersenyum kecil. “Adikmu pasti akan kesal kalau tahu kau lupa membuatkan cokelat untuknya,” godanya.

Vivi tersenyum samar, tatapannya melunak. “Dia akan mengerti.

Bella merasa ada sesuatu yang aneh dengan cara Vivi berbicara, tetapi dia tidak terlalu memikirkannya. Sampai Vivi perlahan berdiri, mengucapkan terima kasih, dan berjalan menuju pintu.

Baca Juga : [Cerpen] Perjalanan Waktu Bersama Piri - Ghefira Khairunnisa

Namun, langkah Vivi terasa berbeda. Sosoknya mulai memudar, seperti bayangan yang ditelan malam.

Bella tidak bergerak, bahkan tidak berusaha menghentikan air matanya yang mengalir perlahan di pipinya. Ia memandangi tempat Vivi berdiri beberapa detik sebelumnya, namun kini kosong, seakan Vivi hanya khayalan semata. Tapi aroma manis cokelat yang mereka buat bersama masih memenuhi ruangan, menjadi bukti nyata bahwa ia tidak bermimpi.

Hari Valentine tiba, langit pagi dihiasi rona cerah yang kontras dengan detak jantung Bella yang semakin cepat. Dengan hati-hati, ia menggenggam bingkisan cokelat yang telah ia siapkan semalaman. Kotak sederhana yang dihiasi pita merah, namun di dalamnya, ia menyimpan lebih dari sekadar cokelat—ada cerita, rasa terima kasih, dan sesuatu yang ia yakini sebagai hadiah terbaik untuk Vicky.

Bella melangkah perlahan menyusuri koridor sekolah, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya. Dan di sana, di depan kelas, Vicky berdiri sendirian, memandang keluar jendela dengan ekspresi melamun. Langkah Bella terhenti sesaat. Hatinya berdebar semakin kencang, keraguan sempat menyelinap masuk.

Tapi ini bukan untukku saja,” bisiknya pada diri sendiri, seolah menguatkan hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam dan mendekat.

Vicky,” panggil Bella dengan suara lembut, hampir tak terdengar.

Vicky menoleh, tampak sedikit terkejut melihat Bella berdiri di sana. “Ya?” tanyanya.

Bella mengulurkan bingkisan itu dengan kedua tangannya. “Terimalah,” katanya, suaranya sedikit gemetar.

Vicky menatap bingkisan itu dengan mata bingung. “Untukku?” tanyanya, seakan tidak percaya.

Bella mengangguk pelan. “Ya.”

Dengan ragu, Vicky menerima bingkisan itu. Ia membuka pita dengan hati-hati, membiarkan kotaknya terbuka perlahan. Di dalamnya, terlihat cokelat berbentuk hati yang sempurna, dihias dengan sederhana namun penuh kehangatan.

Baca Juga : [Cerpen] Dari Aku Untuk Kamu - Amitha Hidayanti

Saat matanya tertuju pada cokelat itu, sesuatu menarik perhatiannya—secarik kertas kecil yang terselip di antara cokelat. Vicky mengambilnya, membaca tulisan tangan yang tertera di sana:

Selamat ulang tahun! Dari Vivi.

Mata Vicky membesar, dan seketika air mata mulai mengalir di pipinya. Ia menggenggam kertas itu dengan erat, tatapannya beralih dari cokelat itu ke Bella.

Vivi...” bisiknya pelan, hampir tak terdengar.

Bella tersenyum kecil, meski ia sendiri merasa hatinya bergetar. “Dia membantuku membuatnya,” katanya lembut.

Vicky tidak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri di sana, memandangi cokelat itu dengan air mata yang terus mengalir, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu namun tidak mampu.

Bella tahu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa terima kasih yang ingin diucapkan Vicky. Ada kerinduan, cinta, dan kenangan yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang telah kehilangan seseorang yang sangat berarti.

Dan dalam diam itu, Bella merasa telah melakukan sesuatu yang benar, menghubungkan cinta seorang kakak kepada adiknya, meski melampaui batas dunia yang biasa mereka kenal.


By: MPS.

Buku Cerpen yang Mungkin Kamu Suka :

Buku Creepy Holiday : Kumpulan Cerita Horor Pilihan.

Jika kamu suka dengan ceritanya, mohon bantuan untuk share ya✨ supaya website ini berkembang dan banyak yang membaca✨.

Diberdayakan oleh Blogger.