![]() |
Cerpen Ustaz Bablas. |
CERPEN USTAZ BABLAS
Karya Risma Nailul Muna
Malam itu, di sebuah sudut kota yang terkenal dengan gemerlap dunia malamnya, seorang lelaki berpeci dan berbaju koko berjalan perlahan melewati gang sempit. Namanya Ustaz Rafi. Ia bukan ustaz kondang yang biasa ceramah di acara resmi. Bukan juga ustaz media sosial yang sibuk mencari panggung. Ia datang ke tempat ini dengan satu niat, berdakwah kepada mereka yang jauh dari agama.
“Ustaz, beneran mau ke sini?” tanya Jamal, sahabat sekaligus muridnya, dengan nada ragu. “Ini tempatnya orang mabuk, tempat perempuan jual diri.”
Rafi hanya tersenyum. “Bukankah tugas kita mengajak mereka kembali?”
Jamal menarik napas dalam. Ia sebenarnya paham maksud Rafi. Banyak yang bilang dakwah itu harus masuk ke jantung kemaksiatan. Harus berani datang ke tempat-tempat yang dianggap hitam, berbicara dalam bahasa mereka, agar pesan bisa diterima. Tapi tetap saja, hatinya masih belum bisa menerima sepenuhnya.
Ketika mereka sampai di sebuah warung remang-remang, suasana sudah penuh dengan dentuman musik. Asap rokok bercampur dengan aroma minuman keras. Para perempuan berpakaian minim duduk di meja, tertawa bersama laki-laki yang wajahnya merah karena mabuk. Rafi melangkah masuk tanpa ragu, sementara Jamal mengikutinya dengan perasaan tak nyaman.
Baca Juga: [Cerpen] Menjaga Hati Sebagai Bekal Akhirat - Mushpih Kawakibil Hijaj
Salah satu perempuan di sana, Ratna, menatap mereka dengan alis terangkat.
“Eh, ustaz! Mau ceramah di sini?” katanya sambil tertawa.
Rafi tersenyum. “Kalau kamu di sini, kenapa aku nggak boleh?”
Ratna terkekeh. “Yah, tapi ustaz kan orang baik, nggak cocok sama tempat kayak gini.”
“Siapa bilang?” Rafi menarik kursi dan duduk. “Justru aku di sini karena ada orang baik yang belum sadar kalau dirinya baik.”
Beberapa orang menoleh, tertarik dengan keberanian Ustaz Rafi. Seorang pria bertubuh besar yang dari tadi memeluk botol bir mendengus. “Ustaz, kalau mau ceramah, jangan sok suci. Kami di sini ya karena hidup udah susah. Jangan ganggu.”
Rafi tetap tenang. “Saya nggak datang buat mengganggu. Saya cuma mau ngobrol.”
Suasana mendadak hening. Rafi mulai berbicara tentang kehidupan, tentang bagaimana setiap manusia punya kesempatan untuk berubah. Ia tidak menghina, tidak mencela, tidak memaksa. Hanya mengajak.
Baca Juga: [Cerpen] Pelajaran Hidup dari Cinta dan Kehilangan - Mushpih Kawakibil Hijaj
Tapi kemudian, ada sesuatu yang mengganggu Jamal. Dari tadi, cara bicara Rafi mulai berubah. Ia mulai memakai kata-kata kasar, bahkan sesekali menggunakan analogi jorok yang membuat para pendengar terbahak.
“Bro, kalian mikir dosa terus, gimana mau tobat kalau masih takut? Santai aja. Mabuk? Ah, yang penting sholat dulu! Nanti juga lurus sendiri. Tuhan nggak sepelit itu, masa kalian mabuk dikit aja langsung dicap ahli neraka?”
Orang-orang di sekitarnya tertawa. Beberapa dari mereka mulai menikmati ceramah ini, bukan karena ingin berubah, tapi karena terhibur saja.
“Dosa kalian mah masih ringan, ada tuh orang yang tiap malam gonta-ganti pasangan, kayak gonta-ganti celana dalam! Tapi tenang, yang penting ingat Tuhan, dosa mah urusan belakangan, Tuhan bersama orang-orang yang badjingan.”
Suasana semakin cair. Para pendengar merasa baru kali ini ada ustaz yang bisa mereka ajak bercanda, yang tidak menghakimi mereka. Tapi di sisi lain, Jamal yang mendengar hanya bisa menahan gelisah.
“Ya intinya santai aja. Yang penting sholat dulu, urusan tobat mah gampang. Tuhan nggak bakal repot ngurusin dosa kalian satu-satu kok!”
Bagi sebagian orang di ruangan itu, Rafi adalah ustaz keren yang bisa berbicara dalam bahasa mereka. Tapi bagi Jamal, ini bukan dakwah, ini justru adaptasi yang kebablasan.
Jamal menoleh, hatinya bergetar hebat. Ini bukan Rafi yang ia kenal. Ini lebih mirip seorang pelawak yang semata-mata ingin menarik perhatian. Memang benar, semua orang di ruangan itu mulai tertarik mendengar. Mereka tertawa, mereka merasa Rafi ‘beda dari ustaz lain.’ Tapi… apa ini dakwah yang sebenarnya?
Setelah sesi ngobrol selesai, Rafi dan Jamal keluar dari tempat itu. Jamal akhirnya memberanikan diri bertanya,
“Ustaz, apa nggak ada cara lain? Kenapa harus bicara seperti itu pada mereka?”
Rafi terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Jamal, kalau kita mau merangkul, kita harus bicara dalam bahasa mereka, sudahlah kamu ga akan mengerti.”
Jamal mengangguk pelan. “Tapi, Ustaz, bukankah Nabi juga berdakwah kepada kaum jahiliyah? Tapi beliau tidak pernah ikut-ikutan berbicara kasar, tidak ikut-ikutan mencampurkan agama dengan sesuatu yang tak pantas (mecampurkan yang hak dan bathil).”
Kali ini, Rafi tidak menjawab. Ada sesuatu di matanya yang samar seperti kesadaran yang baru datang.
Dan di malam itu, langkah mereka pulang terasa lebih berat dari sebelumnya.
Selesai.
eBook Cerita Pendek Motivasi Gratis / Free to Read Yang Mungkin Kamu Minati :
Silakan dapatkan eBook diatas secara gratis. Mohon bantuan share website ini supaya berkembang dan insyaallah lebih banyak pembaca yang memperoleh manfaat✨.